NovelToon NovelToon
Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Selingkuh / Ibu Mertua Kejam / Era Kolonial
Popularitas:8.6k
Nilai: 5
Nama Author: Hayisa Aaroon

1927. Ini kisah tentang seorang garwo ampil (istri selir) yang melahirkan anak yang tak boleh memanggilnya ibu.

Ini kisah tentang lebarnya jurang bangsawan dan rakyat kecil,
tapi bukan semata-mata tentang ningrat yang angkuh atau selir yang hina.

Ini kisah tentang perempuan yang kehilangan haknya di era kolonial, terbentur oleh adat dan terkungkung kuasa lelaki.

Ini kisah tentang bagaimana perempuan belajar bertahan dalam diam, karena di masa itu, menangis pun tak akan menggetarkan hati siapapun yang haus akan derajat.

Dilarang plagiat, mengambil sebagian scene atau mendaur ulangnya menjadi bentuk apapun. Apabila melihat novel serupa, tolong lapor ke IG/FB: @hayisaaaroon.

Novel ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyuarakan mereka yang dibungkam sejarah; perempuan-perempuan yang terkubur dalam catatan kaki, yang hidupnya ditentukan oleh kehendak patriarki yang mengatasnamakan adat, agama, dan negara.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

15. Suara Pram

Kereta Marius parkir di ujung paling belakang, agak tersembunyi di balik pohon asam besar. Posisi yang sempurna, cukup jauh dari keramaian tapi cukup dekat dengan bagian dalam kompleks.

Dari tempat ini, Pariyem bisa melihat jalanan setapak yang berkelok menuju bagian dalam kadipaten.

Jalan yang harus dia lalui untuk mencapai paviliun barat. Jalan yang diapit lampu-lampu taman yang menerangi lembut.

Di kejauhan, bayang-bayang bangunan-bangunan besar terlihat samar. Pendopo-pendopo dengan atap joglo menjulang.

Rumah-rumah dengan ukiran kayu yang rumit. Paviliun-paviliun untuk keluarga besar bupati.

Gamelan masih terdengar dari kejauhan, meski tidak seekencang tadi. Suara tawa dan obrolan tamu juga terdengar samar, bercampur dengan bunyi kendang dan gong.

Pariyem menggenggam peta denah di tangannya. Jantungnya berdetak cepat, antara takut dan penuh harap.

Sekarang tinggal menunggu. Menunggu pergantian penjaga. Lima belas menit celah waktu yang dijanjikan Marius.

Lima belas menit untuk bertemu dengan putranya yang sudah hampir dua bulan tidak dilihatnya.

\~\~\~

Waktu berjalan seperti siput yang merayap. Setiap menit terasa seperti jam. Pariyem duduk di dalam kereta dengan tubuh tegang, mata terus melirik ke luar melalui celah tirai.

Gamelan di kejauhan mulai berganti irama. Dari yang megah dan formal menjadi lebih riang, tanda pesta sudah memasuki tahap yang lebih santai.

Mungkin makanan sudah dihidangkan. Mungkin tamu-tamu sudah mulai mengobrol dengan nyaman, perut kenyang, sebagian mungkin mulai sedikit mabuk.

Dari pos jaga, kedua pengawal yang tadi berjaga sudah tidak terlihat lagi. Mungkin ikut bergabung dengan yang lain.

Area parkir semakin sepi. Beberapa kusir masih berdiri di samping kereta majikan masing-masing, tapi sebagian besar sudah menghilang, mungkin ke area tunggu kusir untuk beristirahat dan makan.

Kusir tua Marius berdiri tegak di samping kereta, sesekali mengamati situasi dengan mata tajam.

Tiba-tiba dia mengetuk jendela kereta pelan. "Nyai," bisiknya. "Sebentar lagi waktunya."

Jantung Pariyem langsung berdetak dua kali lebih cepat. Tangannya gemetar saat meraih peta denah, melipatnya kecil dan menyimpan di dalam lipatan kendit yang diikat ketat di pinggang.

Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi bagaimana bisa tenang? Ini pertama kalinya dia melakukan sesuatu seberbahaya ini.

"Para kusir sedang makan di area belakang," lanjut Suroso dengan suara sangat pelan. "Kadipaten menyediakan makanan untuk para kusir dan pengawal. Biasanya mereka makan bergantian, tapi malam ini sepertinya semuanya makan bersamaan karena pestanya besar."

Dia menoleh ke kiri dan kanan dengan hati-hati. "Penjaga utama juga sedang berkumpul di pos pusat untuk serah terima pergantian penjaga. Lima belas menit dari sekarang."

Pariyem mengangguk, tenggorokannya kering. "Bagaimana kalau saya ketahuan?"

"Saya akan mengalihkan perhatian mereka. Tuan Asisten Residen sudah memberi perintah. Nyai tenang saja. Sekarang keluar, pelan-pelan. Jalan seperti abdi dalem biasa yang sedang menjalankan tugas."

Pak Karso membukakan pintu kereta dengan perlahan, tidak menimbulkan bunyi keras. Pariyem turun dengan kaki yang hampir lemas.

Udara malam menyapu wajahnya—sejuk, wangi bunga melati dan kenanga yang ditaburkan di mana-mana.

"Ingat, Nyai. Jalan setapak di sebelah kiri air mancur. Ikuti sampai taman bunga mawar. Belok kanan. Lewati kolam ikan. Paviliun barat ada di ujung jalan, bangunan dengan atap joglo. Jendela ketiga dari kiri."

"Paviliun barat. Atap joglo tua. Jendela ketiga dari kiri," ulang Pariyem pelan, menghafalkan.

"Pergi sekarang. Saya akan menunggu di sini. Kalau ada bahaya, saya akan memberi tanda bunyi burung hantu tiga kali. Kalau Nyai dengar, langsung sembunyi atau kembali ke kereta."

Pariyem mengangguk sekali lagi. Dengan langkah berdebar, dia mulai berjalan meninggalkan area parkir.

Setiap langkah terasa berat seperti mengangkat batu. Jantungnya berdetak begitu kencang, rasanya akan meledak keluar dari dada. Napasnya pendek-pendek, susah mengatur ritme.

Dia mencoba berjalan santai, seperti abdi dalem yang sedang menjalankan tugas. Tapi bagaimana bisa santai ketika setiap bayang-bayang membuat jantung melompat? Ketika setiap bunyi membuat tubuh menegang?

Pariyem melewati air mancur naga yang gemericik. Airnya jernih, memantulkan cahaya lampu minyak yang terpasang di sekeliling.

Ikan-ikan mas besar berenang malas di kolam dangkal, warna merah dan putih mereka berkilau cantik.

Jalan setapak di sebelah kiri. Dia mengikutinya. Jalan itu ditaburi kelopak bunga—melati putih, kenanga kuning, mawar merah.

Setiap langkah menimbulkan aroma wangi yang menyeruak. Indah, tapi Pariyem tidak bisa menikmatinya. Otaknya hanya fokus pada satu hal: Pramudya.

Di kiri kanan jalan, pohon-pohon besar berdiri rindang. Pohon asam, pohon beringin, pohon mangga yang rimbun. Daunnya bergerak tertiup angin malam, menimbulkan bunyi gemerisik yang membuat bulu kuduk berdiri.

Bayang-bayang bergerak. Pariyem langsung berhenti, jantung hampir copot. Tapi ternyata hanya kucing hitam yang melompat dari satu dahan ke dahan lain, mengejar cicak.

Dia menarik napas lega, melanjutkan jalan.

Lampu-lampu taman menerangi jalan dengan cahaya keemasan yang lembut. Tidak terlalu terang, cukup untuk melihat jalan tapi tidak terlalu mencolok.

Bayangan Pariyem memanjang di tanah, bergoyang mengikuti gerakan lampu yang apinya berkedip-kedip tertiup angin.

Taman bunga mawar muncul di depan. Pariyem mengenali dari aroma khasnya—mawar merah, mawar putih, mawar kuning yang ditanam rapi dalam bedengan besar. Beberapa masih mekar sempurna meski sudah malam.

Belok kanan. Dia mengikuti instruksi. Jalan menyempit sedikit, diapit pagar tanaman hias yang dipangkas rapi membentuk pola-pola indah.

Kolam ikan muncul di sebelah kiri. Kolam besar berbentuk persegi dengan jembatan kecil di tengahnya.

Lampu-lampu kecil dipasang di sekeliling kolam, memantulkan cahaya di permukaan air yang tenang.

Ikan-ikan mas besar bergerak lambat di dalam, warna-warni mereka terlihat samar di bawah air.

Jantung Pariyem berdetak semakin kencang. Sudah dekat. Sudah sangat dekat.

Dan di ujung jalan, dia melihatnya.

Paviliun besar dengan atap joglo tua. Bangunan kayu dengan ukiran rumit di setiap sudutnya.

Tiang-tiang jati besar menopang atap yang menjulang tinggi. Lima jendela besar menghadap ke taman, ditutup dengan kisi-kisi kayu berukir halus.

Jendela ketiga dari kiri.

Pariyem berhenti di balik pohon mangga besar, bersembunyi di bayang-bayangnya. Matanya terpaku pada jendela itu.

Ada cahaya lampu dari dalam. Cahaya lembut dari lampu minyak yang temaram. Bayang-bayang bergerak di balik kisi-kisi, seseorang sedang bergerak di dalam kamar.

Dan kemudian dia mendengarnya.

Suara bayi.

Tidak menangis. Hanya suara kecil—merengek lembut, seperti bayi yang baru bangun atau sedang rewel ringan.

Suara yang membuat dadanya sesak, membuat air mata langsung mengalir tanpa bisa ditahan.

Pramudya.

Pariyem melangkah keluar dari bayang-bayang, berjalan pelan mendekat. Kakinya gemetar, hampir tidak sanggup menopang tubuh. Tapi dia terus berjalan, ditarik oleh suara itu seperti ada magnet tak terlihat.

1
Lannifa Dariyah
pariyem k t4 sumi, apa akan menggoda Martin juga?
oca
aku juga mules yem,takut kamu di apaapain😬
oca
jangan2 suruhan kanjeng ibu
oca
pinteeer kamu yem
SENJA
naaah gitu le jangan cuma nunduk2 aja,,, protes! tanya! 😙
oca
neeeh kumat merasa berjasa🤣
oca
🤭🤭🤭🤭
🌺 Tati 🐙
pokonya hati2 dan waspada Yem,mau dia baik tetep kita harus hati2
SENJA
buset pemikirannya gini amat yak 😂 astaga miris ya
SENJA
ddihhh jahat banget yah 🥺😑
SENJA
hmmn tugasmu yem buat ngorek2 tapi harus hati2 yem 😂
SENJA
kamu kan laki2 kamu imam lho! masa cemen gini yak ternyata 😪😂
SENJA
addduh sayang kau tak bisa baca tulis yem 😑
SENJA
deal sudah ! pinter juga kau yem 👌
Eniik
❤❤❤
Fitriatul Laili
mau diracun ya kayaknya
Kenzo_Isnan.
oalah yem yem karma dibayar tunai ,,tp kok yo melas men yem yem ra tegel q ngikuti kisah mu sek sabar yo yem yem
Kenzo_Isnan.
lanjut kak ayoo semagaaattt 💪💪💪💪
🌺 Tati 🐙
ditunggu kabar sumi dan keluarga besarnya...yem sekalian kamu minta maap sama sumi,kalau perlu minta bantuan sumi
🌺 Tati 🐙
sodarsono belajar dari ke gagalan pertama,dia tidak bisa mempertahankan sumi,makanya sekarang sedikit berontak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!