Karma? Apa benar itu yang terjadi padaku? Disaat aku benar-benar tidak berdaya seperti ini.
Bagaimana mungkin aku meghadapi sebuah pernikahan tanpa cinta? Pernikahan yang tidak pernah ku impikan. Tapi sekali lagi aku tak berdaya. Tidak mampu menentang takdir yang ditentukan oleh keluarga. Pria yang akan menikahiku...aku tidak tahu siapa dia? Seperti apa sifatnya? Bagaimana karakternya? Aku hanya bisa pasrah atas apa yang terjadi dalam hidupku.
Aku sebenarnya masih menunggu seseorang dari masa laluku. Seorang pria yang sangat ku cintai sekaligus pria yang telah ku lukai hatinya. Nando Saputra, mantan kekasihku yang telah memutuskan pergi dariku setelah aku dengan tega mengusirnya begitu saja.
Sekarang rasa menyesal kembali menghatuiku saat ku tahu sebuah fakta yang lebih mengerikan...dia Nando, pria yang selama ini ku rindukan adalah adik dari pria yang menikahiku. Rasanya aku ingin bunuh diri saat ini juga....!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amy Zahru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Hasrat yang Terpendam
Aku terbangun dengan napas tersengal. Tubuhku masih panas, wajahku basah oleh air mata. Bayangan Nando di masa lalu begitu jelas, begitu nyata, hingga aku nyaris merasakan kembali dekapannya.
Ketika pandanganku pulih, aku mendapati Ali duduk di kursi samping ranjang. Wajahnya lelah, matanya sedikit merah. Entah sejak kapan ia di sana.
“Kamu mimpi buruk, ya?” suaranya pelan, penuh kekhawatiran. Tangan hangatnya menyentuh dahiku. “Masih panas…”
Aku tercekat. Hati ini mendadak sesak. Bukan hanya karena demam, tapi karena rasa bersalah yang menohok.
Ali—lelaki baik, suamiku, yang tak pernah sekali pun menyinggung soal malam pertama kami dulu. Ia menerimaku seutuhnya, tanpa curiga, tanpa bertanya. Seolah ia percaya sepenuhnya bahwa aku suci untuknya.
Padahal kenyataannya tidak.
Malam pertama yang kuceritakan sebagai pengalaman gugup, nyatanya adalah kebohongan. Karena aku sudah menyerahkan segalanya pada Nando jauh sebelum aku mengenal Ali.
Aku ingin menangis lagi, tapi bukan karena mimpi. Kali ini karena rasa bersalah.
“Ali…” suaraku serak.
“Ya?” Ia menatapku penuh perhatian.
Aku ingin jujur. Ingin mengaku bahwa aku telah menikahinya dengan kebohongan, bahwa tubuh ini pernah jadi milik laki-laki lain. Tapi bibirku tak sanggup mengucapkannya. Kata-kata itu tersangkut di tenggorokan, tertelan rasa takut.
Ali tersenyum kecil. Ia meraih tanganku, mengecupnya singkat. “Tidurlah lagi. Aku jaga di sini.”
Hatiku semakin remuk. Ia begitu tulus.
Tapi justru karena itulah aku semakin terobsesi pada Nando. Semakin ingin merebutnya kembali, seolah hanya dengan cara itu aku bisa menebus semua dosa dan kebohongan yang kujalani sekarang.
Di luar kamar, di ruang tamu yang gelap, Nando duduk sendirian. Rambutnya masih lembap, tubuhnya masih terasa dingin bekas air kolam. Pandangannya kosong, menatap titik entah di mana.
Ia tahu batas. Tapi, kenapa akhir-akhir ini tubuhnya bereaksi saat melihat kakak iparnya? Seolah mereka sudah saling mengenal lama dan intim? Termasuk tentang beberapa potong ingatan yang mulai datang.
Nando mengepalkan tangannya. Sakit di kepalanya tiba-tiba kambuh—rasa nyeri yang sering muncul ketika potongan ingatan masa lalunya mencoba kembali.
Malam itu ia memejamkan mata erat, menahan denyut di pelipis. Bayangan wajah Aura, tawa kecilnya, bahkan tangisannya, berkelebat silih berganti.
Sementara itu, di kamar atas, Aura menutup mata, membiarkan air matanya jatuh diam-diam.
Ali… maafkan aku. Tapi hatiku… hanya milik Nando.
Pagi itu rumah terasa dingin meski matahari sudah naik tinggi. Aura masih lemah di tempat tidur, tubuhnya belum sepenuhnya pulih dari demam semalam. Matanya yang setengah terbuka menatap kosong ke arah pintu kamar yang setengah terbuka.
Dari bawah terdengar suara keras—suara Ali.
“Apa maksudmu bikin Aura sampai jatuh ke kolam?!” bentaknya.
Suara langkah kaki berat bergema di ruang tamu, diikuti suara Nando yang lirih.
“Aku… tidak bermaksud, Kak.”
Aura tertegun. Hatinya langsung mencelos. Ia ingin bangkit, ingin turun dan menjelaskan bahwa semua salahnya. Aura yang menjahili Nando, dia yang membuat kejar-kejaran itu terjadi. Tapi tubuhnya begitu lemah, hanya bisa menggigil.
“Aura ga bisa berenang, dia ga bisa deket - deket kolam!” suara Ali makin meninggi.
“Maafkan aku… aku benar-benar tidak tahu bisa sampai begitu,” Nando menunduk. Suaranya tertahan, penuh penyesalan.
Hening beberapa detik, lalu suara dentuman terdengar—Ali menghantam meja dengan keras.
“Jangan ulangi lagi. Aura itu istriku dan meski kalian saudara ipar tapi, tolong jaga jarakmu!”
Kata-kata itu menohok jantung. Bukan hanya untuk Aura tapi juga untuk Nando. Baru kali ini dia mendengar Ali begitu marah pada adik kesayangannya.
Dihubungi karena Aura terjatuh ke kolam dan begitu sampai, Ali melihat posisi mereka begitu intim tentu membuatnya resah.
Meski sempat Ali berpikir positif bahwa Nando sedang menyelamatkan istrinya tapi tetap saja, rasa cemburu dan tak terima ketika wanitanya duduk dipangkuan lelaki lain dengan posisi begitu dekat membakar jiwa raganya, hingga ia lepas kendali.
Ali bukan pria dewasa yang polos. Akhir-akhir ini ia melihat perubahan pada hubungan istri dan adiknya. Mereka terlihat cukup dekat.
Ali tidak bermaksud untuk cemburu tapi melihat kejadian kemarin membuat pikirannya dipenuhi hal-hal yang buruk.
Sementara itu di kamar, dibayangan matanya, Aura bisa melihat wajah Nando yang hanya bisa menunduk pasrah. Nando memang tidak pernah melawan. Hanya menerima setiap amarah Ali, seolah itu hukuman yang memang layak ia jalani.
Dalam pikiran dan hatinya bahkan tak ada rasa khawatir untuk suaminya seolah dalam dunianya hanya ada Nando dan Nando lagi.
Air mata Aura menetes di bantal. Bukan salahmu, Nando… ini salahku. Tapi kenapa kamu yang harus menanggung semuanya?
Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka. Ali masuk, wajahnya masih keras. Namun ketika melihat Aura, ia berusaha menurunkan nada suaranya.
“Kamu belum tidur lagi?” tanyanya sambil duduk di tepi ranjang. Tangannya menyentuh kening. “Masih panas. Mulai hari ini aku cuti beberapa hari, biar bisa jaga kamu di rumah.”
Aura terdiam. Hatinya justru semakin tertekan. Kehadiran Ali yang penuh perhatian membuatnya sesak—bukan karena tidak menghargai, tapi karena itu berarti ia tidak bisa lagi dekat dengan Nando.
Ali tersenyum tipis. “Kamu nggak usah khawatir apa-apa. Aku di sini, ya? Kamu cuma perlu istirahat.”
Aura mengangguk kecil, meski matanya kembali berkaca-kaca.
Di luar kamar, Nando berdiri lama di dekat tangga, mendengar semuanya. Ada sesal dalam hatinya, tapi juga luka. Ia tahu dirinya hanya seorang adik ipar di rumah itu. Ia tahu batas. Tapi mengapa akhir-akhir ini setiap kali melihat Aura, hatinya tak bisa patuh pada logika?