Alaska Arnolda, CEO terkenal Arnolda, terpaksa menanggalkan jas mewahnya. Misinya kini: menyamar diam-diam sebagai guru di sebuah SMA demi mencari informasi tentang pesaing yang mengancam keluarganya. Niat hati fokus pada misi, ia malah bertemu Sekar Arum Lestari. Gadis cantik, jahil, dan nakal itu sukses memenuhi hari-hari seriusnya. Alaska selalu mengatainya 'bocah nakal'. Namun, karena suatu peristiwa tak terduga, sang CEO dingin itu harus terus terikat pada gadis yang selalu ia anggap pengganggu. Mampukah Alaska menjaga rahasia penyamarannya, sementara hatinya mulai ditarik oleh 'bocah nakal' yang seharusnya ia hindari?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BabyCaca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18 - Aku Menemukan Mu
Di tengah hiruk pikuk malam yang berpendar dari lampu-lampu neon club, suasana di lorong itu terasa justru lebih sunyi. Bau asap rokok dan parfum mahal masih terbawa angin, seolah menempel di dinding-dinding yang lembap.
Arum berdiri terpaku di sana, wajahnya memerah karena lelah berlari dan malu atas kejadian barusan. Nafasnya tersengal, rambutnya sedikit berantakan, beberapa helai menempel di wajahnya yang mulai berkeringat.
“Aska?” gumam Arum pelan, seolah tidak percaya pada apa yang baru saja dilihatnya.
Nama itu keluar begitu saja, dan seketika dadanya mencelos. Aska. Guru paling menyebalkan, paling tegas, paling perfeksionis yang pernah dia jumpai. Guru yang bahkan di sekolah pun membuatnya kesal setengah mati.
Dan sialnya, pria itu berdiri di depan meja klub malam seperti bukan apa-apa bahkan terlihat comfortable di tempat semacam ini. Itu membuat otak Arum langsung memproses seribu pertanyaan sekaligus.
*Kenapa di kota sebesar ini aku harus ketemu dia?!*
*Kenapa namanya harus sama?! Kenapa mukanya juga sama?!*
Arum memutar bola matanya malas dan berusaha menenangkan diri, tapi langkah Alaska mendekat justru membuat jantungnya makin kacau.
Begitu pula Arum yang berniat berbalik sambil memegang nampan, ingin segera pergi sebelum pria itu mengenalinya. Namun nasib berkata lain. Saat Alaska melangkah semakin dekat, Arum membalikkan badan terlalu cepat, hingga.
Bruk!
Tubuhnya menabrak dada salah satu teman pria itu dan hampir membuatnya tersungkur ke meja. Mata Arum membesar seketika. Dia menahan napas, berdoa dalam hati agar minuman mahal di meja itu tidak jatuh dan membuatnya harus mengganti semuanya. Kalau itu sampai terjadi, gajinya seminggu pasti hangus.
“Hah, untung saja tidak jatuh… terima kasih sudah menolong saya,” ucap Arum lega, masih menengok ke arah belakang tanpa sadar siapa yang sedang memegangi pinggangnya agar tidak terjatuh.
Tangan besar Alaska memegang erat pinggang gadis itu. Otot-otot lengannya menegang, menunjukkan refleks kuat yang muncul begitu saja ketika melihat Arum hampir terjatuh. Rambut panjang Arum menutupi sebagian wajahnya ketika ia menengok ke belakang, membuat Alaska hanya melihat siluet tubuhnya.
Namun ketika Arum mengibaskan rambut dan wajah mereka saling berhadapan…
Seketika keduanya membulatkan mata.
Mereka sama-sama terpaku, seolah waktu berhenti. Teman-teman Alaska yang duduk di meja juga menoleh, saling pandang dengan bingung melihat kedua orang itu terkejut seperti baru saja melihat hantu.
“Pak Aska?!!” teriak Arum kaget, hampir melompat mundur.
“Arum?” Alaska menyahut, sama terkejutnya.
“Apa kalian saling mengenal?” tanya Dean sambil mengernyit, memecah suasana yang tiba-tiba canggung itu.
Sontak Arum mendorong tubuh Alaska menjauh. Wajahnya memerah bukan hanya karena terkejut, tetapi juga karena malu.
*Astaga… pantes saja wangi parfumnya mirip… pantes punggungnya kayak familiar… ini toh alasannya! Kenapa bisa ketemu guru di tempat kayak gini?!*
Dia ingin menghilang saat itu juga.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Alaska dengan suara keras, nadanya penuh nada menginterogasi seperti biasa.
“Ih, kenapa bapak marah-marah? Terserah saya mau di mana,” ketus Arum sambil menghempaskan tangan pria itu dari pinggangnya.
“Arum! Jawab saya! Ke mana saja kau selama ini? Kenapa kau tidak kembali ke sekolah? Dan bekerja di tempat seperti ini?” bentak Alaska, suaranya terdengar lebih kesal daripada marah.
“Emang masalahnya sama bapak apa? Semua cerita hidup saya harus bapak tau? Lagian, kita nggak seakrab itu buat saya ceritain semuanya!” balas Arum, kesal dan merasa dipermalukan. Tanpa menunggu jawaban, dia langsung pergi.
“Hah, sekolah?” gumam Lukas mengangkat alis.
“Pantas saja gadis itu terlihat sangat muda. Aska, kau mengenalnya?”
“Ck. Sial,” umpat Alaska sambil menggeram pendek.
Tanpa pikir panjang, pria itu langsung mengejar Arum.
---
Vivi yang sedang menunggu di dekat bar melihat Arum datang dengan wajah berubah, berjalan tergesa seolah dikejar setan.
“Arum, bagaimana? Sudah kau berikan?” tanya Vivi sambil tersenyum.
“Kak Vivi, bilang sama Kak Dian… Arum balik duluan ya hari ini,” ucap Arum buru-buru sambil meletakkan nampan.
“Eh? Kenapa sih? Kok malah kesal? Ada apa Rum! Arum!” teriak Vivi saat gadis itu berjalan cepat menuju lorong gelap menuju parkiran.
Alaska, dengan langkah panjang dan cepat, berlari mengejar Arum. Langkahnya berat tapi stabil, membuat derap sepatunya menggema di lorong sempit itu. Banyak pertanyaan di kepalanya kemana Arum menghilang selama dua minggu, kenapa bekerja di club, kenapa tidak pernah kembali ke sekolah, dan kenapa… kenapa dia merasa selelah ini melihat gadis itu berlari menjauh.
Arum melirik ke belakang dan melihat sosok pria itu semakin dekat.
“Ih, kenapa malah diikutin sih!” gumamnya panik.
“Kalau ketauan orang, bisa-bisa mereka pikir aku jual diri atau apa… ih malu banget. Lagian kenapa guru bisa main ke club sih!”
Dia berlari sekuat tenaga, tapi rok span mini yang ketat menahan gerakannya. Ditambah high heels, dia hanya bisa memaki diri sendiri dalam hati. Paha mulusnya bahkan sesekali terlihat ketika dia memaksakan langkah besar.
Setibanya di area parkir, Arum berjongkok di belakang sebuah mobil, mengintip seperti anak kecil yang ketakutan. Nafasnya keluar masuk cepat, dadanya naik turun.
Dia melihat Alaska menoleh kanan kiri, mencari-cari sosoknya. Setelah beberapa detik, pria itu berjalan menjauh.
“Untung saja dia pergi…” Arum menghembuskan napas lega. “Hah… sial banget ketemu guru nyebelin itu. Padahal kota seluas ini!”
“Guru apa tadi?” suara itu muncul tepat di depan wajahnya.
Arum membeku. Mata membulat.
Seolah adegan deja vu, saat ia membalikkan badan, Alaska berdiri di depannya. Tubuh tinggi itu menjulang seperti dinding, tatapannya menusuk dingin.
Arum refleks berdiri dan bersiap lari lagi.
Namun baru dua langkah—
Braaak!
Alaska menarik kerah bajunya, membuat gadis itu terhenti dan hampir tersedak.
“Lepasin! Sakit!” teriak Arum sambil memukul-mukul tangan Alaska.
“Maka-nya diam di sini!” balas Alaska kesal, masih menahan gadis itu.
“Iya iya! Nggak bakal kabur kok!” serah Arum akhirnya, meski jelas-jelas berbohong.
Alaska melepaskan pegangan itu.
Dan benar saja Arum langsung mundur tiga langkah dan kembali berlari.
“Shit. Bocah nakal,” geram Alaska.
“Tuhan selamatkan aku…” Arum bersiap lari lebih cepat.
Namun Alaska jauh lebih cepat. Pria itu berlari, menarik pinggang Arum dari belakang lalu.
Hup!
Dia mengangkat gadis itu seperti mengangkat boneka. Arum menjerit sambil mengayun-ayunkan kaki seperti monyet kecil yang diangkat dari dahan.
“Lepaskan aku! Aku nggak mau! Lepas! Lepas!” teriak Arum penuh protes.
“Tidak. Kau berbohong,” kata Alaska, memeluk tubuh gadis itu lebih erat agar tidak kabur.
Pria itu mengubah pegangan, mengangkat Arum dalam bridal style. Seolah menggendong pengantin baru, namun versi kacau dan penuh drama. Arum terus meronta, menghentak-hentakkan tubuhnya.
Alaska tidak bergeming barang sedikit pun. Rahangnya mengeras, wajahnya datar, menunjukkan campuran kesal dan kekhawatiran yang tidak ingin dia akui.
Dia membuka pintu mobil mewahnya, lalu *bukkk!* meletakkan Arum ke kursi belakang dengan sedikit dorongan.
“Diam,” ketus Alaska, ikut masuk ke dalam mobil.
“Aku bilang lepaskan! Aku nggak mau!” protes Arum, wajahnya memerah oleh amarah dan malu.
Pria itu mencondongkan tubuh, menghimpit Arum yang terpojok. Tatapannya tajam menyisir Arum dari atas sampai bawah, membuat gadis itu kaku.
Rok mini. Kemeja ketat. Lekuk tubuh terlihat jelas. Dada sedikit menonjol karena bahan stretch. Hidung Alaska mengerut kesal.
“Apa kau menggoda seorang pria di sini, Arum?” tanyanya dengan suara rendah dan marah bukan cemburu, bukan kepemilikan… tapi campuran aneh yang bahkan Alaska sendiri tidak bisa definisikan.
...----------------...
Reader tersayang, dukungan kalian dengan vote atau komentar benar-benar membuat novel ini tumbuh. Bantu ya!