NovelToon NovelToon
CINTAKU YANG TELAH PERGI

CINTAKU YANG TELAH PERGI

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:5.5k
Nilai: 5
Nama Author: Noona Rara

Alisa Veronica gadis cantik yang hidup sebatang kara dalam kesederhanaan. Menjalin kasih dengan seorang pemuda yang berasal dari keluarga terpandang di kota Bandung. Rayyen Ferdinand. Mereka menjalin kasih semenjak duduk di bangku SMA. Namun, kisah cinta mereka tak semulus yang di bayangkan karena terhalang restu dari orang tua yang menganggap Alisa berasal dari keluarga yang miskin dan asal-usul yang tidak jelas. Di tambah lagi kisahnya kandas setelah Rayyen melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Rayyen pergi tanpa sepatah kata atau mengucap kata putus pada Alisa. Ini yang membuat Alisa galau brutal dengan kepergian Rayyen. Enam tahun berlalu, kini Alisa tumbuh menjadi wanita dewasa yang semakin cantik, berbakat dan tentunya kini dia mempunyai bisnis sendiri . Alisa mempunyai toko kue yang cukup terkenal di Jakarta. Dan dia mempunyai 2 cabang di Bandung dan Surabaya. Ada suatu acara dimana ia di pertemukan kembali dengan Rayyen dengan situasi yang canggung dan penuh tanda tanya. Rayyen datang bersama gadis cantik yang terus bergelayut manja di lengan kekarnya. Sedangkan Alisa datang dengan sahabat baiknya, Marko. Seakan waktu di sekeliling berhenti bergerak, Alisa merasakan sesak kembali setelah bertemu dengan Rayyen. Banyak sekali pertanyaan yang ingin dia lontarkan ke wajah kekasihnya itu. Namun itu semua hanya berputar dalam otaknya tanpa keluar satu kata pun. Akankah kisah cinta mereka akan terulang kembali??? Kita liat saja nanti. Heheheh

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noona Rara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BERTEMU ADIKMU

“Bu Alisa, ini kuenya,” kata Dilla sambil menyerahkan satu kantong kue ke tangannya.

“Terima kasih, Dilla. Kamu struk aja ya, aku mau keluar makan siang dulu.” Alisa tersenyum, lalu menyerahkan kantong itu ke Marko.

“Wah, mantap ini,” komentar Marko sambil mengendus aroma manis dari kantong tersebut. “Dil, ini uangnya.”

Marko mengeluarkan tiga lembar seratus ribuan. Dilla terkejut.

“Eh, ini kebanyakan, Pak.”

“Enggak apa-apa, itu tip buat kamu. Kamu udah kerja bagus,” katanya santai sambil mengedipkan mata.

“Terima kasih banyak, Pak!” Dilla tersenyum lebar.

Alisa hanya menggeleng kecil melihat tingkah sahabatnya itu. Marko memang selalu begitu, ringan tangan dan suka menghargai orang lain. Sudah berulang kali ia menegur Marko karena terlalu royal, tapi laki-laki itu selalu menjawab, “Itu rezeki mereka, jangan dipotong. Gue nggak mau jadi temen pelit.”

Yang lebih mengesankan, Marko tak pernah mau menerima gratisan di tokonya. Meski mereka sahabat, ia tetap membayar penuh semua yang dibelinya. Prinsipnya sederhana—persahabatan tak boleh dicampur adukkan dengan urusan bisnis.

“Ya udah, ayo kita pergi,” ajak Marko sambil mengangkat kantong dessert.

Alisa melirik ke arah seorang wanita paruh baya yang masih menatapnya dari kejauhan. “Bu, saya pamit dulu, ya. Selamat berbelanja. Semoga ibu suka kue-kue saya.”

Wanita itu masih terpaku, matanya tak lepas dari wajah Alisa.

"Kue-kue saya?"batinnya.

Jadi toko ini milik dia? Bukan cuma kerja di sini?

Ada rona terkejut sekaligus harap yang perlahan merekah di wajah Wulandari.

Setelah Alisa dan Marko pergi, Wulandari segera menghampiri Dilla.

“Ehem… mbak, saya mau nanya. Yang punya toko ini siapa, ya?”

“Oh, ini toko Bu Alisa, Bu. Orang yang tadi ibu ajak bicara,” jawab Dilla ramah.

Alisa.Nama itu berputar dalam kepalanya.

“Kalau laki-laki yang tadi itu, siapa ya?”

“Itu sahabat Bu Alisa, Marko namanya bu.”

“Saya kira tadi pacarnya, mereka terlihat serasi.” gumam Wulandari sambil tersenyum kecil. “Apa kamu tahu, Bu Alisa tinggal di mana?”

“Hm… maaf, Bu. Tapi saya nggak tahu.”

“Tidak apa-apa. Boleh saya minta nomor teleponnya? Saya ingin memesan kue dalam jumlah besar.”

“Tentu, Bu. Sebentar, saya ambilkan kartu namanya.”

Dilla pun menyerahkan kartu nama Alisa. Di sana tertera nama lengkap, alamat toko, nomor telepon, dan akun media sosial toko.

Wulandari tersenyum. Senyumnya bukan senyum biasa—itu senyum penuh harapan. Akhirnya ia memiliki penghubung nyata dengan gadis yang wajahnya terus menghantuinya sejak pertemuan tadi.

“Terima kasih, ya. Ini untuk kamu,” katanya, sambil menyelipkan lima lembar seratus ribuan ke tangan Dilla.

“Lho, Bu… Ibu sudah bayar kuenya tadi.” Kata Dilla heran menerima uang lima ratus ribu itu.

“Yang ini tip karena pelayanannya memuaskan.”

Dilla melongo, kemudian buru-buru membungkuk hormat. “Terima kasih banyak, Bu!”

Sambil melangkah ke mobil, Wulandari merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ada sesuatu pada diri Alisa—sesuatu yang entah mengapa terasa… familiar.

Setelah menempuh perjalanan panjang penuh kemacetan, Wulandari akhirnya sampai di rumah sakit. Ia langsung menuju ruangan khusus tempat suaminya, Wijaya, dan anaknya, Jerry, menunggu yaitu ruang Direktur.

“Papa, Jerry… coba tebak, mama tadi habis ketemu siapa?” katanya dengan nada penuh antusias, sambil meletakkan belanjaan di meja.

Jerry hanya mengangkat alis. “Memang kita dukun, Ma?”

PLAKK.

Satu tamparan ringan mendarat di lengan Jerry.

“Aduh! Sakit, Ma!” protesnya.

“Kamu tuh nggak bisa bikin suasana dramatis sedikit apa? Coba tebak!” desak Wulandari.

“Hmmm… mama ketemu Cinta Lauro? Atau Justin Bibir? Atau… Sule?”

Wijaya tertawa kecil.

Wulandari memutar bola matanya malas. “Ihhh… dasar anak ini, nggak peka. Pantas aja kamu betah jadi jomblo.”

“Mama ini kenapa sih?” Jerry mulai kesal.

“Sudah, sudah,” sela Wijaya. “Memangnya mama habis ketemu siapa?”

“ tadi mama habis ketemu Alisa. Anak yang papa bilang tempo hari mirip dengan mama. Ternyata beneran mirip pah. Atau jangan-jangan itu Zahra ” Jawab Wulandari senangnya bukan main.

“ ini maksudnya apa?? Mah? Pah?” tanya Jerry yang masih tidak mengerti

Wijaya dan Wulandari saling pandang dan kemudian mengangguk. Awalnya mereka akan menyembunyikan ini dari Jerry, namun sudah kepalang tanggung. Bibir Wulandari terlanjur tidak bisa di kontrol. Terpaksa Wijaya menceritakan ini juga kepada Jerry.

“ dia hanya punya kemiripan dengan mama. Jangan berharap lebih dulu. Mama dan papa tau sendirikan di dunia ini kita punya 7 kembaran. Siapa tau Alisa yang mama maksud itu salah satunya.” Terang Jerry

“ kamu ini beneran nggak asik sumpah. Mama udah seneng gini kamu malah bikin bad mood aja.” Protes Wulandari

“ bukan  maksud Jerry gitu mah. Tapi jerry nggak mau kalau mama bakal sakit hati jika berharap lebih.”

“ yang di katakan Jerry benar mah, kita tidak boleh berharap lebih dulu. Takutnya tidak sesuai dengan harapan kita.”

Bu Wulandari mendengus kesal

“ jadi kapan papa mendapat informasi valid tentang Alisa. Mereka sudah lama bekerja kan.” Kata Wulandari ketus

“ besok mereka akan datang membawa informasi itu mah. Mamah yang sabar.” Kata Wijaya berusaha menenangkan istrinya

“ memang mama tadi ketemu Alisa itu dimana?” tanya Jerry penasaran

“ mama ketemu di Toko Kuenya. Ternyata dia punya toko kue besar. Kue-kuenya enak. Yang selama kita makan itu dari tokonya. Nyesel mama tidak dari dulu datang sendiri beli.”

“ nama toko kuenya apa mah??” tanya Jerry

Kemudian Wulandari menyodorkan kartu nama Diandra. Disana tertera nama lengkap, alamat toko, nomor telpon serta nama sosial media toko kue tersebut.

Jerry mengambil ponselnya, membuka akun Instagram toko yang tercantum di kartu nama Alisa.

Ia scroll ke bawah. Foto-foto kue yang menggoda. Foto karyawan. Tapi tak ada satu pun foto Alisa sendiri.

“Gimana?” tanya Wulandari.

“Cuma ada foto produk dan pegawai. Nggak ada satu pun yang nunjukin wajah Alisa,” gumam Jerry.

“Ya sudah,” kata Wijaya. “Kita cari cara lain. Mungkin nanti saat ketemu langsung, kita bisa tanya perlahan-lahan.”

“Aku ada ide,” kata Wulandari.

“Kue lagi?” celetuk Jerry.

“Ya! Mama akan pesan kue dalam jumlah banyak, bilang untuk acara sosial. Dengan begitu, kita bisa lebih dekat, lebih leluasa ngobrol.”

“Terus, kuenya buat siapa?” tanya Wijaya.

“Untuk panti asuhan. Sekalian amal.”

Jerry mengangguk pelan. “Itu ide bagus, Ma. Tapi jangan terlalu agresif. Kita belum tahu apa-apa.”

“Bener. Jangan sampai dia curiga atau merasa tertekan,” tambah Wijaya.

Wulandari menghela napas panjang. “Mama cuma… merasa ada ikatan aneh sama anak itu. Rasanya seperti… ada bagian hati mama yang nyambung.”

“Kita tunggu hasil dari tim detektif, Mah. Mereka janji akan kasih kabar besok,” kata Wijaya menenangkan.

Wulandari tak menjawab. Ia hanya memeluk kartu nama Alisa erat-erat di dadanya.

1
Mundri Astuti
bagus Dona, mang perlu disemprot hama kaya mereka, untung kamu belom nikah
Mundri Astuti
semoga Dona cepet tau
Mundri Astuti
next thor
Rahmah Chahara: Iyaapss... makasih ya kak sudah mampir
total 1 replies
Violette_lunlun
good dona...
Rahmah Chahara: Makasih udah mampir yah
total 1 replies
Violette_lunlun
aku udah liat kak!
Violette_lunlun
selain kayak tante-tante. Veronica juga kayak nama Tante pencinta berondong:)
Isolde
Gemes deh!
Jing Mingzhu5290
🤔😭😭 Akhirnya tamat juga, sedih tapi puas, terima kasih, author.
Rahmah Chahara: Tamat apanya kak 😭😭😭baru juga mulai hiks
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!