NovelToon NovelToon
Jodoh Ku Sepupuku

Jodoh Ku Sepupuku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Keluarga / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:5.1k
Nilai: 5
Nama Author: Ann,,,,,,

Menikah dengan seseorang yang tumbuh bersama kita sejak kecil—yang rasanya sudah seperti saudara kandung sendiri—namun harus terpaksa menikah dengannya. Itulah yang kualami.

Namaku Alif Afnan Alfaris, seorang arsitek.
Sedangkan dia, Anna Maida, adalah adik sepupuku sendiri. Sepupu, kata ayahku, sudah sah untuk dinikahi—alasannya demi mendekatkan kembali hubungan darah keluarga. Namun sungguh, tak pernah sedikit pun terlintas di benakku untuk menikah dengannya.

Hubungan kami lebih mirip Tom and Jerry versi nyata. Setiap bertemu, pasti ribut—hal-hal kecil saja sebenarnya. Dia selalu menolak memanggilku Abang, tidak seperti sepupu-sepupu yang lain. Alasannya sederhana: usia kami hanya terpaut satu hari.

Anna adalah gadis cerdas yang menyukai hidup sederhana, meski ayahnya meninggalkan warisan yang cukup banyak untuknya. Ia keras kepala, setia, penyayang… dan menurutku, terlalu bodoh. Bayangkan saja, ia mau dijodohkan dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal, di usia yang masih sanga

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ann,,,,,,, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

jangan melamun an nanti kamu di culik pocong jomblo

VOP ANNA

Namaku Anna Maida.

Papa biasa memanggilku singa kecil—katanya aku tenang, tapi keras kalau sudah mempertahankan sesuatu.

Aku lahir dari keluarga yang cukup berada, bahkan berpengaruh. Sejak kecil hidupku terbilang aman, terjaga, nyaris tanpa cela. Aku tumbuh dikelilingi orang-orang yang kuat, disiplin, dan terbiasa memegang prinsip.

Aku sangat dekat dengan salah satu sepupuku—kami sebaya, hanya berbeda satu hari. Dari kecil sampai dewasa, kami tumbuh bersama. Aku selalu menolak memanggilnya Abang, berbeda dengan sepupu lain. Bukan karena tidak hormat, tapi karena bagiku dia bukan sekadar saudara. Dia rumah. Dia saksi hidupku. Dan dia tahu semua sisi diriku—yang keras, yang rapuh, yang tidak pernah kutunjukkan ke orang lain.

Hidupku nyaris sempurna.

Sampai satu peristiwa mengubah segalanya.

Papa—Paradigma, atau yang orang-orang kenal sebagai Pak Pardi Abdullah—gugur dalam tugas. Dunia kami runtuh dalam satu kabar duka. Sejak hari itu, aku hidup hanya bersama Mama, Maharani.

Mama menjadi segalanya bagiku. Dan mungkin… di situlah awal aku belajar menahan diri.

Setelah lulus SMA, aku dipinang oleh seorang pengusaha dari kampung kami. Mama takut. Takut tidak bisa menjagaku sendiri. Takut kehilangan aku seperti ia kehilangan Papa. Dalam ketakutannya, Mama setuju.

Keluarga Papa jelas menolak.

Tapi Mama keras kepala.

Dan aku… tidak sanggup menolak keinginan perempuan yang melahirkanku ke dunia ini.

Akhirnya aku menurut.

Aku menikah dengan Mas Rian—tanpa cinta.

Percaya atau tidak, aku dijodohkan di usia yang bahkan belum cukup delapan belas tahun.

Kami sama-sama berjanji untuk berusaha. Dan entah bagaimana, kami bertahan. Dua belas tahun. Waktu yang lama, bukan?

Dari pernikahan itu, aku diberi dua orang putra. Anak-anakku adalah alasan aku belajar tersenyum meski hati lelah. Mereka adalah alasan aku bertahan, bahkan ketika rumah tangga itu tidak lagi terasa seperti rumah.

Tapi hidup tidak pernah benar-benar sempurna.

Kehadiran orang ketiga menghancurkan segalanya. Bukan hanya kepercayaanku—tapi seluruh pondasi yang kubangun dengan sabar selama bertahun-tahun.

Aku ingin menyelesaikannya sendiri.

Aku ingin diam.

Aku ingin kuat sendirian.

Tapi sepupuku datang. Tanpa aba-aba. Tanpa izin. Dan akhirnya… dia tahu semuanya.

Dan aku tahu satu hal:

aku tidak pernah benar-benar bisa menyembunyikan apa pun darinya.

Kami tumbuh bersama.

Semua sifatku—bahkan yang tidak pernah kuakui pada diriku sendiri—dia tahu betul.

Dan mungkin… di titik itulah aku sadar.

Aku boleh kuat.

Aku boleh tenang.

Tapi aku tidak harus selalu sendirian.

 

*******

---

“Woi, Lif! Kamu melamun!” Lambaian tangan Anna tepat di depan wajahku membuatku tersentak.

“Enggak… mana ada, gue cuma ngantuk, bego,” aku buru-buru berkilah sambil mengangkat bahu.

Anna menatapku tajam, lalu senyum tipis muncul di bibirnya.

“Ngantuk? Lagi-lagi alasan klasikmu. Gue pikir lo udah dewasa, tapi ternyata tetap aja… bocah.”

Aku menatapnya gugup sebentar, lalu melirik ke arah Bian dan Ayyan yang sedang asyik bermain bola di halaman.

“Udahlah, gue mau main sama anak-anak lagi. Jangan melamun, nanti lo diculik pocong jomblo!” ucapku sambil berlari, tahu Anna pasti akan melempar pertanyaan yang nggak habis-habis.

Anna menghela napas, setengah tertawa, setengah kesal. Ia melangkah ke depan dan mengejar sebentar.

“Lif! Gue serius, jangan kabur mulu. Lo pikir bisa selamat begitu aja?”

Aku menunduk sedikit, pura-pura serius, tapi sebenarnya gugup karena Anna memang suka menjaga jarak kalau marah.

“Tenang, An… gue cuma… pengen bantu anak-anak aja.”

Bian yang melihat kami dari sisi lapangan, langsung berteriak,

“Om Lif, jangan kabur! Mama lagi ngejar lo!”

Ayyan menambahkan dengan wajah serius,

“Iya, Om! Kalau mama marah, nanti lo nggak boleh main bola sama kami!”

Aku mengangkat tangan sambil tertawa.

“Oke oke, gue pasrah deh. Tapi kalau kena bogem, kalian berdua tanggung jawab ya.”

Anna akhirnya berhenti beberapa langkah dari tempatku berdiri. Ia menatapku sambil tersenyum tipis, tapi matanya menyiratkan kewaspadaan.

“Gue kasih kesempatan lo satu… satu kesempatan aja. Kalau nggak, siap-siap deh disiram air sama Bian sama Ayyan.”

Aku tertawa geli, tapi hatiku hangat. Meski Anna tegas dan kadang nyebelin, aku suka melihat sisi protektifnya sama anak-anak. Chemistry antara kami memang selalu penuh “pertengkaran kecil” tapi mengalir alami.

Bian berlari ke arah kami sambil menendang bola, “Om, ayo main bareng! Mama, boleh kan?”

Anna menggeleng, sambil memegang tangan Ayyan yang baru saja mengejar bola,

“Enggak, kalian harus belajar sabar sama Om Lif. Dia suka kabur kalau main sama kalian.”

Aku menatap Anna, lalu tersenyum sambil mengangkat bahu.

“Yaudah, gue pasrah deh sama hukuman kalian.”

Ayyan menatapku dengan mata berbinar, “Om, serius mau main sama kami?”

“Serius! Tapi jangan salahin kalau nanti kalian kalah ya,” jawabku sambil mengambil posisi di lapangan.

Anna menatap kami dari jauh, tersenyum tipis. Aku tahu dia bangga sekaligus heran melihat kami bertiga—aku dan dua keponakan yang selalu ceria. Dan entah kenapa, di balik senyum tipis itu, aku bisa merasakan bahwa Anna percaya sama aku.

---

1
Dew666
🍭🔥
Ann: terimakasih banyak 🙏🙏🙏
total 1 replies
DEWI MULYANI
cerita sebagus ini kok gak ada yg baca sih
semangat thor
Ann: terimakasih 🙏🙏🙏
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!