Sila, seorang gadis karier dari dunia modern yang tajam lidah tapi berhati lembut, terbangun suatu pagi bukan di apartemennya, melainkan di sebuah istana mewah penuh hiasan emas dan para pelayan bersujud di depannya—eh, bukan karena hormat, tapi karena mereka kira dia sudah gila!
Ternyata, Sila telah transmigrasi ke tubuh seorang selir rendahan bernama Mei Lian, yang posisinya di istana begitu... tak dianggap, sampai-sampai namanya pun tidak pernah disebut dalam daftar selir resmi. Parahnya lagi, istana tempat ia tinggal terletak di sudut belakang yang lebih mirip gudang istana daripada paviliun selir.
Namun, Sila bukan wanita yang mudah menyerah. Dengan modal logika zaman modern, kepintarannya, serta lidah tajamnya yang bisa menusuk tanpa harus bicara kasar, ia mulai menata ulang hidup Mei Lian dengan gaya “CEO ala selir buangan”.
Dari membuat masker lumpur untuk para selir berjerawat, membuka jasa konsultasi percintaan rahasia untuk para kasim.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Angin musim semi bertiup pelan, membawa aroma segar dari kebun bunga kekaisaran. Istana yang biasanya sibuk dan penuh ketegangan kini mulai terasa lebih hangat dan ringan. Apalagi sejak Permaisuri Mei Lin perempuan barbar dari desa, yang kini menjadi tulang punggung kekaisaran resmi menjalani malam pertamanya dengan Kaisar Liang Xu, istana jadi seperti rumah tangga biasa: penuh candaan, adu mulut lucu, dan kehebohan yang tak kunjung usai.
Namun, tak ada yang menyangka bahwa pagi ini akan menjadi permulaan dari sesuatu yang jauh lebih besar.
"Yang Muliaaaa! Yang Muliaaaaa!"
Qing, pelayan utama Permaisuri Mei Lin, berlari tergopoh-gopoh ke arah dapur istana. Di sana, Mei Lin sedang sibuk mengolah adonan bakpao isi bunga kekwa, memakai celemek kuning cerah dan rambut yang digelung asal-asalan.
"Kau kenapa berteriak seperti ada naga turun dari langit?" tanya Mei Lin sambil terus menepuk-nepuk adonan.
"Kau... kau harus ke tabib sekarang!"
"Aku cuma masuk angin kemarin, Qing. Paling-paling karena aku minum teh dingin sambil tiduran di lantai batu."
"TIDAK! Kau harus periksa. Gejalanya... gejalanya tidak biasa."
Mei Lin berhenti, mengernyit.
"Kau pikir aku kena kutukan makanan? Atau racun dari kasim jahat?"
Qing menarik napas panjang dan berkata dengan suara nyaris berbisik, "Gejalamu... mirip seperti wanita hamil di bulan-bulan awal."
Bakpao jatuh dari tangan Mei Lin.
"APA?!"
Tebakan yang Menggemparkan
Setengah jam kemudian, ruang tabib istana penuh sesak. Bukan hanya dengan tabib dan pelayan, tapi juga dengan para kasim yang diam-diam ikut mengintip.
Tabib senior menempelkan tiga jari ke pergelangan tangan Mei Lin, kemudian mengangguk pelan.
"Permaisuri... detak nadimu lembut, tapi stabil. Perutmu belum membesar karena masih sangat awal. Tapi... selamat. Kau sedang mengandung."
Mei Lin membuka mulut. Menutupnya lagi. Membuka lagi.
"Tunggu. Kau yakin ini bukan karena aku makan terlalu banyak ubi kukus kemarin?"
"Yakin. Kecuali ubimu bisa menciptakan kehidupan baru."
Qing langsung melonjak kegirangan. "YANG MULIA HAMIL!!"
Dari luar, suara para pelayan bergema:
"HAMIL? HAMIL?!"
Salah satu kasim terpeleset di koridor karena saking paniknya ingin menyampaikan kabar ke Kaisar.
Kaisar Liang Xu Mendapat Kabar Hari ini, di ruang kerjanya, Kaisar Liang Xu tengah membahas strategi diplomatik dengan Panglima Mo dan beberapa menteri. Saat seorang kasim menerobos masuk tanpa izin, seluruh ruangan sontak menoleh.
"Yang Mulia! Kabar mendesak!"
"Ada pemberontakan lagi?"
"Tidak! Yang Mulia Permaisuri... sedang mengandung!"
Semua orang membeku.
Liang Xu terdiam sejenak, menatap kasim itu dengan tatapan bingung.
"Kau yakin ini bukan lelucon Mei Lin lagi? Pernah sekali dia pura-pura muntah hanya karena ingin bolos rapat protokol."
"Tidak, Yang Mulia. Tabib sudah memeriksa. Ini resmi."
Kaisar Liang Xu terdiam, lalu berdiri perlahan. Untuk pertama kalinya dalam seumur hidupnya, sang kaisar pingsan... berdiri.
Saat kaisar sadar kembali, ia langsung menuju kediaman permaisuri. Tapi di depan gerbang paviliun, ia sudah dicegat oleh Mei Lin sendiri yang berdiri dengan tangan di pinggang.
"Kau tidak perlu berlari kayak naga terbakar. Aku cuma hamil, bukan meledak."
Liang Xu memeluknya erat. "Tapi... ini anak kita. Kau... kamu tahu ini berarti apa?"
"Berarti aku harus berhenti naik atap dapur tiap pagi."
"Berarti... kita akan jadi orang tua."
"Dan aku akan ajari anak kita cara membuat tumis kangkung paling lezat."
Liang Xu mencium keningnya dengan lembut. Tapi di belakang mereka, Qing, para pelayan, dan kasim sudah mulai bersorak, menyebarkan kabar ke seluruh penjuru istana.
Dalam waktu dua jam, semua orang tahu:
Permaisuri Mei Lin mengandung pewaris kekaisaran!
Keesokan harinya, kekacauan dimulai.
Tabib datang membawa daftar panjang larangan:
Tidak boleh makan pedas.
Tidak boleh naik turun tangga.
Tidak boleh marah.
Tidak boleh memasak.
Tidak boleh terlalu banyak tertawa.
Mei Lin menatap daftar itu dengan alis terangkat.
"Aku tidak boleh masak? Itu sama saja seperti bilang burung tidak boleh terbang."
Qing langsung menyita pisau dapur dari tangan majikannya.
"Berikan itu! Demi calon pangeran atau putri kekaisaran!"
"Kalau begitu... aku hanya potong sayur diam-diam."
"Tidak boleh juga!"
Mei Lin mengeluh, "Kalau begitu biar aku cuci piring?"
Semua pelayan menjerit. "TIDAAAK!"
Liang Xu yang Mendadak Jadi Suami Siaga dan Kaisar Liang Xu mendadak jadi kaisar paling posesif se-Negara Langit. Ia mendampingi Mei Lin kemanapun. Bahkan saat Permaisuri hendak buang air kecil, ia ikut mengantar.
"Aku bisa sendiri!"
"Tidak. Kau harus dijaga. Siapa tahu ubin licin."
"Kau pikir aku kuda lumping?!"
Liang Xu bahkan meminta Panglima Mo untuk merancang pegangan tangan di sepanjang paviliun permaisuri. Ia juga melarang ada diskusi politik dekat-dekat Mei Lin karena "auranya bisa bikin stres".
Rakyat ikut berbahagia, tak hanya istana, kabar ini sampai ke desa tempat asal Mei Lin. Penduduk desa membuat panji besar bertuliskan:
"SELAMAT UNTUK ANAK DESA YANG AKHIRNYA BIKIN KAISAR GAGAP."
Bahkan para pedagang di pasar ibu kota membuat bakpao edisi terbatas "Rasa Harapan Baru", dengan bentuk lucu menyerupai wajah Mei Lin. (Sayangnya banyak yang gagal, dan malah mirip kentang.)
Perut Mei Lin belum membesar, tapi semangat baru sudah memenuhi seluruh kekaisaran.
Dan di malam hari, saat Mei Lin bersandar di bahu Liang Xu, ia berbisik pelan:
"Apakah... aku akan jadi ibu yang baik?"
Liang Xu menggenggam tangannya.
"Kau sudah menjadi istri yang hebat. Pemimpin yang luar biasa. Ibu? Aku yakin... anak kita akan tumbuh dan berkata:
'Ibuku bisa menaklukkan dapur, istana, dan hati Kaisar. Siapa yang bisa mengalahkan itu?'"
Mei Lin tertawa. Dan di luar, bulan purnama bersinar tenang, seolah ikut tersenyum.
Pewaris kekaisaran telah ditanam. Dan masa depan... akan lebih konyol, lucu, dan indah dari yang pernah dibayangkan siapa pun.
Sudah sebulan lebih sejak Kaisar Liang Xu memeluk Mei Lin di malam pertamanya yang penuh insiden lucu dan akhirnya sukses juga. Kini, kehebohan baru mengguncang Istana Langit Timur.
Bukan karena pemberontakan.
Bukan pula karena surat ancaman dari negeri seberang.
Tapi karena… Permaisuri Mei Lin ngidam.
Dan ngidamnya bukan ngidam biasa.
“Yang Mulia… Permaisuri minta makan mangga asam yang ditanam di puncak Gunung Bai yang hanya bisa dipetik oleh biksu tua yang tidur sambil berdiri,” lapor pengawal Si Tang dengan napas ngos-ngosan sambil membawa kertas daftar permintaan.
Liang Xu meletakkan kuas tulisannya, menatapnya tanpa ekspresi. “Siapa nama biksu itu?”
“Biksu Pan Su, Yang Mulia.”
“Suruh dia pindah ke istana. Atau jadikan dia kepala kebun buah.”
Si Tang menghela napas dalam hati. Masalahnya, biksu itu bahkan tidak tahu caranya turun gunung tanpa meditasi selama tiga hari. Tapi tak ada yang bisa dilakukan kalau sang permaisuri sedang ngidam.
Sedangkan di dapur istana terjadi kehebohan.
“Cepat! Siapkan kue tahu rasa mawar, tapi tidak boleh ada tahu dan tidak boleh ada mawar!” teriak kepala dapur istana dengan wajah setengah putus asa.
Seorang pelayan dapur gemetar, “Tapi… Yang Mulia Permaisuri yang minta seperti itu...”
“YA ITULAH MASALAHNYA!”
Bersambung