Sandy Sandoro, murid pindahan dari SMA Berlian, di paksa masuk ke SMA Sayap Hitam—karena kemampuan anehnya dalam melihat masa depan dan selalu akurat.
Sayap Hitam adalah sekolah buangan yang di cap terburuk dan penuh keanehan. Tapi di balik reputasinya, Sandy menemukan kenyataan yang jauh lebih absurb : murid-murid dengan bakat serta kemampuan aneh, rahasia yang tak bisa dijelaskan, dan suasana yang perlahan mengubah hidupnya.
Ditengah tawa, konflik, dan kehangatan persahabatan yang tak biasa, Sandy terseret dalam misteri yang menyelimuti sekolah ini—misteri yang bisa mengubah masa lalu dan masa depan.
SMA Sayap Hitam bukan tempat biasa. Dan Sandy bukan sekedar murid biasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vian Nara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12 : Rencana
"Sekarang apa rencananya?" Tanya Arfy kepada Nara.
"Mudah saja. Jika informasi yang di dapat tentang lokasi mafia itu benar, Bagas kemungkinan besar akan mendatangi mereka sendirian saja. Kau gunakan kemampuanmu itu, untuk melacaknya lalu kita akan datang membantunya. Kita pasti tahu bahwa masalah pribadi.. Biasanya tidak ingin di campuri." Jawab Nara.
"Tetap ada masalah, bukan?" Celetukku.
"Jika kita datang semuanya, bahkan informasi lawan atau Anggota O3PMI yang mungkin akan ada di sana, kemampuannya belum di ketahui kecuali B." Aku beropini.
"Kau benar, Sandy. Informasi tentang kemampuan lawan memang sangat sedikit. Maka dari itu, Kak Alma bisa menggunakan kemampuannya terlebih dahulu." Kata Nara.
"Aku? Untuk apa?" Alma bertanya heran.
"Kak Alma bisa berbicara dengan hewan. Jika kalian tidak tahu, kemampuan tersebut memberikan kita ruang gerak penggalian informasi lebih luas karena hewan biasanya akan di abaikan begitu saja jika lewat atau diam di sana." Jawab Nara mantap.
"Begitu rupanya. Masuk akal sekali." Bora memegang dagunya.
"Siapa saja yang akan maju, jika informasi tentang kemampuan lawan sudah di ketahui?" Kini Alex yang bertanya.
"Kalo menurutku.. Sandy, Bora, Alex, Kak Arlo dan aku saja sudah cukup. Kak Alma dan Arfy sebaiknya di sini mengawasi." Nara menjawab sembari mengeluarkan kubus kecil berwarna hitam.
"Tunggu aku harus ikut! Bagas itu temanku! Bagaimana mungkin aku membiarkannya begitu saja? Selain itu, benda apa ini? Dan kenapa kau yang tidak memiliki kemampuan turut turun tangan?" Bantah Arfy.
"Pertama.. " Nara mengangkat jari telunjuknya "Benda ini adalah sebuah kamera proyeksi yang kemampuannya sama seperti dengan live di sosial media. Dalam artian kubus ini bisa menampil hal yang sedang terjadi kepada kami secara langsung, dan perlu kalian ketahui, benda ini tidak harus menggunakan paket data." Nara mengetuk-ngetuk benda tersebut.
BIP!
Kubus itu mengeluarkan cahaya dan langsung di pancarkan ke papan tulis lalu menampilkan keadaan di ruang electro SMK Jangkar Pelita.
"Lihat, kan? Aku memiliki tiga kubus termasuk ini. Selain itu, salah satu kubus harus di bawa oleh kita yang akan berangkat agar kubus yang di tinggalkan di sini bisa menampilkan apa yang sedang terjadi secara langsung di sana." Jelas Nara.
"Hebat sekali. Apa kau yang membuatnya, Nara?" Tanya Alex kagum. Tidak hanya Alex, bahkan kami semua yang sedang berada di ruang electro juga ikut kagum.
"Bukan aku. Aku tidak terlalu tertarik dengan teknologi. Aku hanya paham rumus dasar, rumitnya suatu teknologi saja. Apapun itu. Dan sebenarnya alat ini... Rio lah yang membuatnya." Jawab Nara sembari memain-mainkan kubus tersebut seperti akrobatik sirkus.
"Rio? Sungguh? Aku kira dia hanya bisa membuat penemuan aneh." Aku lebih kaget.
"Syukurlah.. Akhirnya dia berhasil." Aku terharu begitu juga Alex.
"Kita tidak akan jadi bahan percobaan lagi." Aku menepuk-nepuk pundak Alex.
"Betul-betul." Alex mengangguk-angguk dengan senang.
"Sepertinya, Rio telah membuat kalian menderita." Bora tertawa dengan wajah biasanya yang riang.
"Memangnya dia berbuat apa kepada kelainan berdua sampai kalian senang karena dia berhasil membuat alat yang berfungsi dengan baik?" Arfy terheran-heran.
"Aku paham sekarang. Jadi itu alasannya Rio jarang terlihat di kelas. Dia sepertinya berhasil membuat sesuatu yang berguna untuk umat manusia." Kata Bora sembari meneguk teh gelas miliknya.
"Aku tidak tahu anak kelas sebelas sekarang di isi dengan anomali seperti kalian. Bahkan aku sempat merinding dengan opinimu dan penemuan teman kalian." Kak Arlo menepuk Bahu Nara kemudian memandangiku, Alex dan Bora secara bergantian.
"Tunggulah dulu! Alat itu memang hebat, tapi kau masih belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kau harus ikut?!" Arfy menunjuk ke arah Nara.
"Tunggu sebentar... " Nara mengangkat jari telunjuknya memberi isyarat diam.
"Kak Alma?! Sebelumnya maaf, jika saya tidak sopan. Kak Alma sekarang juga gunakanlah kemampuan kakak. Itu akan menghemat waktu kita." Pinta Nara kepada Kak Alma.
"Ah, benar juga. Baiklah.. Aku keluar terlebih dahulu." Kak Alma meninggal ruangan dan menuju lapangan sekolah.
Tanpa lama.. Kak Alma sudah berdiri di tengah lapangan bersama seekor burung yang telah di panggilnya. Lalu setelahnya Kak Alma berbicara sembari membuat isyarat aneh.
"Dia sedang apa? Isyarat burung?" Celetukku.
Kami melihat dengan seksama tingkah laku Kak Alma di lapangan sekolah.
"Ah, dia berganti isyarat jadi seperti ingin menerkam." Kata Alex.
Beruntung saja semua murid sedang fokus belajar di dalam kelasnya masing-masing. Jika tidak mungkin Kak Alma tidak akan menampakkan dirinya lagi.
"Sekarang apa?" Tanya Kak Arlo.
"Bangau mungkin?" Jawab Bora.
"Ngawur, itu pose flaminggo." Timpal Nara.
"Kau dengar tidak?!" Arfy kesal.
"Maaf, aku hampir lupa. Inilah jawaban terakhir atas pertanyaanmu. Aku turun tangan karena sebuah firasat." Jawab Nara.
"Firasat? Apa maksudmu?" Arfy semakin heran."
"Aku punya firasat buruk sekaligus baik makanya aku harus turut serta. Sekian." Nara mengambil teh gelas miliknya lalu meminumnya.
"Tapi, tunggu sebentar, Nara!" Bora memegang dagunya kembali.
"Aku masih penasaran dengan cara kita membawa kubus kecil ini. Kita akan menaruhnya di bagian baju atau tubuh mana agar kubus satunya berfungsi menampilkan siaran langsung?" Tanya Bora.
"Tenang saja. Kubus ini bisa terbang mengikuti kita dan merekam kita secara langsung dari posisi pas serta jarak yang bisa di atur sendiri." Jawab Nara santai.
"Lagipula kubus ini kecil. Mereka tidak akan menyadari bahwa kita membawa kamera yang bahkan di siarkan langsung." Tambah Nara.
"Aku kembali." Kak Alma membuka pintu.
"Kak Alma tadi pose apa? Itu memang cara kerja kemampuan kakak atau bagaimana?" Tanya Alex Penasaran.
"Benar, Kak. Tadinya pose bangau terus begini terus begitu." Aku juga ikut-ikutan.
Wajah Kak Alma sedikit demi berubah menjadi berwarna merah.
"Kalian, melihatnya, ya?" Tanya Kak Alma.
Kami berdua, tidak. Kami berlima melihatnya kecuali Arfy.
"Itu hanya agar para hewan lebih mengerti apa yang aku bicarakan." Ujar Kak Alma.
"Halo, burung manis! Bisa kesini sebentar?" Kak Alma memanggil burung Pipit yang sedang bertengger di atas genteng gedung sekolah.
CIT!CIT! (Ada apa manusia?)
"Apa kau bisa membantuku untuk mencari tahu sesuatu? Kau bisa memberitahu hewan yang lain juga." Jawab Kak Alma sembari melakukan gerakan terbang seperti burung lalu berjalan seperti hewan.
CIT!CIT!CIT! (Bisa saja, tapi untuk apa?)
"Begini.. Ada orang jahat yang harus kami urus dan penjahat itu mengganggu teman kami. Dan ini sangat penting karena kami ingin membantunya." Jawab Kak Alma kembali. Dirinya sudah berhenti memberi isyarat hewan.
CIT!CIT!CIT! (Itu bisa bahaya untukmu juga. Bukannya seharusnya orang kuat atau siapa? Polisi? orang yang menangkap orang jahat.)
"Di sini polisi tidak akan pernah membantu dengan lancar." Kata Kak Alma sembari menghela nafas.
CIT!CIT! (Baiklah... Akan aku usahakan) Burung Pipit itu mengangguk-angguk lalu terbang bebas di langit biru.
"Kita sudah sepakat dan menjalankan rencana pertama. Sebaiknya kali ini kita sampai di sini saja. Sekali lagi terimakasih karena telah bersedia membantu Bagas." Arfy menepuk tangannya dan membuat bentuk memohon, tapi untuk berterimakasih.
"Tidak perlu begitu. Sudah aku katakan, kita sebagai sesama orang berkemampuan harus saling menolong. Dan mungkin ini akan menjadi rintangan besar pertama yang harus kita lalui terlebih dahulu sebelum menghajar Anggota O3PMI yang lebih kuat nantinya serta berhasil membawa kedamaian bagi kita orang berkemampuan.. Entah kemampuan yang hilang tanpa rasa sakit atah menemukan tempat yang lebih pantas untuk kita." Ujar Kak Arlo sembari tersenyum kepada Arfy lalu mengangkat jempolnya.
...****************...
Sepulang dari SMK Jangkar Pelita. Aku berjalan pulang menuju rumah. Meskipun pagi hari melakukan tugasnya... Banyak yang di lalui sehingga sore datang menjemput dan menggantikan siang.
Aku berjalan melewati rute yang cukup jauh. Aku memiliki motor—akan tetapi umurku belum cukup lalu sim saja tidak punya. Aku tidak ingin menjadi seorang pelanggar di negara ini. Masalahnya semua orang di negara ini saja rata-rata sudah banyak yang kacau.
"Sandy?!" Lagi-lagi suara yang sangat familiar bagiku, terdengar oleh indera pendengaranku. Nayyara.
Rambut pendeknya bergerak-gerak ketika dirinya berlari. Lucu sekali, sungguh.
"Ka-kamu tadi tidak hadir karena dispensasi urusan OSIS?" Nayyara bertanya kepadaku.
"Sebentar! Bukannya biasanya kamu di antar jemput oleh supir pribadi. Sekarang di mana dia?" Aku bertanya heran.
"Itu.. itu.. Oh, iya. Sopirku cuti karena keluarganya ada yang sakit." Nayyara menjawab dengan gugup.
Padahal di masa itu, aku selalu berani mendekatinya bahkan sampai manja, tapi kenapa sekarang aku selalu ragu? (Nayyara di dalam hati)
"Hei, kamu belum jawab pertanyaanku yang pertama." Nayyara kesal lalu mengembungkan pipinya.
Kok dia jadi lucu sekali. Imut (Kataku di dalam hati)
Jantungku berdebar-debar dengan sangat kencang
DAG!DIG!DUG!
Ternyata tidak hanya aku. Nayyara pun merasakan hal yang demikian.
"Kamu benar. Aku memang ada urusan OSIS." Jawabku mencoba tenang.
"Memangnya tentang apa?" Tanya Nayyara kembali.
Aku jadi teringat perkataan Nara yang dia bisikan kepada.
"Tidak semua orang boleh tahu tentang OSIS sebenarnya termasuk Nayyara."
"Bukan sesuatu yang penting. Hanya meredakan konflik antara dua sekolah." Aku menjawab dengan kebohongan.
"Benar kah, begitu?" Nayyara menyipitkan matanya memastikan.
"Tentu saja." Aku ragu-ragu dalam menjawab.
Anging berhembus pelan dan tenang. Matahari yang terbenam terlihat indah. Aku dan Nayyara terus berjalan melewati komplek rumah yang juga di penuhi oleh tumbuh-tumbuhan yang indah. Lenggang sejenak.
"Memang sih rute rumah kamu dan aku satu arah, tapi bukannya malah membuatmu lelah? Di tambah kamu ini satu-satunya chef remaja yang terkenal." Kataku membuka kembali percakapan.
"Itu tidak apa-apa. Selagi kau, tidak. Selagi kita menghabiskan waktu dengan orang yang berharga, kita tidak akan pernah lelah." Nayyara kemudian diam.
"OHH... "
"Eh? Tunggu!" Aku menatap Nayyara yang wajahnya sudah berubah seperti tomat rebus kemudian berkeringat karena hawa panas.
"A-apa maksudmu? Jangan-jangan... " Wajahku juga ikut memerah sembari tidak bisa menghilangkan rasa terkejut.
"Kamu adalah temanku. Teman itu berharga, bukan?" Nayyara kemudian tertawa malu.
"Oh kau benar." Aku pun ikut tertawa.
Suasana berubah menjadi canggung dengan cepatnya. Hening beberapa menit.
"Hei, Nayyara!?" Aku memberanikan diri untuk berbicara kembali.
"Apa?" Nayyara menoleh kepadaku.
"Apa aku di waktu sebelumnya memang sangat dekat denganmu?" Aku bertanya dengan rasa ingin tahu yang tinggi.
Beberapa waktu lalu.. Setelah Kak Anastasia mengungkap bahwa dirinya adalah kakak kandungku. Pikiran tiba-tiba setiap saat selalu memunculkan rasa Dejavu. Aku tahu Dejavu itu adalah kondisi otak yang sedang tidak stabil, tapi rasanya semua yang muncul di dalam pikiranku dan hal yang sedang terjadi itu benar-benar nyata seperti sudah terjadi.
Nayyara kemudian menghentikan langkahnya.
"Aku bingung." Jawab Nayyara.
Entah darimana datangnya sebuah dorongan kuat. Aku menepuk kedua pundak Nayyara dengan kedua tanganku.
"Beritahu aku! Aku mohon!" Aku menatap Nayyara.
DUG! DUG! Jantung kami berdua berdebar sangat kencang.
Lambat Laun, Nayyara mengangguk pelan sembari malu-malu.
"Di masa itu, masa depan di mana semua orang berkemampuan sudah di tangkap. Aku memang sangat dekat denganmu." Jawab Nayyara dengan mata yang sedu.
"Waktu itu aku banyak mengalami rasa takut. Hingga pada akhirnya aku bertemu denganmu lalu menjadi sangat akrab. Bahkan kamu berjanji, jika kita dunia ini bisa damai atau normal kembali..... " Nayyara menjeda ucapannya.
"Iya? Apa terusannya?" Aku mendesak.
"Ka-kamu berjanji akan menikahiku." Wajah Nayyara kini sempurna berwarna merah tomat.
Aku pun yang mendengarnya hampir syok pingsan.
"Mungkin kini kamu tidak akan menyukaiku lagi, karena kemungkinan kamu juga sudah memiliki perasaan kepada orang lain yang mungkin kamu sukai." Nayyara berkata dengan rasa malu lalu berjalan cepat pergi meninggalkanku.
"Nanti!" Aku menahannya dengan memegang tangannya.
"Saat ini aku tidak memiliki perasaan kepada siapapun. Jika itu memang janjiku. Maka biarkanlah aku kembali jatuh cinta kepadamu." Aku mengatakan dengan penuh kepercayaan diri. Lagipula seorang lelaki harus menepati janjinya sendiri.
Hati Nayyara kemudian berubah menjadi perasaan yang melegakan.
"Baiklah kalo begitu. Aku akan menantikannya." Nayyara tersenyum manis kepadaku.
"Wah anak remaja, enak sekali sedang bermesraan." Suara yang familiar juga tertangkap kembali oleh telingaku.
Dari arah belakang kami berdua. Kak Anastasia sudah berdiri.
"Ampun, kalian berdua memang tidak berubah sedari peristiwa mengerikan yang terjadi kepada orang berkemampuan di masa depan." Kak Anastasia menepuk bahu kami berdua.
"Dengan begini perasaanmu pasti sudah lega, kan?" Kak Anastasia menatap Nayyara.
Nayyara hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaan tersebut.
"Apanya yang lega?" Tanyaku.
"Bukan apa-apa! Rumahku sudah dekat! Kita berpisah di sini, ya! Dadah Sandy! Dadah Kak Anastasia!" Nayyara melambaikan tangan kemudian langsung ngacir pergi mengambil persimpangan jalan sebelah kanan.
"Kudengar kau tadi ke sekolahan yang akan menjadi sekutu kita. Apa syarat yang mereka ajukan?" Kak Anastasia bertanya. Tentu saja dia tahu tentang tugas pertamaku, toh dia wakil ketua OSIS SMA Sayap Hitam.
Lima menit akan menjelaskan secara detail, tapi singkat... Kak Anastasia menepuk jidat sembari menghela nafas.
"Aku pikir syaratnya adalah hal sepele yang tidak melibatkan mafia atau semacamnya ternyata malah hal yang dikhawatirkan." Kata Kak Anastasia.
"Namun mau bagaimana lagi? Lagipula kalian juga yang menyepakati syarat tersebut.. Kami OSIS yang lainnya tidak bisa berbuat apa-apa." Tambah Kak Anastasia.
"Kak?"
"Iya, Sandy?"
"Jika kakak memang kakak kandungku. Mengapa kakak tidak kembali rumah?" Aku bertanya, memastikan perkataan Kak Anastasia benar.
"Aku tidak bisa." Jawab Kak Anastasia.
"Kenapa?" Aku kembali bertanya.
"Karena aku telah di anggap meninggal oleh kedua orang tua kita karena sebuah kecelakaan. Padahal saat kecelakaan, aku itu selamat.. Namun karena mengemban misi penting aku harus rela memilih." Jelas Kak Anastasia.
"Memilih?" Aku mengerutkan dahi.
"Singkatnya di masa depan saat orang-orang berkemampuan semuanya di tangkap. Aku melakukan banyak sekali perjalanan waktu untuk mengubah masa depan tersebut hingga percobaan inilah yang berhasil, tapi... "
"Tapi umur kakak tidak bisa lewat dari dua puluh tahu karena menggunakan kekuatan terlalu berlebihan, kan?" Aku melanjutkan sembari menyimpan rasa sedih. Perasaan emosi itu selalu muncul tiba-tiba ketika membahas hal ini.
"Kau benar.. Namun... "
"Kak Sandy!" Seorang bocah berusia 7 tahun menghampiriku.
"Kenapa aku ada di sini, Hanif?" Aku bertanya heran kepada adikku.
"Hanif baru selesai main." Hanif tersenyum kepadaku.
"Ya, ampun.. Kamu pikir ini jam berapa?" Aku menggeleng-gelengkan kepala.
"Hanif pulang duluan, ya. Dadah!" Hanif pergi berlari.
"Siapa dia?" Tanya Kak Anastasia.
"Dia adikku." Jawabku.
"Tidak aku sangka ternyata aku memiliki adik lagi. Sepertinya Mamah dan Papah memberikan teman penggantiku untukmu." Mata Kak Anastasia berkaca-kaca.
Kami berdua terus berjalan hingga akhirnya sampai di depan rumahku.
"Apa kakak yakin tidak ingin berkunjung? Setidaknya Kakak bisa melihat Mamah dan Papah kembali." Aku memastikan.
"Tidak perlu. Lagipula kos-kosan milikku berada dekat dari sini.. Kemungkinan aku bisa melihat mereka saat berangkat menuju ke sekolah. Baiklah, sampai jumpa!" Kak Anastasia melambaikan tangan kemudian berjalan pergi.
Di saat yang sama. Ketika kak Anastasia hampir sampai di kos-kosannya. Mamah tepat berpapasan dengan Kak Anastasia dalam perjalanan pulangnya dari warung.
"Anastasia?" Mamah menoleh ke arah belakang.
Terlambat. Kak Anastasia sudah pergi dengan cepat menuju kos-kosannya mengindari pertemuan yang tidak di sengaja tersebut.
"Orang yang barusan lewat tadi Anastasia, kan?" Mamah menangis.
"Maafkan Anastasia mah. Ini semua demi kebaikan dunia yang harus kembali normal." Kata Kak Anastasia sembari menahan tangis. Kemudian dia membuka pintu kamar kos-kosannya.