Prolog:
Claretta Fredelina Beryl adalah seorang wanita dewasa yang belum juga menikah di usianya yang ke 28 tahun.
Dan karena itu Letta sering kali di teror dengan pertanyaan "kapan nikah?" Bahkan keluarga besarnya sampai mengatur sebuah perjodohan dan kencan buta untuknya, tapi dengan tegas Letta menolaknya namun tetap saja keluarganya menjodoh-jodohkannya.
Tanpa keluarga Letta ketahui, sebenarnya Letta mencintai seorang pria namun sayangnya pria itu bukanlah pria yang berstatus lajang. Yah, Letta mencintai seorang pria yang sudah menjadi seorang suami. Meskipun Letta mencintai pria itu Letta tidak pernah memiliki niat untuk menjadi orang ketiga dalam hubungan pria itu.
Lalu bagaimana jika tiba-tiba Letta berubah pikiran? Apa yang menyebabkan Letta berani menjadi orang ketiga di rumah tangga yang harmonis itu? Yuk simak ceritanya!
Selamat Membaca Guy's!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leo.Nuna_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 20(Ijab Kabul yang Dirahasiakan)
Seperti yang telah Letta sampaikan sebelumnya, malam ini Zidan akhirnya tiba di mansion keluarga Beryl. Kedatangannya disambut hangat oleh Nyonya Ana, sementara Tuan Sebastian tetap menunjukkan ekspresi datarnya yang khas.
Namun, di balik sikap dingin itu, Tuan Sebastian sebenarnya tengah mengamati dengan saksama sosok pria yang kini berdiri di hadapannya. Baru kali ini ia benar-benar memahami alasan di balik obsesi Letta terhadap Zidan.
Zidan memang bukan pria biasa. Wajahnya tampan, namun bukan itu saja—ada aura kuat yang terpancar darinya. Sesuatu yang tidak biasa dimiliki oleh pria dengan latar belakang sederhana seperti dirinya. Karismanya mencolok, membuat siapa pun yang bertemu dengannya sulit untuk tidak memperhatikan.
Nyonya Ana yang baru pertama kali bertatap muka langsung dengan Zidan pun tampak terpesona. Diam-diam ia membenarkan keputusan Letta. Dalam hati kecilnya, ia bahkan sempat berpikir, “Pantas saja Letta sampai rela jadi orang ketiga. Kalau prianya seperti ini... Mami juga mungkin akan melakukan hal yang sama,eh...” gumamnya dalam hati sambil tersenyum geli.
Sebelum masuk ke pembicaraan serius, Nyonya Ana dengan semangat mengajak mereka semua menuju ruang makan. Ia ingin suasana mencair terlebih dahulu, dan makan malam bersama adalah cara terbaik menurutnya.
Zidan duduk di meja makan bersama Letta dan kedua orangtuanya. Meski telah mempersiapkan diri, rasa canggung tetap tak bisa disembunyikan dari wajahnya. Duduk bersama keluarga terpandang seperti keluarga Beryl bukanlah hal yang biasa baginya.
Letta yang menyadari kegugupan itu segera mengambil inisiatif.
“Kamu mau makan pakai lauk apa?” tanyanya lembut, berusaha mencairkan suasana dan menunjukkan perhatian khas seorang istri.
Zidan sempat terkejut, terutama saat Letta dengan sigap menyendokkan nasi ke piringnya. Ia hanya bisa menatap Letta, sementara Tuan Sebastian dan Nyonya Ana memperhatikan keduanya dengan pandangan yang sulit diartikan—campuran hangat, takjub, dan sedikit geli melihat kedekatan mereka.
“Eh... apa saja,” jawab Zidan akhirnya, masih dengan nada kaku namun jujur.
“Kamu harus coba masakan Mami. Semua masakan Mami itu enak,” ujar Letta sambil menyodorkan piring berisi nasi dan lauk ke hadapan Zidan.
Zidan menerima piring itu dengan pelan dan mengangguk. Perlahan tapi pasti, makan malam pun dimulai. Percakapan belum banyak mengalir, tapi suasana perlahan menghangat berkat kehadiran Letta yang terus mencoba menjaga alur obrolan.
Sambil menyendok makanan ke mulutnya, Zidan akhirnya bisa tersenyum kecil. Seperti yang Letta bilang, masakan Nyonya Ana memang luar biasa lezat. Mungkin ini adalah makanan terenak yang pernah ia santap setelah masakan ibunya sendiri. Dalam hati, Zidan merasa sedikit lebih tenang—mungkin, ia bisa melalui malam ini dengan baik.
Usai makan malam, keluarga itu berkumpul di ruang keluarga. Suasana cukup hening sampai akhirnya Tuan Sebastian, sebagai kepala keluarga, membuka pembicaraan terlebih dahulu.
“Letta sudah menjelaskan bahwa kalian berencana menikah dalam waktu dekat,” ujarnya dengan nada tenang namun tegas.
Ia menatap Zidan dalam-dalam sebelum melanjutkan, “Saya tidak akan mempermasalahkan masa lalu atau statusmu. Tapi saya harap, kamu bisa membahagiakan putri saya.”
Tuan Sebastian tahu ini adalah keputusan besar. Namun melihat betapa kuatnya perasaan Letta terhadap Zidan, ia memutuskan untuk mendukung. Meski begitu, dia tetap menjaga kendali. Jika dalam tiga bulan Letta belum berhasil membuat Zidan mencintainya, maka ia sendiri yang akan turun tangan memisahkan mereka.
Zidan yang mendengar pernyataan itu langsung merasa beban di pundaknya bertambah. Namun, ada satu hal yang harus ia sampaikan lebih dulu.
“Maaf, Tuan, Nyonya, bolehkah saya mengajukan satu permintaan?” tanya Zidan dengan hati-hati.
Tuan Sebastian dan Nyonya Ana saling berpandangan, bingung dengan permintaan yang tak terduga. Letta yang duduk di samping Zidan juga merasa tegang. Apa yang mau dia lakukan sekarang? batinnya penuh tanya.
“Katakan,” ucap Tuan Sebastian akhirnya.
“Saya ingin pernikahan saya dan Letta... dirahasiakan untuk sementara waktu.”
Permintaan itu langsung menyulut amarah Tuan Sebastian. “Apa maksudmu? Kamu ingin status anak saya disembunyikan? Apa kamu main-main dengan pernikahan ini?”
“Bukan begitu, Tuan,” sahut Zidan cepat, berusaha menjelaskan. “Saya tahu Letta adalah putri satu-satunya Tuan dan Nyonya, dan saya paham kalian pasti ingin merayakan pernikahan ini dengan meriah. Tapi...”
“Letta setuju,” potong Letta sebelum Zidan menyelesaikan kalimatnya.
Tuan Sebastian dan Nyonya Ana sontak menatap Letta dengan heran.
“Tapi Papi tidak,” sahut Tuan Sebastian, nadanya tak bisa ditawar.
“Papi, ini hanya sementara,” jelas Letta tenang. “Ibu Zidan baru saja pulang dari rumah sakit. Letta tidak mau kondisi beliau memburuk hanya karena kita terburu-buru mengumumkan pernikahan ini.”
“Jadi... ibu Zidan tidak tahu soal rencana kalian?” tanya Nyonya Ana kali ini, ikut angkat suara.
Letta dan Zidan terdiam. Keduanya tak bisa menyangkal.
Tuan Sebastian memejamkan mata sesaat, menahan amarah. “Bagus sekali, Claretta Fredelina Beryl,” katanya sarkastik.
“Kalian pikir pernikahan ini hanya soal kalian berdua? Ini menyangkut dua keluarga. Bagaimana bisa kalian bertindak seenaknya?”
Letta menarik napas dalam-dalam, mencoba tetap tenang.
“Pi, Mi... ini hanya sampai kondisi ibu Zidan membaik. Setelah itu, kami akan memberitahu beliau. Kita bisa adakan resepsi seperti keinginan Papi dan Mami. Letta janji.”
Tuan Sebastian memandangi putrinya dengan tatapan sulit diartikan. Ia kehabisan kata. Tapi melihat keyakinan Letta, akhirnya ia mengangguk pelan.
Letta langsung menggenggam tangan Zidan dengan penuh rasa syukur. “Akhirnya,” batinnya bahagia.
Zidan hanya bisa terdiam, merasa kaku dengan sentuhan Letta yang tiba-tiba. Ia menatap tangan Letta yang menggenggam erat tangannya.
“Kenapa dia bisa sebahagia ini hanya karena ini?” batin Zidan dalam diam, masih belum bisa memahami perasaan Letta sepenuhnya.
Percakapan di ruang keluarga malam itu berlanjut ke tahap yang lebih serius—membahas rencana pernikahan antara Letta dan Zidan. Kali ini, baik Letta maupun Zidan memilih untuk mengikuti keputusan Tuan Sebastian: pernikahan akan dilangsungkan di daerah J, secara tertutup dan sederhana.
Karena masih ingin merahasiakan pernikahan itu dari pihak luar, Tuan Sebastian memutuskan hanya mengundang keluarga inti sebagai saksi sekaligus memeriahkan momen sakral tersebut. Meskipun sederhana, segalanya dipersiapkan dengan cepat dan rapi—berkat pengaruh serta kekuasaan keluarga Beryl.
Pernikahan itu dijadwalkan berlangsung sebelum Letta dan Zidan kembali ke daerah A. Dan tanpa terasa, hari yang telah dinantikan itu pun tiba. Hari ini, status Zidan akan berubah sepenuhnya—menjadi suami Claretta Fredelina Beryl.
Di sebuah ruangan yang telah dihias indah namun tetap bernuansa elegan dan sederhana, Zidan kini duduk di hadapan penghulu dan Tuan Sebastian. Mengenakan setelan tuxedo putih, ia tampak tegang, namun juga mantap.
Di sebelahnya, duduk Letta dengan balutan kebaya putih yang anggun. Matanya berkaca-kaca menatap sosok pria yang kini akan resmi menjadi suaminya.
Suasana menjadi hening. Semua mata tertuju pada Zidan yang bersiap mengucap ijab kabul—kata-kata yang akan mengikat mereka dalam ikatan pernikahan yang sah.
TBC...