Violetta Madison gadis 20 tahun terpaksa menyewakan rahimnya demi membayar hutang peninggalan kedua orangtuanya. Violetta yang akrab dipanggil Violet itupun harus tnggal bersama pasangan suami istri yang membutuhkan jasanya.
"Apa? Menyewa rahim ?" ucap Violet,matanya melebar ketika seorang wanita cantik berbicara dengannya.
"Ya! Tapi... kalau tidak mau, aku bisa cari wanita lain." ucap tegas wanita itu.
Violet terdiam sejenak,ia merasa bimbang. Bagaimana mungkin dia menyewakan rahimnya pada wanita yang baru ia kenal tadi. Namun mendengar tawaran yang diberikan wanita itu membuat hatinya dilema. Di satu sisi, uang itu lebih dari cukup untuk membayar semua hutang-hutangnya. Namun disisi lain,itu artnya dia harus rela kehilangan masa depannya.
"Bagaimana... apakah kau tertarik ?" tanya wanita itu lagi.
Violet tesentak,ia menatap wanita itu lekat. Hingga akhirnya Violet mengangguk tegas. Tanpa ia sadar keputusannya itu akan membawanya kepada situasi yang sangat rumit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irh Djuanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua tahun kemudian
Sebuah bangunan kecil berdiri di tengah distrik yang dahulu terabaikan, kini mulai tumbuh kembali. Plang kayu di atas pintunya bertuliskan:
"The Light Project~Klinik dan Pusat Konseling Gratis untuk Korban Kejahatan Korporat."
Di dalamnya, Adrian mengenakan kemeja sederhana, sedang duduk di sebuah meja kayu, dikelilingi dokumen dan berkas. Tak lagi jas mahal, tak lagi ruang kantor tinggi pencakar langit. Tapi ekspresi damainya, jauh lebih berharga dari segalanya./Pintu diketuk. Violet masuk, membawa dua gelas kopi.
“Lima janji temu hari ini. Tiga di antaranya korban kebijakan pabrik lama McKenna yang akhirnya berani bicara,” ujar Violet sambil duduk di seberangnya. Adrian tersenyum.
“Bagus. Kita dengarkan mereka. Dan pastikan tak ada yang tertinggal.”
Mereka saling bertukar pandang, sejenak diam… lalu tertawa kecil. Luka mereka masih ada, tapi tak lagi menjadi beban. Mereka telah memilih untuk menyembuhkan orang lain sembari menyembuhkan diri sendiri.
Di rumah perawatan lansia yang tenang di pinggiran kota, Helena duduk di kursi roda, wajahnya jauh lebih cerah daripada saat pertama kali datang ke tempat itu. Ia sedang bermain catur dengan seorang anak kecil—anak dari salah satu perawat.
“Jadi, kau pikir bisa kalahkan nenek, ya?” katanya dengan tawa pelan. Anak itu tertawa, lalu menjawab,
“Tapi kau bukan nenekku.”
“Benar,” sahut Helena,
“Tapi aku belajar… keluarga tidak harus selalu tentang darah. Tapi tentang siapa yang tinggal saat semua orang pergi.”tambahnya.
Sementara itu, di ruang tahanan khusus negara, Ramon duduk dalam diam. Rambutnya memutih, wajahnya tirus, dan matanya yang dulu tajam kini tampak kosong. Ia tak lagi memiliki pengaruh, tak lagi jadi pusat dunia.
Ia menerima surat satu bulan sekali—bukan dari Adrian, bukan dari dunia luar, tapi dari Berta. Surat-surat itu tak pernah dibalas, tapi selalu dibaca. Mungkin rasa bersalah adalah satu-satunya yang masih hidup dalam dirinya.
Di atas panggung TED Talk yang ramai, nama baru diumumkan.
“Mantan pewaris McKenna Corp yang kini menjadi aktivis sosial dan pendiri The Light Project, Adrian McKenna."
Ia melangkah ke atas panggung, wajah tenang, tak angkuh. Ia membuka pidatonya dengan kalimat:
“Dulu, saya hidup dalam bayang-bayang nama besar. Kini, saya memilih hidup dalam cahaya kecil… yang benar.”
Tepuk tangan menggema. Violet duduk di bangku depan, matanya berkaca-kaca. Ia tahu—ia tak hanya menyaksikan perubahan Adrian. Ia ikut menjadi bagian dari itu.
Dan malam itu, di atap bangunan kecil milik The Light Project, di bawah langit penuh bintang yang sama seperti dua tahun lalu, Adrian memandang ke atas, menggenggam tangan Violet.
“Terima kasih… karena sudah datang didalam kehidupanku.” bisiknya.Violet tersenyum, menoleh padanya.
“Kau tahu siapa yang paling berjasa disini?" sahut Violet pelan. Adrian menoleh pelan.
“Claudia. Aku sangat berterima kasih padanya. Karena kesalahannya, kita bertemu, ayah dan ibuku mungkin sudah mendapat ketenangan."lanjut Violet.
Dan dalam keheningan malam yang damai, di luar hiruk-pikuk dunia, terdengarlah suara paling jujur dalam hidup mereka: kelegaan.Adrian tak menyangka Violet menyebut nama mantan istrinya itu. Namun semua yang dikatakan Violet adalah benar.
***
Hari-hari berlalu, dan The Light Project tumbuh menjadi lebih dari sekadar tempat pemulihan. Ia menjelma menjadi simbol harapan baru—bagi mereka yang pernah disakiti oleh sistem, oleh kekuasaan, oleh nama-nama besar yang tak lagi abadi.
Di ruang arsip kecil, tumpukan berkas semakin menumpuk. Cerita-cerita korban ditulis, direkam, dan perlahan dibawa ke meja hukum. Beberapa dari mereka akhirnya menerima kompensasi. Sebagian lain mendapatkan sesuatu yang lebih berharga: pengakuan bahwa mereka tidak sendirian.
Adrian sesekali masih menerima undangan ke berbagai forum, tapi ia tak pernah betah lama jauh dari tempat kecilnya itu. Ia tahu, peran pahlawan bukan tentang berdiri di atas panggung, tapi tentang hadir untuk mereka yang suaranya terlalu kecil untuk didengar.
Pada suatu siang yang mendung, sebuah surat tiba di The Light Project, tanpa pengirim. Hanya satu nama tertulis di atas kertas tebal yang sedikit usang. Adrian membacanya di ruang kerjanya, Violet duduk di dekatnya, diam menunggu. Isinya singkat:
"Aku tak bisa kembali dan memperbaiki segalanya. Tapi aku melihat apa yang telah kau lakukan. Dan aku bersyukur. Untukmu… dan untuk Violet. Terima kasih karena membuktikan bahwa kebenaran masih ada. — C"
Surat itu diletakkan kembali dalam amplop. Adrian tak berkata apa-apa, hanya menatap Violet yang mengangguk pelan. Tak perlu ada dendam lagi. Luka dari Claudia… telah berubah menjadi jembatan yang mempertemukan mereka.
Suatu malam, saat Violet sedang mengecat mural di salah satu dinding luar bangunan, seorang gadis muda datang—lusuh, ragu, tapi dengan sorot mata yang penuh harap. Adrian yang baru keluar dari dalam bangunan langsung mengenali sesuatu yang pernah ia lihat pada dirinya sendiri: keputusasaan yang belum menyerah sepenuhnya.
“Kau butuh tempat berlindung?” tanya Adrian lembut. Gadis itu mengangguk. Violet mendekat, lalu memberikan jaketnya.
“Mari masuk. Di sini… kita mulai dari awal,” ucap Violet.
Dan pintu The Light Project kembali terbuka—bukan hanya untuk satu orang, tapi untuk harapan yang terus datang, satu per satu.
***
Matahari pun terbit menyinari distrik dimana Adrian dan Violet tinggal. Seperti biasa Violet bangun di awal pagi menyiapkan segala keperluan mereka. Sementara Adrian masih betah di ranjang mereka. Terdengar suara dering ponsel di atas meja. Violet bergegas mengangkatnya meninggalkan kegiatannya di dapur.
"Halo Vio... apa kabar?"
"Bu Eva? aku baik, Bu. Dan... Bagaimana kabar Mama Helena?" sahut Violet seraya tersenyum simpul.
Di seberang sana, suara Eva terdengar sedikit serak namun hangat.
“Dia tadi malam sempat demam ringan, tapi sekarang sudah membaik. Dan kamu tahu? Dia minta dibawakan buku catatan kecil yang biasa dia pakai. Katanya, masih ada hal-hal yang harus dia tulis.” tutur Eva, Violet hanya tertawa pelan.
“Itu pasti jurnal kecil warna coklat tua yang selalu dia sembunyikan di bawah bantalnya. Kami pernah mencarinya selama seminggu.”
“Kau memang mengenalnya dengan baik,” jawab Eva lembut.
“Dia selalu menyebut namamu, Vio. Dan Adrian. Katanya, kalian membuat sisa hidupnya berarti.” lanjutnya. Violet terdiam sejenak, kemudian berkata pelan,
“Kami hanya membalas kebaikannya dengan sedikit ketulusan.”
Usai menutup telepon, Violet berdiri lama di dekat jendela. Sinar matahari menyapu pelan dinding ruang makan yang dipenuhi foto-foto aktivitas The Light Project. Dalam setiap bingkai, ada wajah-wajah yang dulunya penuh luka, kini tersenyum—beberapa dengan malu-malu, tapi sungguh. Adrian muncul dari balik pintu, mengusap matanya.
“Telepon dari siapa?”
“Eva. Mama Helena ingin buku catatannya,” jawab Violet sambil menyeduh teh. Adrian tersenyum.
“Mungkin dia akan menulis akhir kisahnya sendiri.”
“Atau awal kisah orang lain,” timpal Violet sambil menyerahkan secangkir teh padanya.
***
Hari itu, Adrian dan Violet memutuskan mengantar buku itu sendiri ke rumah perawatan. Di perjalanan, mereka melewati jalur yang dulu suram—bangunan terbengkalai yang kini dicat cerah, taman kecil dengan anak-anak bermain, dan mural besar di dinding stasiun yang menggambarkan dua tangan saling menggenggam. Di bawahnya tertulis:
"Kebenaran bukan milik satu orang. Ia milik mereka yang berani menyuarakannya bersama."
Setibanya di rumah perawatan, mereka menemui Helena yang sedang duduk di taman, mengenakan syal merah yang sama seperti saat ulang tahunnya yang ke-70. Wajahnya pucat, tapi matanya masih menyala.
“Ah… akhirnya kalian datang juga,” gumam Helena, lalu menatap buku di tangan Adrian.
“Kau bawa anakku pulang.” tambahnya sambil menatap wajah Adrian. Violet menyerahkan buku itu.
“Kami hanya mengantarnya kembali ke pemiliknya.”
Adrian junior sudah otw blm yaaa 🤭
Semoga tuan Adrian, vio ,, Eva dan mama Helena akan baik2 saja dan selamat dari niat jahat papa Ramon
Vio,, kamu harus percaya sama tuan Adrian,, Krn aq juga bisa merasakan ketulusan cinta tuan Adrian utk mu....
Vio..., kamu skrg harus lebih hati-hati dan waspada,, jangan ceroboh yaaa
Qta tunggu kelanjutan nya ya Kaka othor
Tolong jagain dan sayangi vio dengan tulus,, ok. Aq merasa ad sesuatu yang kau sembunyikan tentang vio, tuan Adrian. Sesuatu yg baik,, aq rasa begitu....
Dia takut bukan karna takut kehilangan cintanya tuan Adrian,, tapi takut kehilangan hartanya tuan Adrian.