Nayla mendapatkan kabar dari Tante Ida agar pulang ke Indonesia dimana ia harus menghadiri pernikahan Anita.
Tepat sebelum acara pernikahan berlangsung ia mendapatkan kabar kalau Anita meninggal dunia karena kecelakaan.
Setelah kepergian Anita, orang tua Anita meminta Nayla untuk menikah dengan calon suami Anita yang bernama Rangga.
Apakah pernikahan Rangga dan Nayla akan langgeng atau mereka memutuskan untuk berpisah?
Dan masih banyak lagi kejutan yang disembunyikan oleh Anita dan keluarganya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Nayla mengambil sapu dan mulai membersihkan kaca pigura itu dengan gerakan pelan.
Air matanya terus mengalir, membasahi pipinya, mengingat kata-kata Rangga yang menusuk hati.
Setelah selesai membersihkan pigura dan menaruhnya di atas meja tamu dan ia diam sejenak.
Lalu, tanpa banyak pikir, Nayla melangkah masuk ke kamar. Tangannya gemetar saat memasukkan semua pakaiannya ke dalam tas.
“Sampai kapan pun, di matamu... aku hanyalah seorang pengganti,” gumamnya lirih, hampir tak terdengar.
Tanpa berpamitan pada suaminya yang berada di kamar utama, Nayla melangkah keluar rumah.
Udara malam terasa menusuk kulitnya yang hangat oleh air mata.
Ia memanggil taksi dan memintanya untuk mengantarkannya ke Kafe Venus.
Sopir taksi itu melirik cemas ke arah kaca spion, melihat penumpangnya yang menangis tersedu-sedu.
“Mbak, apa Mbak baik-baik saja?” tanyanya hati-hati.
“I-iya, Pak. Saya... saya baik-baik saja,” jawab Nayla pelan, berusaha tegar meski suaranya bergetar.
Tak berselang lama supir taksi itu menghentikan mobilnya di depan Kafe Venus.
"Mbak sudah sampai." ucap sopir taksi yang melihat Nayla sedang melamun.
Seketika lamunan Nayla buyar ketika mendengar suara sopir taksi itu.
Nayla membuka pintu dan turun dari mobil. Disaat akan membayar, sopir taksi itu langsung menolaknya.
"T-terima kasih Pak." ucap Nayla dengan suara lirih.
Sambil membawa tasnya, Nayla masuk ke kafe dan melihat Jati yang sedang mengobrol dengan managernya.
Jati yang melihat kedatangan Nayla langsung menghampirinya.
"Nay, kamu kenapa? Apa yang terjadi Nay?" Jati melihat tangan Nayla yang terluka.
"A-aku...."
Seketika Nayla langsung jatuh pingsan di pelukan Jati.
"Nay! Bangun Nay!"
Melihat Nayla yang pingsan, Jati langsung membawanya ke rumah sakit.
Di ruang UGD rumah sakit, Jati mondar-mandir di depan pintu.
Napasnya memburu, wajahnya cemas. Sesekali ia melirik ke arah jam dinding, seolah berharap waktu berjalan lebih cepat.
Tak lama kemudian, seorang perawat keluar dari dalam ruangan.
"Anda keluarga pasien?" tanya perawat itu.
Jati terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Iya... saya temannya. Bagaimana keadaannya?"
"Pasien mengalami kelelahan fisik dan syok emosional. Kami sudah menangani lukanya, tapi sebaiknya ia tidak sendirian dalam waktu dekat. Ia butuh istirahat total dan dukungan emosional."
Jati mengangguk. "Boleh saya menemuinya?"
Perawat itu tersenyum kecil. "Silakan. Tapi jangan terlalu lama, dia masih lemah."
Jati masuk perlahan ke dalam ruangan. Di sana, Nayla terbaring dengan infus di tangan, wajahnya pucat dan matanya tertutup.
Tapi ada ketenangan yang baru kali ini Jati lihat di wajah itu, seolah Nayla telah melepaskan beban berat yang lama ia pendam.
Jati menarik kursi dan duduk di samping ranjang.
"Nayla..." bisiknya.
Nayla membuka mata perlahan. Pandangannya buram, tapi ia tahu suara itu.
"M-mas Jati..."
"Aku di sini," ujar Jati lembut. Ia menggenggam tangan Nayla dengan hati-hati.
"Kamu aman sekarang. Gak apa-apa, kamu gak perlu pura-pura kuat lagi."
Air mata mengalir dari sudut mata Nayla. "Aku lelah, Mas... lelah."
Jati mengecup punggung tangan Nayla. "Aku tahu. Kamu gak sendiri. Selama kamu mau, aku akan ada."
Mereka terdiam sejenak, hanya suara detak mesin monitor yang terdengar di ruangan.
Lalu Nayla bertanya pelan, "Kalau aku gak punya siapa-siapa lagi... masihkah kamu mau jadi tempat aku pulang?"
Jati menatap matanya dalam-dalam. "Selalu, Nay. Selalu."
Jati meneteskan air matanya saat melihat Nayla menangis seperti itu.
Untuk sementara waktu Jati akan memberikan Nayla tempat yang aman.
Seorang perawat masuk ke ruangan dan memeriksa selang infus Nayla. Cairannya telah habis.
"Bu Nayla, Anda sudah boleh pulang. Tapi untuk sementara, usahakan jangan terlalu banyak pikiran, ya," ucapnya lembut sambil mencatat sesuatu di clip board.
Nayla hanya mengangguk pelan. Matanya masih sayu, tapi setidaknya kini tidak lagi memerah.
Jati berdiri dari kursi dan mendekat, lalu dengan hati-hati membopong tubuh Nayla.
"Pelan-pelan," ujar perawat, membukakan pintu.
Di lorong rumah sakit, manajer Jati berdiri menunggu.
"Bagaimana keadaannya?" tanyanya pelan.
"Ia hanya kelelahan. Fisik dan emosinya benar-benar terkuras," jawab Jati sambil menahan suara yang mulai berat.
Ia menatap wajah Nayla yang kini tertidur di pelukannya, damai tapi rapuh.
"Terima kasih ya, Mas, sudah bantu antar ke sini," ucap Jati tulus pada manajernya.
"Sama-sama. Kalian hati-hati ya." Manajernya menepuk bahu Jati pelan lalu berpamitan.
Jati kemudian memanggil taksi yang tengah melintas di depan rumah sakit.
Sopirnya segera turun untuk membukakan pintu belakang.
Dengan hati-hati, Jati masuk sambil tetap memeluk Nayla.
Kepala Nayla bersandar di dadanya, tubuhnya terbuai dalam lelap karena efek obat penenang yang diberikan perawat.
Taksi mulai melaju menuju apartemen Jati. Di dalam mobil, Jati hanya menatap ke luar jendela, pikirannya penuh.
Dalam hati, ia berjanji, “Kamu gak perlu takut lagi, Nay. Aku akan jadi rumah yang kamu butuhkan, bukan untuk menggantikan siapa pun, tapi untuk memulihkan dirimu yang terluka.”
Sementara itu, Rangga masih terduduk di dalam kamarnya.
Tubuhnya membungkuk di sisi ranjang, kedua tangannya mencengkeram rambutnya sendiri.
Nafasnya berat, matanya kosong menatap lantai yang penuh serpihan kaca dan cipratan merah.
Di ruang tengah, Bi Ina yang baru saja pulang dari pasar terkejut bukan main saat melihat kekacauan yang terjadi.
Lantai dipenuhi noda merah seperti darah, dan pigura foto mendiang Anita tergolek pecah di atas meja tamu. Bingkainya retak, kacanya berserakan.
“Ya Allah Gusti… astaghfirullah…” gumam Bi Ina sambil menutup mulutnya dengan tangan gemetar.
Matanya menyapu ruangan, mencari-cari sosok Nayla. Tapi tak ada siapa pun. Yang ada hanya keheningan yang menyesakkan.
Dengan jantung berdebar, Bi Ina melangkah cepat ke arah kamar Nayla.
Ia menggenggam gagang pintu dan membukanya perlahan, ketakutan membayangi wajahnya.
“Non Nayla?” panggilnya pelan.
Namun kamar itu kosong. Lemari setengah terbuka, dan beberapa laci terlihat kosong.
Bi Ina mundur beberapa langkah, matanya mulai berkaca-kaca.
“Jangan-jangan… Den Rangga...” bisiknya.
Bi Ina menghela napas dalam-dalam, lalu memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar Rangga.
Tok... tok...
Tak ada jawaban. Tapi beberapa detik kemudian, pintu terbuka perlahan.
Rangga berdiri di ambang pintu dengan wajah pucat dan tatapan kosong.
"Apakah wanita itu sudah memasang pigura foto Anita?" tanyanya datar, nyaris tanpa emosi.
Bi Ina menatapnya bingung. "Non Nayla tidak ada di rumah, Den... dan ia meninggalkan ponselnya di atas meja makan."
Rangga tak merespons.
Bi Ina melanjutkan dengan suara lirih, "Apa yang terjadi, Den? Kenapa lantai penuh dengan noda darah? Apa Den Rangga... melakukan sesuatu pada Non Nayla?"
Mata Rangga menyipit. "Dia... yang menghancurkan foto Anita. Dia yang lempar pigura itu."
Bi Ina menelan ludah. Ia ragu, namun tetap berkata,
"Apa Den Rangga yakin? Soalnya... waktu sebelum Bi Ina ke pasar tadi, Non Nayla kelihatan pucat. Bibi bahkan sempat bikinin soto kesukaannya. Tapi sampai sekarang, makanan itu hanya disentuh sedikit."
Ia menggandeng tangan Rangga perlahan dan membawanya ke meja makan.
Di sana, semangkuk soto ayam masih terhidang, tak tersentuh, sudah mulai dingin.
"Non Nayla pasti gak enak badan... mungkin dia lelah, mungkin juga hatinya luka, Den."
Rangga hanya berdiri mematung. Pikirannya bergolak, hatinya tidak tenang. Tapi Bi Ina belum selesai bicara.
“Bukankah rumah ini ada CCTV, Den?” katanya pelan namun tajam.
“Kalau Den Rangga benar... mari kita lihat rekamannya. Kalau Non Nayla memang yang menghancurkan pigura itu, pasti terekam.”
Sekilas, wajah Rangga berubah. Keraguan perlahan menyusup ke dalam matanya.
Bi Ina menatapnya lekat-lekat. Pandangannya lembut, tapi sarat tekanan yang tak bisa diabaikan.
“Kadang… bukan soal apa yang kita lihat, Den. Tapi soal apa yang kita pilih untuk tidak melihat.”
Ada rasa jengkel yang tertahan dalam suara Bi Ina. Ia tak bisa menyembunyikan ketidaksukaannya atas sikap Rangga kepada Nayla.