Willie, seorang pengusaha muda yang sukses, hidupnya hancur seketika ketika sang istri, Vira meninggal secara tragis setelah berusaha membuka kasus pemerkosaan yang melibatkan anak didiknya sendiri.
Kematian Vira bukan kecelakaan biasa. Willie bersumpah akan menuntut balas kepada mereka yang telah merenggut keadilan dan istrinya.
Namun di balik amarah dan tekadnya, ada sosok kecil yang menahannya untuk tidak tenggelam sepenuhnya, putri semata wayangnya, Alia.
Alia berubah menjadi anak yang pendiam dan lemah sejak kepergian ibunya. Tidak ada satu pun yang mampu menenangkannya. Hanya seorang guru TK bernama Tisha, wanita lembut yang tanpa sengaja berhasil mengembalikan tawa Alia.
Merasa berhutang sekaligus membutuhkan kestabilan bagi putrinya, Willie mengambil keputusan untuk melakukan pernikahan kontrak dengan Tisha.
Willie harus memilih tetap melanjutkan dendamnya atau mengobati kehilangan dengan cinta yang tumbuh perlahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cerita Tina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memalukan
Begitu melihat Willie, Tisha sangat panik. Tangannya refleks memegang kepala, matanya melirik ke sekeliling dapur, mencari apa pun yang bisa menutupi rambut dan tubuhnya. Namun tidak ada satupun yang bisa ia pakai.
Willie menepuk tangannya, seolah memberi aplaus kecil. Ia mengangguk ringan dan ujung bibirnya melengkung tipis.
“Pertunjukan yang bagus,” ucapnya santai sembari melangkah ke arah dispenser.
“Mengapa tidak bilang kalau Anda pulang?” tanya Tisha gugup, suaranya sedikit meninggi karena panik.
Willie meneguk airnya. “Kenapa aku harus memberitahumu? Bukankah kau juga begitu?” Balasnya dingin.
Lalu Willie duduk di kursi bar mini di dapur. Matanya beralih, memperhatikan beberapa bungkus kopi yang tersusun rapi, seolah mencari sesuatu untuk dikomentari.
“Setidaknya beri tanda jangan tiba-tiba muncul dan mengejutkan orang seperti ini,” gerutu Tisha.
Willie meliriknya singkat. “Apa masalahnya? Ini kan rumahku.”
“Walaupun begitu, Anda harus tahu. Di dalam rumah, perempuan punya wilayah kekuasaan pribadi. Seperti kamar tidur, kamar mandi, dan dapur.” Tisha mengoceh cepat.
Willie tersenyum miring. “Yang harus kau perhatikan, saat suami pulang dan baru bangun, setidaknya buatkan kopi. Bukan malah mengomel.”
Wajah Tisha langsung memerah. Lidahnya kelu, tubuhnya mendadak kaku.
Willie bangkit dan melangkah ke arah Tisha sampai jarak mereka terlalu dekat. “Tetaplah seperti ini, kau bisa melakukan apa pun di rumah ini.” ujar Willie.
Tangannya menggapai earphone Tisha, lalu menurunkannya pelan ke leher gadis itu. Sentuhannya singkat, tapi cukup membuat Tisha terdiam.
Lalu, dengan satu putaran lembut di bahunya, Willie membalikkan tubuh Tisha ke arah kompor. “Masakanmu hampir gosong tuh.”
Tisha tersentak. Dengan kelabakan ia segera mengecilkan api kompor.
“Huh, gara-gara siapa ini?” dengusnya kesal.
Willie kembali ke meja bar mini dan meraih gelasnya. “Cepat selesaikan, Aku sudah lapar.”
Ia melangkah keluar dapur sambil membawa gelas minumnya, meninggalkan Tisha dengan emosi yang tertahan.
Wajah Tisha menegang. Ia menggigit gerahamnya kuat-kuat menahan kesal dan malu.
“Laki-laki menyebalkan." ucap Tisha.
Willie kembali ke kamarnya dengan langkah ringan dan senyum yang tak lepas dari wajahnya. Begitu pintu kamar tertutup, ia langsung menjatuhkan diri ke ranjang, Ia meraih bantal dan menutupi wajahnya lalu tertawa keras.
Bayangan wajah panik Tisha dan tingkahnya yang konyol, semuanya terputar jelas di kepalanya.
Ia meraih ponsel dan memutar ulang video yang sempat direkamnya.
“Kena kau,” gumamnya puas.
Selesai mandi, Willie berganti pakaian lalu turun menuju meja makan sambil membawa sebuah goodie bag berisi oleh-oleh.
Alia yang sudah duduk lebih dulu sontak menoleh. “Papa!” serunya, lalu berlari menghampiri.
Willie menangkap tubuh kecil itu dan mengayunkannya ke udara.
“Kesayangan Papa,” ujarnya sambil mencium pipi Alia.
“Ini apa, Pa?” tanya Alia dengan mata berbinar, menunjuk kantong di tangan Willie.
“Oleh-oleh untuk dua kesayangan papa,” jawab Willie, sengaja melirik ke arah Tisha.
Tisha yang mendengar itu langsung membuang muka, pura-pura sibuk mengatur piring namun mukanya tampak memerah.
Mereka kembali duduk di meja makan. “Oleh-olehnya dibuka nanti. Sekarang sarapan dulu,” kata Tisha. Ia segera menyendokkan nasi goreng ke piring Alia dan Willie tanpa menatapnya.
Willie memperhatikan Tisha. Rambutnya sudah kembali tertutup kerudung, pakaiannya rapi. Versi yang sangat berbeda dari perempuan yang tadi ia lihat menari dapur. Tanpa sadar, Willie tertawa kecil.
“Kenapa tertawa?” tanya Tisha datar. “Ada yang lucu?”
Willie menggeleng, tapi senyumnya belum sepenuhnya hilang.
Mereka melanjutkan sarapan. Suasana hening sejenak. Tiba-tiba, “Uhuk!”
Willie tersedak kacang polong di nasi gorengnya. Wajahnya menegang, napasnya terhenti sesaat.
Tanpa pikir panjang, Tisha langsung berdiri. Ia menepuk punggung Willie berkali-kali dengan keras hingga akhirnya Willie bisa bernapas kembali.
Dengan mata sedikit berair, Willie menegakkan tubuhnya untuk meredakan sakit di punggungnya.
Ia menoleh ke arah Tisha. “Sepertinya kau dendam sekali,” katanya serak. “Pukulanmu sangat sakit.”
Tisha mencondongkan tubuh sedikit, menatap Willie sambil menyeringai tipis.
“Seperti yang Anda bilang, saya hanya melaksanakan kewajiban sebagai istri.” bisik Tisha puas.
***
Setelah sarapan, Willie menghabiskan waktunya di pinggir kolam renang rumahnya bersama Alia. Tisha sengaja menjaga jarak, memberi ruang bagi ayah dan anak itu untuk melepas rindu.
Dari kejauhan, ia sesekali mengintip. Willie duduk santai sementara Alia berceloteh riang di sampingnya. Mereka saling melempar candaan dan tertawa kecil.
Tisha berbalik ke dapur. Ia menyiapkan minuman segar dan potongan buah, disusunnya rapi di atas piring. Lalu ia menyajikannya untuk mereka.
“Wah, makasih, Bu,” ucap Alia ceria begitu melihatnya.
Tisha tersenyum tipis. Baru saja ia hendak kembali masuk, Willie segera menahannya.
“Kudengar mama dan papa datang ke sini?” tanya Willie.
Tisha tersentak. Reflex ia melirik Alia yang sedang menyuap potongan buah ke mulutnya.
"Ya ampun, aku lupa mengingatkan Alia biar tidak memberitahu tentang ini pada papanya." batinnya.
“I… iya,” jawabnya gugup.
“Mereka menginap?” Willie melanjutkan.
Tisha menunduk, lalu mengangguk kecil.
Willie menatapnya beberapa detik, seolah mencari sesuatu di wajah itu. “Kenapa kau tidak memberitahuku?”
“Apa salahnya kakek dan nenek menjenguk cucunya,” balas Tisha cepat, berusaha tenang. “Lagi pula ini rumah anak mereka sendiri.”
Willie mengangguk perlahan. “Itu benar. Apa mereka menyakitimu atau merepotkanmu?”
Tisha segera menggeleng. “Tidak. Mereka sangat baik.”
Willie menghela napas lega. “Syukurlah. Lain kali, tolong beritahu aku apa pun yang terjadi.”
Willie berkata lebih lembut, “Aku tahu kau masih marah. Aku benar-benar minta maaf soal itu.”
Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan, “Sejak aku pergi, aku sangat khawatir pada kalian.”
Tisha masih diam dan tak berani menatapnya lama.
“Terima kasih sudah menjaga Alia dan menjadi tuan rumah yang baik,” tutup Willie akhirnya.
Tisha mengangguk lagi. Willie pun kembali menghampiri Alia, melanjutkan obrolannya dengan Alia, seolah tak pernah terjadi apa-apa dengam kedua orang dewasa itu.
Tisha mengelus dadanya pelan, "Untunglah dia tidak marah," batinnya.
kopi untuk mu