Meira, gadis muda dari keluarga berantakan, hanya punya satu pelarian dalam hidupnya yaitu Kevin, vokalis tampan berdarah Italia yang digilai jutaan penggemar. Hidup Meira berantakan, kamarnya penuh foto Kevin, pikirannya hanya dipenuhi fantasi.
Ketika Kevin memutuskan me:ninggalkan panggung demi masa depan di Inggris, obsesi Meira berubah menjadi kegilaan. Rasa cinta yang fana menjelma menjadi rencana kelam. Kevin harus tetap miliknya, dengan cara apa pun.
Tapi obsesi selalu menuntut harga yang mahal.
Dan harga itu bisa jadi adalah... nyawa.
Ig: deemar38
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
OT 20
Catatan untuk pembaca:
Kevin sebenarnya mengerti bahasa Indonesia, hanya saja lidahnya agak kaku ketika harus mengucapkannya. Karena itu, dia lebih sering menggunakan English. Saat emosinya memuncak terutama ketika marah atau kesal dia akan meluapkan semuanya dengan full English.
Untuk pembaca yang ingin di translate, terjemahan bahasa Indonesianya sudah diselipkan setelah dialog.😊
Studio sudah sepi. Kabel-kabel berserakan di lantai, drumstick tergeletak di sudut ruangan. Kevin duduk sendirian di kursi, bahunya turun, kepalanya menunduk.
Pintu studio berderit terbuka. Anton muncul, membawa jaketnya di tangan. “Kev,” suaranya pelan, “lo masih di sini?”
Kevin mengangkat kepala, matanya lelah. “Yeah. Just... needed a minute.”
Anton mendekat, duduk di kursi seberang. “Ayo, keluar sebentar. Gue tau tempat yang sepi.”
Mereka keluar studio, berjalan dalam diam sampai tiba di sebuah kafe privat. Kafe itu hampir kosong, hanya ada satu barista di balik counter. Mereka memilih meja di pojok, agak jauh dari pintu.
Kevin melepaskan masker dan topinya, lalu menarik napas panjang. “You know, Ton... I’m pissed.” (Kamu tahu, Ton... aku kesal)
Anton mencondongkan tubuhnya. “Gue dengerin, Kev. Lu ngomong aja.”
Kevin menatapnya tajam. “They didn’t even try to understand me. Not even one of them. It’s like... I’m just a machine to them. A voice that sings, nothing else.”
(Mereka bahkan tidak berusaha memahami aku. Tidak satu pun dari mereka. Rasanya seperti... aku hanyalah sebuah mesin bagi mereka. Suara hanya untuk bernyanyi, tidak lebih)
Anton menghela napas. “Mereka kaget, Kev. Lu kayak nge-drop bom tadi. Nggak semua orang bisa langsung terima.”
“No!” Kevin memotong cepat. “I’ve been hinting for months. I told them I was tired. I told them I needed space. Did anyone care? No. All they see is the next contract, the next show, the next photoshoot. What about me?” (Aku udah kasih isyarat selama berbulan-bulan. Aku bilang aku lelah. Aku bilang aku butuh ruang. Apa ada yang peduli? Nggak. Yang mereka liat cuma kontrak berikutnya, show berikutnya, pemotretan berikutnya. Lalu bagaimana denganku?)
Anton terdiam, lalu mengangguk pelan. “Ya... gue ngerti. Capek lu tuh bukan cuma fisik.”
Kevin menunduk, suaranya sedikit bergetar. “I love music, Ton. But this... this fame? It’s killing me. I can’t go out, can’t breathe, can’t even buy a stupid coffee without hiding my face. And when I finally say I want something for myself, they act like I betrayed them.” (Aku mencintai musik, Ton. Tapi ketenaran ini rasanya seperti sedang membunuhku perlahan. Aku nggak bisa keluar rumah, nggak bisa bernapas lega, bahkan untuk membeli kopi pun aku harus nutupin wajahku seperti buronan. Dan saat aku akhirnya berkata aku ingin sesuatu hanya untuk diriku sendiri, mereka bereaksi seolah aku sudah mengkhianati mereka)
Anton duduk bersandar, jari-jarinya mengetuk meja pelan. “So, what exactly do you want, Kev?”
Kevin mendongak. “I want them to hear me. Really hear me. Not as Kevin the idol, but as Kevin their friend. If they still can’t accept it after that, then fine... I’ll go my own way.” (Aku ingin mereka mendengarku. Betul-betul dengerin aku. Bukan sebagai Kevin si idola, tapi sebagai Kevin... teman mereka. Kalau setelah itu mereka tetap nggak bisa nerima, ya udah... aku akan milih jalanku sendiri, apa pun risikonya)
Anton menghela napas panjang, lalu mengeluarkan ponselnya. “Oke... lo yakin gue panggil mereka sekarang? Malam ini juga?”
“Yes,” Kevin menjawab mantap. “Call them. Tonight.”
Anton mengangkat alis. “Ini bakal panas, Kev. Mereka bisa aja makin marah.”
Kevin mengangkat bahu. “I don’t care. This isn’t about making them happy. This is about me telling the truth.” (Aku udah nggak peduli. Ini bukan soal buat mereka seneng. Ini soal aku yang akhirnya berani ngomong yang sebenernya)
Anton menatapnya lama, lalu mengangguk. “Baiklah. Gue arrange sekarang.” Ia mengetik cepat, mengirim pesan ke group chat personel SilverDawn.
“They won’t like this,” ( Mereka pasti nggak bakal suka ini) gumam Anton.
Kevin bersandar di kursi, menatap langit-langit kafe. “I just want them to know I’m serious, Ton. This isn’t a phase. This is my life we’re talking about.”
(Aku cuma pengen mereka tahu kalo Aku serius, Ton. Ini bukan cuma fase. Ini hidup Aku yang lagi Aku bicarain)
Anton tersenyum tipis. “Oke. Siap-siap ya, Kev. Nanti mereka dateng, lo ngomong semua. No holding back.”
Kevin menatapnya dengan tatapan tegas. “I won’t."
_____
Studio malam itu terasa berbeda. Suasana tegang. Kevin duduk di kursi, gitar masih disandarkan di dinding. Anton berdiri di dekat pintu, menunggu. Tak lama, empat personel SilverDawn masuk satu per satu.
“Jadi, apa pentingnya kita dipanggil malam-malam?” salah satu personel, Kenji, langsung bersuara ketus.
Kevin menegakkan duduknya. “Good. You’re all here. Let’s talk.”
“Talk about what?” Eren menyilangkan tangan di dada. “Lu bikin latihan bubar tadi siang, Kev.”
Kevin menarik napas. “I didn’t start this band to become some money-making machine. I just wanted to make music, post it online, let people feel something. That’s all.” (Aku nggak bikin band ini buat jadi mesin duit. Aku cuma pengen bikin musik, posting, terus orang bisa ngerasain sesuatu dari situ. Udah gitu aja)
Chris mendengus. “Dan gara-gara kita pengen lebih, salah?”
“Yes!” Kevin suaranya meninggi. “At first it was fun. The shows, the fans, the lights... But then it became too much. I can’t breathe anymore.” (Awalnya sih seru show, fans, gemerlap lampu panggung. Tapi lama-lama... semua itu jadi terlalu berat. Rasanya aku kayak kecekik, udah nggak bisa napas lagi)
“Kev,” ujar Eren dengan nada menahan emosi, “lu pikir cuma lu yang capek? Kita semua kerja keras di sini. Lu bukan satu-satunya alasan band ini besar.”
Kevin menatapnya tajam. “Oh really? Then why do all the contracts have my face on them? Why is it always my name trending? You think I don’t notice? Everyone fans, brands, even management they only see me.”
(Oh ya? Terus kenapa semua kontrak pake muka Aku? Kenapa tiap kali yang trending selalu nama Aku? Kamu kira aku be-go nggak ngeh? Semua fans, brand, bahkan manajemen yang mereka lihat cuma aku doang)
“Karena lu vokalis!” Kenji membentak. “Ya wajarlah lu yang paling disorot. Tapi kita semua di belakang lu, Kev. Jangan lupakan itu.”
Kevin berdiri, suaranya bergetar. “I never asked for this spotlight. You all wanted bigger stages, bigger crowds. And now you’re mad because I don’t want it anymore?”
Eren maju selangkah. “Kita nggak marah karena lu capek. Kita marah karena lu ngomong seakan kita cuma numpang hidup dari ketenaran lu.”
Kevin membalas cepat. “Then prove me wrong! If I walk away tomorrow, will this band survive? Or will it all fall apart because your so called ‘success’ depends on me?”
(Ya udah, buktikan aku salah! Kalau besok aku cabut, apa band ini bakal tetap jalan? Atau semuanya bakal hancur karena yang kamu sebut ‘sukses’ itu sebenernya cuma bergantung sama aku)
Hening sesaat. Semua terdiam, hanya terdengar napas berat.
Anton akhirnya angkat bicara. “Kev...” suaranya tenang, “lu tau nggak kenapa kita segitu keras nahan lu? Karena lu ini wajah SilverDawn. Suara lu, muka lu, itu yang bikin kita laku. Fans ngegila bukan cuma karena musik kita, tapi karena lu.”
Kevin menatap Anton, matanya merah. “That’s exactly my point, Ton. I’m not a product. I’m a person.”
Chris menggeleng, wajahnya penuh konflik. “Kita cuma takut kehilangan apa yang kita bangun bareng-bareng. Tapi kalau lu ngerasa cuma dijadiin mesin uang... ya mungkin kita juga salah.”
Kevin terdiam, dadanya naik turun. Ruangan masih panas, tapi semua mata kini tertuju padanya.
Kenji membanting botol minum ke lantai, suaranya menggema di studio.
“Lu pikir lu doang yang capek, Kev?!” suaranya meninggi. “Kalo lu nggak kuat, jangan tarik kita semua ke drama lo!”
Kevin mendongak, tatapannya tajam. “What did you just say??”
Kenji maju selangkah, suaranya makin keras. “GUE BILANG LU DRAMA! Dari dulu lu yang paling diprioritaskan, lu yang selalu dapet sorotan. Tapi sekarang lu yang paling banyak ngeluh!”
Riku mencoba menenangkan, “Kenj!!”
Tapi Kevin sudah berdiri dari kursinya, suaranya pecah karena emosi.
“Enough! I’ve had enough of this!” napasnya berat, dadanya naik turun. “You think I like this life? You think I asked for this? I just wanted people to see my music. That’s it!”
(Cukup! Aku udah muak sama semua ini!" "Kamu kira aku suka hidup kayak gini? Kamu kira aku minta semua ini? Aku cuma pengen orang denger musik aku. Itu aja!)
Riku menatap Kevin, bingung. “Kev...”
Kevin memotong cepat, suaranya tegas, dingin.
“I’m done. I’m leaving SilverDawn!!
(Gue udah selesai. Gue keluar dari SilverDawn!!)