Dulu, dia hanyalah seorang anak jalanan—terlunta di gang sempit, berselimut kardus, hidup tanpa nama dan harapan. Dunia mengajarinya untuk tidak berharap pada siapa pun, hingga suatu malam… seorang gadis kecil datang membawa roti hangat dan selimut. Bukan sekadar makanan, tapi secercah cahaya di tengah hidup yang nyaris padam.
Tahun-tahun berlalu. Anak itu tumbuh menjadi pria pendiam yang terbiasa menyimpan luka. Tanpa nama besar, tanpa warisan, tanpa tempat berpijak. Namun nasib membawanya ke tengah keluarga terpandang—Wijaya Corp—bukan sebagai karyawan, bukan sebagai tamu… tapi sebagai calon menantu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Portgasdhaaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusasaan
Aditya duduk membisu di balik meja kerjanya. Kepalanya terasa berat, matanya nyaris tak bisa fokus pada layar laptop yang dipenuhi grafik merah.
Semua berita dan artikel mengatakan hal yang sama.
Wijaya Corp sedang runtuh.
Ia menghembuskan napas pelan.
Investor terakhir baru saja menutup telepon dengan kalimat yang menggantung di telinganya:
“Maaf, Terpaksa kami harus menarik diri. Bagaimanapun resikonya terlalu tinggi.”
Bahu Aditya turun perlahan.
Selama tiga hari terakhir, ia nyaris tidak tidur. Mengejar, melobi, bernegosiasi, semua sudah dia lakukan. Namun, satu per satu, semuanya menutup pintu.
Ia menatap meja kerjanya berantakan. Tumpukan dokumen belum disentuh. Notifikasi di ponsel tak berhenti berdentang. Tapi Aditya hanya duduk. Terbungkam dalam perang yang tampaknya tak bisa ia menangkan.
“Apa yang belum kulakukan?” Bisiknya pada diri sendiri.
Rapat dengan investor? Gagal.
Negosiasi logistik? Gagal.
Lobi ke jaringan lama? Tak satu pun percaya.
Tidak ada satu pun usahanya yang membuahkan hasil.
Selama ini ia berpikir, kerja keras akan cukup untuk menyelamatkan segalanya. Bahwa jika ia cukup gigih, cukup tepat, cukup cepat maka semesta akan memberi celah. Tapi kali ini, tidak ada hal yang berjalan sesuai keinginannya. Langit seperti benar-benar menutup semua pintu.
Tidak ada keajaiban. Tidak ada keberuntungan.
Hanya angka-angka merah dan kepercayaan yang menguap.
Bahkan, rekan yang dulunya menyebut dia “partner masa depan”, kini hanya menjawab datar.
“Maaf, Kami perlu menjaga reputasi.”
_______
Tiba-tiba pintu ruangannya diketuk pelan. Sekretarisnya masuk, menyerahkan laporan cetak dengan wajah murung.
“Pak, Ini hasil pembaruan terakhir. Lima rekanan logistik memutus kontrak. Satu investor utama resmi tarik modal. Dan... tim hukum melaporkan surat gugatan dari holding Lim sudah diajukan.”
Aditya tak menjawab. Hanya mengangguk. Sekretaris itu pamit, meninggalkan keheningan yang lebih sunyi dari sebelumnya.
Ia memejamkan mata, mencoba mengatur napas.
Yang ia terima hanyalah penolakan, pengkhianatan, dan...kekalahan.
Ia pun bangkit. Melangkah pelan ke jendela besar yang menghadap kota. Di luar, rintik hujan turun perlahan, membasahi gedung-gedung tinggi yang kini terasa seperti menara kesepian.
“Apakah tidak ada cara lain?”
“Apakah kita hanya bisa duduk pasrah…?”
Tangannya memijat pelipis. Lelah sudah bukan cuma di tubuh, tapi juga merayap ke dalam batin. Begitu banyak tekanan yang menghantamnya hanya dalam waktu singkat.
Sekali lagi, pintu terbuka.
Kali ini seorang pria masuk dengan wajah kusut, tanpa aba-aba langsung meletakkan sebuah map di atas meja. Dia adalah asisten pribadinya yang juga keponakan istrinya. Denis.
“Pak... file terakhir dari unit logistik. Ada yang janggal.”
Aditya membuka lembar pertamanya. Matanya menyipit.
Banyak data yang diubah, tanda tangan dipalsukan, bahkan alur distribusi dialihkan.
“Ini sabotase,” gumamnya.
Denis mengangguk.
“Kami telusuri jejak digitalnya... dan..."Denis memelankan suaranya, "itu mengarah ke Bu Melati dan Bu Mira.”
Aditya terdiam. Tidak lagi terkejut. Semua hal yang terjadi dalam waktu singkat ini telah menguras begitu banyak mentalnya.
“Mereka menghancurkan kita dari dalam.”
Denis berdiri ragu. Lalu berkata pelan, seakan takut dengan jawabannya sendiri.
“Pak… kalau boleh jujur... saya rasa... kita sudah kalah.”
Kalimat itu seperti peluru tanpa suara, tapi tepat menembus dada.
Aditya memandangi Denis. Bukan dengan marah, tapi dengan mata kosong. Seperti seorang jenderal yang menyadari seluruh pasukannya telah gugur satu per satu.
Beberapa menit kemudian, Aditya turun ke lantai bawah.
Sebagian besar kantor sudah gelap.
Tapi ruang rapat utama masih menyala. Beberapa staf bertahan, bukan karena perintah… tapi karena rasa tanggung jawab yang belum mati.
Ada yang menatap layar laptop dengan mata lelah. Ada yang memegangi kepala sendiri. Mereka semua tetap tinggal di saat banyak yang sudah mengundurkan diri. Mungkin karena kesetiaan, mungkin juga karena belum tahu ke mana harus pergi jika semua ini runtuh.
Salah satu staf wanita memeluk berkas di dadanya, sesekali menatap ke arah Aditya seolah ingin bertanya… tapi tak berani.
Seorang pria paruh baya duduk dengan wajah murung, kemeja kusut, dasi longgar. Mungkin belum pulang sejak kemarin.
Mereka bukan hanya kehilangan pekerjaan. Mereka kehilangan rasa aman. Kehilangan arah.
Dan Aditya tak bisa menjanjikan apapun lagi.
Aditya melangkah masuk. Ruangan itu sunyi. Hanya suara hujan yang samar terdengar di balik kaca tebal.
Seorang manajer berbisik,
“Pak… bahkan Tuan Wijaya ditolak rekan lamanya. Mereka bilang tak ingin mencampuri konflik keluarga.”
Yang lain menambahkan,
“Bu Ratna juga sepertinya gagal meyakinkan jaringan sosial. Beberapa pihak menarik dukungan.”
Aditya hanya diam. Tangannya menelusuri laporan-laporan di meja, tapi ia tak benar-benar membacanya. Semua angka menari… dan semuanya merah.
Seseorang di seberangnya berkata lirih,
“Pak… saya rasa… kita sudah kalah.”
Ia ingin menyangkal. Tapi apa yang bisa ia sangkal? Fakta? Angka? Pengkhianatan? Bahkan harapan pun kini enggan datang.
Aditya menyandarkan tubuh. Menatap langit-langit. Sebuah senyum kecil muncul di sudut bibirnya.
Senyum getir.
Senyum orang yang akhirnya… mengakuinya.
Ya.
Mereka sudah kalah.
______
Sementara itu...
Di sudut rumah keluarga Wijaya yang sunyi,
Tuan Wijaya duduk termenung di kursi kayu tuanya. Hujan masih turun di luar sana. Suara rintiknya mengiringi detak jam tua di dinding, menambah sunyi yang meresap.
Tangannya yang keriput menggenggam erat tongkat kayunya. Matanya memandang kosong ke arah taman yang basah. Semua pintu telah ditutup. Semua jalur telah diblokir. Bahkan rekan-rekan lama yang dulu memujanya, kini membalik badan tanpa ragu.
Ia menarik napas panjang. Ada rasa kecewa. Tapi tidak ada keputusasaan. Dia sudah terlalu tua untuk tidak mengerti bagaimana dunia bekerja.
“Arka, sekarang apa yang akan kau lakukan?” Gumamnya pelan.
_____
Di sisi lain,
Di sebuah kafe kecil yang hampir tutup, Ratna duduk di sudut, dengan ponsel di tangan yang tak kunjung berdering.
Segelas kopi di depannya sudah dingin. Undangan yang ia kirim ke grup sosialita, ke rekan bisnis, ke komunitas ibu-ibu elite… semuanya sunyi.
Tak satu pun membalas. Tak satu pun datang.
Dunianya yang dulu penuh koneksi, kini membisu. Semua menjauh, seolah reputasi yang hancur adalah virus yang harus dihindari.
Ratna menunduk. Air matanya jatuh tanpa suara.
“Apa semua ini tak ada artinya?” Suaranya terisak dalam kesunyian.
_____
Tapi, kesunyian itu tak hanya milik Ratna.
Di rumah sakit,
Laras duduk di ranjangnya sambil memandangi layar ponsel.
Besok, dokter sudah mengizinkannya pulang. Secara medis, ia dinyatakan cukup stabil. Tapi tidak dengan perasaannya.
Berita tentang Wijaya Corp terus mengalir. Komentar pedas. Analisa jurnalis. Gosip dari akun anonim.
Tangannya gemetar. Ia ingin melakukan sesuatu. Apa pun.
Tapi semua hal besar terjadi di luar sana—di kantor, di ruang rapat, di dunia yang terus bergerak—sementara ia terjebak di ruangan kecil yang sepi.
“Aku Cuma bisa diam? Saat semuanya berantakan seperti ini?”
Ia memeluk lututnya, kepala tertunduk, matanya memerah.
Untuk pertama kalinya, ia merasa sangat kecil dan tak berguna.
_____
Semua orang kini berada di ambang keputusasaan.
Aditya, yang telah mencoba segala cara.
Ratna, yang dikucilkan di tengah lingkaran sosialnya.
Tuan Wijaya, yang harus menelan pengkhianatan demi pengkhianatan.
Laras, yang hanya bisa menyaksikan dari jauh dengan hati yang gelisah.
Semua orang frustasi. Semua orang putus asa.
Semua…
Kecuali satu orang.