Sekuel dari Bunga dan Trauma.
Jelita Anindya memutuskan pindah ke desa tempat tinggal ayah dari papanya, sebuah desa yang dingin dan hijau yang dipimpin oleh seorang lurah yang masih muda yang bernama Rian Kenzie.
Pak Lurah ini jatuh cinta pada pandangan pertama pada Jelita yang terlihat cantik, anggun dan tegas. Namun ternyata tidak mudah untuk menaklukkan hati wanita yang dijuluki ‘Iced Princess’ ini.
Apakah usaha Rian, si Lurah tampan dan muda ini akan mulus dan berhasil menembus tembok yang dibangun tinggi oleh Jelita? Akankah ada orang ketiga yang akan menyulitkan Rian untuk mendapatkan Jelita?
follow fb author : mumuyaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumu.ai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Susahnya Dapat Nama
Jelita memarkirkan motor matic berwarna merah muda miliknya itu di parkiran yang terletak di samping gedung rumah sakit. Jelita menempatkan dengan rapi motornya di antara banyaknya motor. Setelah itu, Jelita mulai melangkah masuk ke dalam gedung.
Langkahnya yang anggun dan tegas menggema di sepanjang lorong. Ia berjalan menuju ruangan psikolog yang ada di bagian tengah gedung, seperti yang telah diberitahu oleh Kepala Ruangan saat Jelita berkunjung kemarin.
Di sepanjang jalan, beberapa perawat yang sudah bertemu dengannya kemarin mulai menyapanya dan dibalas senyum tipis oleh Jelita.
“Senyumnya manis, tapi singkat banget,” ujar salah seorang perawat setelah Jelita berlalu dari depan mereka.
“Malah aku suka, lho yang seperti Mbak Jelita itu. Dingin-dingin tegas, tapi tidak sombong,” balas temannya.
“Iya, sih. Benar juga kamu. Dari wajahnya nggak ada gambaran yang sombong dan jutek gitu. Tapi pembawaannya mantap. Anak orang kaya, ya?” tanya perawat itu lagi.
“Dengar-dengar sih, Kakeknya tinggal di desa Lembah Sari, terus beliau itu mantan Bupati di provinsi sebelah. Dua periode kakeknya itu menjabat. Terus ibunya Mbak Jelita itu dokter kandungan sekaligus pemilik rumah sakitnya yang ada di ibu kota,” jelas teman perawat itu.
“Pantes… Aura mahal dan elegannya terasa banget. Old money memang beda,” puji perawat itu. “Eh, kok kamu bisa tahu detail gitu?”
“Mas sepupu temannya pacar sepupu aku, kerja di rumahnya Mbak Jelita itu.”
“Kurang panjang silsilah keluarganya,” gerutu si perawat yang kemudian berjalan meninggalkan temannya yang sedang tertawa itu.
Jelita tiba di ruangannya. Ia letakkan tas selempangnya di atas mejanya. Tak lama seorang wanita muda masuk, tersenyum hangat dan menyapa Jelita.
“Selamat datang ya, Mbak Jelita. Selamat bekerja,” ucap gadis bernama Wina itu sambil tersenyum hangat.
“Terima kasih, Mbak Wina. Mohon kerjasamanya, ya,” jawab Jelita yang juga tersenyum.
Ini adalah kali kedua Jelita bertemu dan berbincang dengan Wina. Kesan pertamanya tentang wanita itu masih sama, ramah, hangat, dan mudah membuat orang merasa nyaman. Namun, Jelita belum berani menilai lebih jauh. Ada jarak tipis yang sengaja ia jaga.
Entah mengapa, setiap kali seseorang baru mencoba mendekat, hatinya refleks menegang. Luka dari kejadian dulu masih meninggalkan bekas, membuatnya ragu untuk kembali membuka diri. Ia takut… takut jika kedekatan yang hangat itu suatu hari berubah menjadi sumber luka baru.
Di lain tempat, Rian yang baru saja tiba di kantor lurah bertemu dengan Adam, salah seorang staf kelurahan.
“Pagi Pak Lurah,” sapanya.
“Selamat pagi juga, Dam,” balas Rian. Rian masuk ke dalam, namun baru beberapa langkah, langkahnya terhenti. Ia kembali menoleh ke belakang dan memanggil Adam yang tengah merokok di pojok.
“Kenapa, Pak Lurah?” tanyanya.
“Kamu tahu, Dam, siapa namanya cucu Kakek Doni yang baru pindah itu? Dia udah ngelapor ke paman kamu pasti, ‘kan?” tanya Rian yang dirinya tahu jika pamannya Adam ini merupakan ketua Rukun Tetangga di daerah tempat tinggalnya Kakek Doni.
“Iya, Pak Lurah, beliau sudah melapor ke paman saya minggu lalu,” jawab Adam tenang.
“Terus… namanya siapa?” tanya Rian, kali ini nadanya terdengar sedikit mendesak.
“Maaf, Pak Lurah…” Adam sempat berhenti sejenak sebelum melanjutkan dengan suara pelan, “Saya tidak bisa memberitahukannya.”
Rian menatapnya heran. “Lho, kenapa nggak bisa kamu kasih tahu saya?” Nada suaranya mulai naik setingkat.
“Barusan Kakek Doni nelpon saya, Pak. Beliau melarang saya menyebut nama cucunya ke siapapun, termasuk ke Pak Lurah,” ucap Adam hati-hati, jelas terlihat gugup.
Rian mendengus kesal. “Aduh, Kakek Doni ini… ada-ada saja! Masa hal begini aja dilarang?” gerutunya sambil mengusap wajah.
Melihat atasannya gelisah, Adam jadi sedikit penasaran. “Kenapa, Pak? Cantik, ya, cucunya Kakek Doni?” godanya dengan senyum nakal.
Rian langsung melotot. “Kamu ini, Dam! Jangan ngawur!” katanya dengan ekspresi campuran antara malu dan kesal. “Lagi pula, kamu kerja sama siapa sebenarnya? Sama saya atau sama Kakek Doni?”
Adam menjawab cepat, “Sama Pak Lurah, tentu aja.”
“Terus kenapa nurut banget sama Kakek Doni?” tanya Rian dengan nada separuh kesal, separuh bingung.
Adam diam sejenak, lalu menatap langit-langit sambil berpikir.
“Kamu mikirin apa lagi?” tanya Rian curiga.
“Lagi menimbang, Pak,” jawab Adam santai.
Rian mengerutkan kening. “Menimbang? Menimbang apa maksud kamu, Dam?”
“Saya lagi menimbang, Pak Lurah…” Adam berhenti sejenak, lalu berkata dengan wajah polos, “…kira-kira saya lebih banyak utang budi sama Kakek Doni, atau sama Pak Lurah.”
Rian sontak melotot, matanya membulat lebar. “Adam!”
Adam langsung terkekeh, lalu kabur cepat-cepat masuk ke dalam kantor sebelum sempat disemprot. “Hehehe, bercanda, Pak Lurah!” suaranya masih terdengar dari dalam.
Rian hanya bisa menghela napas panjang sambil geleng-geleng kepala.
“Anak satu itu… kalau nggak bikin emosi, bukan Adam namanya,” gumamnya pelan.
*
*
*
Jelita mengendarai motornya pelan sore itu sepulang bekerja. Udara dingin mulai menusuk lembut ke kulitnya—maklum, daerah tempat tinggalnya dikelilingi pegunungan. Menjelang matahari kembali ke peraduannya, suhu udara pun perlahan turun, menyisakan kesejukan yang merayap pelan bersama hembusan angin sore.
Ketika Jelita tengah santai mengendarai motornya, tiba-tiba kendaraan itu bergoyang, oleng ke kiri dan ke kanan. Ia spontan menepi, menegakkan standar motor, lalu menunduk memeriksa bannya.
“Yah… bocor,” gumamnya pelan.
Dengan helaan napas kecil, Jelita mengangkat kaca helmnya ke atas dan menatap ke sekeliling. Jalan lurus itu tampak sepi. Tak ada satupun kendaraan atau orang yang melintas. Di sisi kiri dan kanan hanya terbentang hamparan sawah dan kebun sayur yang mulai diselimuti kabut sore. Di ujung jalan terlihat sebuah bangunan kayu kecil, tapi jaraknya masih cukup jauh.
“Mau nggak mau harus didorong ke depan,” ucapnya pasrah, sebelum mulai menuntun motornya perlahan di tengah kesejukan senja pegunungan.
Jelita lalu mulai mendorong motor matic berwarna merah muda yang usianya bahkan belum sampai satu minggu.
“Motor baru belum tentu menjamin kalau bannya tahan sama paku,” gerutunya.
Dalam rasa lelah yang dirasakan Jelita, wanita itu bisa mendengar jika ada suara motor yang berasal dari belakang. Ia menoleh ke arah belakang, dan tepat saat itu sebuah sepeda motor dengan merk dan jenis yang sama namun berwarna hitam berhenti di sampingnya.
“Motornya kenapa, Mbak?” tanya si pengendara itu.
“Bocor, Mas,” jawab Jelita seadanya.
Pria yang memakai seragam berwarna khaki itu turun dari motornya. Ia kemudian membuka helmnya dengan tujuan agar Jelita bisa melihat dengan jelas wajahnya.
“Mbak cucunya Kakek Doni, ‘kan?” tanya pria itu yang hanya dijawab anggukan oleh Jelita.
“Saya Rian, lurah disini.” Rian menyebutkan namanya lalu kemudian menyodorkan tangannya ke depan. Bak gayung yang tidak disambut, tangan Rian hanya menggantung tanpa disambut oleh Jelita.
Kriik kriik kriik
Dengan rasa malu, Rian menarik kembali tangannya.
“Bengkel masih cukup jauh di depan, Mbak. Mbak minta jemput saja sama orang suruhan Kakek Doni, motornya Mbak ini nanti biar saya antar ke rumah Kakek Doni,” ucap Rian yang akhirnya membuat Jelita menyadari sesuatu.
Ia merogoh tas selempangnya, mengambil suatu barang yang tidak terpikirkan sama sekali olehnya sejak tadi.
“Yaaah… habis baterainya,” gumamnya setelah melihat jika hp nya kini dalam keadaan mati.
“Mau pakai hp saya aja, Mbak?” Rian menyodorkan ponsel miliknya pada Jelita.
“Tidak usah, Mas, terima kasih,” tolak Jelita. Ia kemudian kembali menegakkan standar motornya, berniat untuk kembali mendorong motornya itu menuju bengkel terdekat.
“Eh, Mbak…” Rian menahan motor Jelita.
“Saya bukan orang jahat, saya beneran lurah disini. Saya juga beneran kenal sama Kakek Doni,” ucap Rian yang merasa jika wanita yang sangat ingin dia tahu namanya ini mengira jika dirinya adalah orang jahat.
“Saya percaya, Pak Lurah,” jawab Jelita. Ia mulai kembali ingin mendorong motornya, namun kembali ditahan oleh Rian.
“Mbak… biar saya tolongin. Masih jauh ini bengkelnya. Saya bukan orang jahat, Mbak,” kekeh Rian.
“Saya percaya, Pak. Terima kasih sudah mau nolong, tapi biar saya sendiri saja…” jawab Jelita.
Ketika Rian akan kembali berucap, sebuah suara dari mobil lewat melewati mereka.
“Pak Lurah…” sapa pengendara mobil pick up itu.
Mobil pick up berlalu, Rian kembali menatap ke arah Jelita.
“Nah kan bener, saya lurah disini, Mbak. Jadi biar saya tolong.”
“Kalau Pak Lurah tolongin saya, terus motor Pak Lurah sendiri, bagaimana?” tanya Jelita.
Rian mulai tersenyum lebar. Ternyata ini yang menjadi permasalahannya. “Mbak… aduh nama Mbak ini siapa?” Sambil menyelam minum air, ini yang dilakukan oleh Rian. Mencoba kembali mencari tahu nama gadis yang telah mengganggu ketenangan hatinya.
“Nama saya nggak penting, Mas. Yang penting itu motor ini.”
Jawaban yang Jelita berikan memudarkan senyum lebar di bibir Rian. Pria itu menghela nafas pelan sebelum menjawab pertanyaan Jelita.
“Saya yang bawa motor Mbak yang namanya saya tidak tahu ini, Mbak yang namanya saya tidak tahu ini bawa motor saya.”
Dahi Jelita berkerut halus, mendengar ucapan itu. Namun ia tidak mau ambil pusing, yang terpenting saat ini motornya bisa kembali normal dan dirinya bisa pulang.
“Nggak apa-apa, Mas kalau gitu caranya?” tanya Jelita sedikit ragu.
“Ya nggak apa-apa, Mbak,” ucap Rian yakin.
Jelita nampak berfikir sejenak, dan akhirnya ia mengangguk, tanda setuju dengan ide pria ini.
“Ayo tukeran.” Pria itu kemudian berjalan menghampiri Jelita dan mengambil alih motor pink itu. Jelita juga berpindah dan menaiki motor hitam milik pria yang terus menyebut dirinya adalah lurah.
“Lho, kok dinaikin, Mas? ‘Kan bannya bocor,” ujar Jelita yang bingung ketika Rian naik ke atas motor miliknya dan hendak mengendarai motor bocor itu.
“Nggak apa-apa kok, Mbak. Asalkan pelan-pelan aja. Kalau mau didorong, besok siang kita baru sampai di depan.”
Wajah Jelita tetap terlihat tenang walaupun sudah beberapa kali mendengar jawaban aneh dari Rian.
“Memang es betul ni cewek,” batin Rian.
“Ya udah, Mbak yang tidak saya tahu namanya ini jalan duluan saja. Nanti saya susul,” ucap Rian terakhir sebelum mulai menjalankan motor Jelita.
“Saya tunggu di depan ya, Mas.” Tanpa banyak kata lagi, Jelita kemudian melajukan motor hitam itu ke depan, menuju bengkel yang ditunjuk, meninggalkan Rian yang melongo.
“Udah tega, nggak dapat juga namanya,” gerutu Rian.
cabe setan 1 kg 90
rawit 1 kg 70.... ya allah.....😭😭😭😭😭 bawang merah 1 kg 50
Rian harus siapkan mental menghadapi papa Fadi dan kakek Doni
😁