NovelToon NovelToon
Dijual Untuk Hamil Anak Ceo

Dijual Untuk Hamil Anak Ceo

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: Mira j

Liana Antika , seorang gadis biasa, yang di jual ibu tiri nya . Ia harus bisa hamil dalam waktu satu bulan. Ia akhirnya menikah secara rahasia dengan Kenzo Wiratama—pewaris keluarga konglomerat yang dingin dan ambisius. Tujuannya satu, melahirkan seorang anak yang akan menjadi pewaris kekayaan Wiratama. agar Kenzo bisa memenuhi syarat warisan dari sang kakek. Di balik pernikahan kontrak itu, tersembunyi tekanan dari ibu tiri Liana, intrik keluarga besar Wiratama, dan rahasia masa lalu yang mengguncang.

Saat hubungan Liana dan Kenzo mulai meluruhkan tembok di antara mereka, waktu terus berjalan... Akankah Liana berhasil hamil dalam 30 hari? Ataukah justru cinta yang tumbuh di antara mereka menjadi taruhan terbesar?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 20

Hari itu, matahari sudah condong ke barat, tapi Kenzo masih berada di vila tempat Liana tinggal. Sejak pagi, Liana terlihat sangat lemas. Setiap kali mencoba makan atau bahkan mencium aroma makanan, ia langsung muntah. Maria yang panik terus mondar-mandir, mencoba segala cara agar nona Liana merasa sedikit lebih baik.

Namun, sesuatu yang aneh terjadi.

Setiap kali Kenzo duduk di samping Liana, dan bisa mencium bau badan suami nya —mual itu menghilang perlahan, seakan tubuh Liana menemukan ketenangan dalam kehadiran suaminya.

Namun begitu Kenzo keluar sebentar, bahkan hanya ke teras untuk menerima panggilan, suara muntah Liana kembali terdengar dari dalam kamar. Maria pun buru-buru memanggilnya lagi.

“Tuan! Cepat masuk! Nona muntah lagi!”

Kenzo segera masuk dan langsung duduk di pinggir ranjang, mengusap pelan punggung Liana.

“Liana... aku di sini... tenang ya, aku nggak ke mana-mana.”

Ajaibnya, dalam waktu beberapa menit, tubuh Liana mereda. Ia terbaring sambil menggenggam tangan Kenzo erat-erat.

“Ken... aku nggak ngerti. Setiap kamu jauh sedikit, aku langsung nggak enak badan lagi... seperti tubuhku tahu kamu pergi.”

Kenzo menatap wajah pucat Liana dengan penuh kasih sayang.

“Mungkin... ini karena kamu terlalu stres atau terlalu sayang sama aku. Jadi kalau aku pergi, bayimu langsung protes.”

Kenzo mengusap lembut perut Liana yang masih datar.

Liana tertawa kecil, lalu menggeleng.

“Aku belum pernah ngerasa kayak gini. Waktu aku pikir aku siap menghadapi semua ini... ternyata kenyataannya jauh lebih berat, Ken. Tapi... kamu di sini, dan itu cukup buatku bertahan.”

Kenzo menggenggam tangannya lebih erat, lalu menatapnya serius.

“Aku nggak akan ninggalin kamu. Hari ini, aku batal ke kantor. Kamu jauh lebih penting dari semua urusan bisnis di dunia ini, Li.”

Liana menahan air matanya yang hampir jatuh.

Untuk pertama kalinya, ia merasa menjadi perempuan paling beruntung di dunia. Walau pernikahan mereka diawali dengan paksaan dan rahasia, tapi cinta perlahan tumbuh.dan itu nyata bagi Liana.

Kenzo duduk di tepi ranjang, memperhatikan wajah pucat Liana yang terlihat sangat lelah. Tangannya dengan lembut mengelus rambut istrinya yang mulai lembab karena keringat dingin. Seharian ini, Liana tidak berhenti muntah, dan itu membuat Kenzo benar-benar khawatir. Ia tahu Liana kuat, tapi tidak dengan cara seperti ini.

“Besok kita ke rumah sakit, ya. Kita harus konsultasi tentang semua ini. Aku nggak mau kamu terus-terusan muntah kayak gini, Li. Kasihan anak kita... kalau sampai kekurangan nutrisi, aku nggak akan maafin diriku sendiri.”

Liana membuka matanya perlahan. Sorot matanya sayu, tapi masih menyimpan sedikit semangat.

“Baiklah, Ken. Kita ke rumah sakit besok. Tapi... saat ini... aku cuma mau tidur sebentar. Aku capek banget... lemes... dan jujur, aku ngerasa nggak sanggup lagi kalau sendirian...”

Ia menggenggam tangan Kenzo, seakan mengunci laki-laki itu di sisinya.

“Aku mau kamu tetap di sini... nemenin aku. Jangan tinggalin aku, ya. Aku takut... aku capek muntah terus. Aku butuh kamu, Ken. Cuma kamu yang bisa bikin aku sedikit tenang.”

Kenzo menatap wajah Liana, hatinya berdesir. Tidak pernah dalam hidupnya ia melihat seorang perempuan sekuat ini... tapi juga serapuh  itu dalam menunjukkan kelemahannya hanya padanya. Ia mengangguk pelan, lalu membenahi selimut Liana.

“Aku nggak akan ke mana-mana, Li. Aku akan tetap di sini, nemenin kamu sampai kamu tidur. Dan kalau kamu bangun nanti, aku masih di sini. Aku janji.”

Liana tersenyum tipis, dan perlahan memejamkan matanya. Nafasnya mulai teratur. Sementara Kenzo, masih duduk di sampingnya, menatap perut istrinya yang masih datar namun kini berisi kehidupan baru. Matanya penuh harap dan janji yang belum diucapkan: bahwa ia akan melindungi mereka berdua, apapun yang terjadi.

Ruangan itu sunyi, hanya terdengar suara  tarikan nafas teratur dari Liana yang tertidur di samping Kenzo. Lampu kamar sengaja diredupkan, memberikan suasana yang menenangkan setelah hari yang begitu melelahkan. Kenzo memandangi wajah istrinya yang tertidur dengan pulas, meski ada sisa letih yang belum sepenuhnya pergi dari garis wajah itu. Rambut Liana menempel sedikit di keningnya karena keringat, namun tetap tampak cantik di mata Kenzo.

Pelan-pelan, Kenzo menunduk, lalu mengelus lembut perut Liana yang masih datar. Gerakannya sangat hati-hati, seolah takut membangunkan dua jiwa yang tengah beristirahat—istri yang sangat ia cintai, dan buah hati yang kini mulai tumbuh di dalam rahimnya.

Tangannya berhenti sesaat di atas perut itu. Matanya berkaca-kaca tanpa ia sadari. Suara hatinya perlahan bergumam, lalu tanpa ragu, ia membisikkan kata-kata itu dengan suara sangat pelan, penuh kasih.

“Kamu baik-baik di sana ya, Nak. Jangan nakal... kasihan mama kamu. Dia udah berjuang banget buat kamu, buat kita. Papa janji... papa bakal jaga mama. Papa bakal lindungin kamu, seumur hidup papa.”

Suara Kenzo bergetar, namun senyuman tipis mengembang di bibirnya. Ia tak pernah menyangka akan sampai di titik ini—di mana hanya dengan menyentuh perut datar istrinya, ada rasa hangat dan haru menyeruak ke seluruh dadanya. Sebuah perasaan baru yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

“Ternyata... begini rasanya jadi seorang ayah, ya?” gumamnya lirih, lebih untuk dirinya sendiri. Ada ketakutan di sana, tentu saja. Tapi lebih dari itu, ada cinta yang luar biasa besar.

Ia membaringkan tubuhnya sedikit, mendekap Liana dengan hati-hati, menjaga agar pelukannya tidak membangunkannya. Dalam posisi itu, ia kembali mengelus perut Liana, menenangkan dirinya sendiri sekaligus mengirimkan rasa sayang ke bayi mereka.

“Tidur yang nyenyak, sayang... Papa di sini. Selalu.”

Saat malam mulai merayap perlahan, Liana terbangun dari tidurnya. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya temaram dari lampu kamar yang sengaja dibiarkan menyala redup. Aroma tubuh Kenzo yang masih tercium samar dari bantal di sampingnya membuat detak jantungnya terasa tenang. Ia menoleh ke samping—dan benar saja, Kenzo masih tertidur pulas di sebelahnya.

Sesaat Liana hanya menatap wajah suaminya yang tenang dalam tidur. Wajah itu, yang biasanya terlihat tegas dan penuh kendali, kini tampak sangat damai… bahkan nyaris polos. Sesuatu di dada Liana terasa hangat. Ia belum pernah merasa senyaman ini sebelumnya. Sejak kecil hidupnya dipenuhi tekanan, hinaan, dan tuntutan. Tapi bersama Kenzo, meski awalnya terasa dipaksakan dan tidak jelas, ia justru menemukan ketenangan.

Namun perutnya mulai memberikan sinyal lain. Perutnya terasa keroncongan, benar-benar kosong. Mungkin karena seharian ini ia tidak makan apa pun selain sedikit air. Ia perlahan duduk di atas ranjang, berusaha tak menimbulkan suara agar Kenzo tetap tertidur. Kepalanya sedikit berat, tapi tubuhnya sudah terasa lebih baik dibandingkan tadi siang.

“Maaf ya... aku bangun dulu,” bisiknya pelan ke arah Kenzo.

Dengan hati-hati, Liana bangkit dari tempat tidur. Ia menyentuh dahinya sebentar—tidak demam, hanya lelah. Langkahnya pelan menuju kamar mandi. Ia menyalakan shower hangat, membiarkan air membasuh seluruh tubuhnya yang lengket oleh keringat.

Setelah mandi, Liana mengenakan piyama lembut berwarna putih dengan motif kecil. Rambutnya dikeringkan sekadarnya, lalu diikat longgar ke belakang. Ia kembali melihat Kenzo, yang masih belum bergeming dari posisinya. Wajah itu benar-benar tak berubah—tenang, dan tampak lelah sekali.

Liana menarik napas panjang. Hatinya sejenak menghangat. “Aku nggak tahu kenapa, tapi kamu bikin aku tenang, Kenzo,” gumamnya lirih sebelum perlahan membuka pintu kamar dan melangkah menuju ruang makan, mencari sesuatu yang bisa mengisi perutnya.

Sesampainya di meja makan, aroma masakan menggoda dari dapur. Maria tengah sibuk mengaduk sup untuk makan malam ketika suara langkah pelan Liana membuatnya menoleh cepat.

“Nona?” Maria menghentikan aktivitasnya dan langsung menghampiri Liana yang berdiri di ambang pintu dengan wajah lelah namun tatapan mata yang penuh keinginan.

“Kamu sudah baikan, sayang? Ada yang kamu butuhkan?”

Liana mengangguk pelan. “Aku lapar, Maria... tapi nggak pengen makan nasi. Rasanya eneg banget lihat nasi.”

Maria menatapnya dengan cemas. “Terus kamu mau makan apa? Aku buatin ya, apa aja... asal kamu makan.”

Liana menarik napas. “Aku pengen bakso. Yang di warung mamang-mamang, dekat tempat aku kerja dulu. Aku pengen makan di sana, bukan cuma dibelikan.”

Maria langsung menggeleng panik. “Hah? Liana, kamu ini masih lemas, Nggak mungkin aku izinkan kamu keluar. Gimana kalau Tuan Kenzo tahu? Bisa-bisa aku yang dipecat!”

“Aku ingin makan disana, Maria. Perutku kosong seharian dan yang aku mau cuma itu.” Nada suara Liana mulai memelas.

Saat Maria hendak membuka suara lagi untuk menolak, tiba-tiba suara berat terdengar dari atas tangga.

“Kalau memang itu yang kamu pengin, ayo, kita berangkat sekarang.”

Keduanya menoleh cepat. Di atas tangga, berdiri sosok Kenzo dengan tatapan lembut namun mantap. Ia menuruni tangga sambil memasukkan tangan ke saku celananya, lalu berdiri tepat di hadapan Liana.

“Ken... Kenzo?” gumam Liana heran.

“Aku dengar semua,” ujar Kenzo sambil tersenyum kecil. “Kamu ngidam, ya? Dan kamu maunya makan bakso itu langsung di warungnya, kan?”

Liana menunduk malu, pipinya merona. “Aku juga nggak ngerti ini kenapa. Tapi rasanya bener-bener pengen banget.”

Kenzo mengusap punggungnya pelan. “Kalau itu bisa bikin kamu tenang dan perut kamu bisa nerima makanan, ya kita pergi. Ganti baju yang hangat, aku tunggu di mobil.”

Maria masih terdiam dengan ekspresi setengah bingung setengah lega. “Tuan… apa tidak lebih baik saya saja yang beli?”

Kenzo menoleh dan tersenyum tipis. “Kalau hanya dibeliin, dia nggak akan puas. Ini bukan soal makanannya, tapi perasaannya. Aku ngerti itu.”

Liana menatap Kenzo lama, hatinya menghangat. Ia mengangguk pelan dan segera menuju kamarnya untuk bersiap.

Sementara itu, Maria hanya bisa geleng-geleng kepala .untung tuan Kenzo menuruti keinginan Liana kalau tidak bisa ngeces nanti bayi nya …!”

1
watashi tantides
Nyesel ya pak gara gara nikah lagi😔 Kasian nasib Liana anak kandungnu pak😭
watashi tantides
Sakit banget💔😭 Liana 🫂
watashi tantides
Semoga Kenzo jatuh cinta ke Liana🥰 maaf Claudia istri sah itu semua karna kamu yang mepersatukan Kenzo dan Liana dan yang terlalu tega ke mereka😔
watashi tantides
Sakit banget💔😭
watashi tantides
Please ini mengandung bawang😭
watashi tantides
Mulai tumbuh benih sayang Kenzo ke Liana🥹🤍
Mira j: trimakasih KK dah singgah 🙏🏻💞
total 1 replies
watashi tantides
Liana😭❤️‍🩹
watashi tantides
Liana😭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!