Kalian semua adalah keluarga yang paling berarti dalam hidupku. Bersama kalian, aku merasa lengkap, aman dan dicintai. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan tapi satu hal yang pasti, aku akan selalu menyayangi kalian. Kalian adalah rumahku dan aku akan selalu kembali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moonlightaura09, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keraguan Dan Bayangan Masa Lalu
Tanpa disadari, benih - benih asmara mulai tumbuh di hati Alanz untuk Ayu. Meskipun usia mereka terpaut cukup jauh, kehadiran Ayu telah memberikan warna baru dalam hidupnya. Ia terpesona dengan kebijaksanaan, kelembutan dan ketulusan wanita itu. Sejak pertemuan tak terduga itu, Alanz tak henti - hentinya memikirkan Ayu.
Keesokan harinya, Alanz memutuskan untuk mengunjungi toko kue milik Ayu. Ia ingin melihat wanita itu lagi, sekaligus menebus kesalahannya atas kejadian kemarin. Alanz memborong berbagai macam bahan kue dalam jumlah banyak. Ia merasa bersalah karena telah membuat belanjaan Ayu hancur berantakan dan nalurinya mendorongnya untuk mengganti semua kerugian itu.
Saat Alanz tiba di toko kue, Ayu sedang sibuk melayani pelanggan. Alanz menunggu dengan sabar hingga Ayu selesai. Ketika Ayu melihat Alanz membawa begitu banyak belanjaan, ia terkejut bukan main.
Ayu : ( dengan nada heran ) Alanz? Apa yang kamu lakukan di sini? Dan kenapa membawa belanjaan sebanyak ini?
Alanz : ( tersenyum canggung ) Selamat pagi Ayu. Aku datang untuk mengganti belanjaan yang kemarin rusak karena aku. Maafkan aku ya.
Ayu : ( terdiam sejenak, lalu tertawa kecil ) Ya ampun, Alanz. Aku sudah melupakan kejadian itu. Kamu tidak perlu repot - repot seperti ini.
Alanz : ( sambil meletakkan belanjaan di meja ) Tidak apa - apa ayu. Aku merasa bersalah. Lagi pula aku senang bisa membantumu.
Ayu : ( menatap Alanz dengan tatapan lembut ) Terima kasih banyak, Alanz. Kamu baik sekali. Tapi, lain kali tidak perlu seperti ini ya. Aku jadi tidak enak.
Alanz : ( pinta dengan antusias ) Siap Ayu! Tapi, bolehkah aku membantumu di toko kue ini? Aku ingin belajar membuat kue darimu.
Ayu : ( tersenyum lebar ) Tentu saja boleh! Aku akan dengan senang hati mengajarimu. Kebetulan, aku sedang butuh bantuan. Selamat datang di dunia kue, Alanz!
Alanz merasa sangat senang mendengar jawaban Ayu. Ia tidak sabar untuk menghabiskan waktu bersama wanita itu di toko kue. Ia berharap dengan sering bertemu dan bekerja bersama, benih - benih asmara yang tumbuh di hatinya akan berbalas.
Di sisi lain, Ayu juga merasakan sesuatu yang berbeda saat bersama Alanz. Ia terkesan dengan ketulusan, semangat dan perhatian pria muda itu. Meskipun usia mereka terpaut jauh, Ayu merasa nyaman dan bahagia berada di dekat Alanz. Ia mulai bertanya - tanya, apakah mungkin ada cinta di antara mereka?
Namun, pikiran itu segera ditepisnya. Ayu menggelengkan kepala, berusaha mengenyahkan perasaan yang mulai tumbuh di hatinya. Ia tidak bisa mencintai lelaki muda itu. Ada tembok besar yang menghalanginya yaitu bayangan masa lalu yang kelam.
Ayu teringat pada anak perempuannya yang mungkin usianya tidak jauh dari Alanz. Ia tidak tahu di mana putrinya berada sekarang, bagaimana keadaannya, apakah ia masih hidup atau tidak. Rasa bersalah dan penyesalan menghantuinya setiap saat.
Sejak saat itu, Ayu terus mencari keberadaan putrinya, tetapi usahanya selalu menemui jalan buntu. Ia merasa gagal sebagai seorang ibu. Bagaimana mungkin ia bisa membuka hati untuk pria lain, jika ia belum menemukan putrinya?
Ayu merasa dilema. Di satu sisi, ia ingin merasakan kebahagiaan bersama Alanz. Di sisi lain, ia tidak bisa melupakan masa lalunya dan rasa tanggung jawabnya sebagai seorang ibu. Ia takut, jika ia menjalin hubungan dengan Alanz, ia akan semakin jauh dari putrinya.
Ayu memutuskan untuk menjaga jarak dengan Alanz. Ia tidak ingin memberikan harapan palsu kepada pria muda itu. Ia juga tidak ingin membebani Alanz dengan masalahnya di masa lalu.
Namun, semakin Ayu berusaha menjauhi Alanz, semakin kuat pula perasaannya terhadapnya. Ia menyadari, Alanz telah mengisi kekosongan di hatinya yang selama ini ia rasakan. Alanz telah memberikan warna baru dalam hidupnya yang kelabu.
Ayu semakin bingung. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Apakah ia harus mengikuti kata hatinya dan menerima cinta Alanz, ataukah ia harus tetap setia pada masa lalunya dan terus mencari putrinya?
Dalam kebingungannya, Ayu berdoa kepada Tuhan. Ia memohon petunjuk dan kekuatan untuk menghadapi dilema yang sedang ia alami. Ia berharap, suatu hari nanti ia akan menemukan jawaban yang tepat dan bisa meraih kebahagiaan yang sejati.
Seiring berjalannya waktu Ayu dan Alanz semakin dekat. Kebersamaan di toko kue membuat mereka semakin mengenal satu sama lain. Alanz semakin terpesona dengan Ayu, sementara Ayu semakin nyaman berada di dekat Alanz.
Alanz menyimpan harapan yang cukup besar untuk menjadikan Ayu seorang istri. Ia yakin, Ayu adalah wanita yang selama ini ia cari. Ia ingin menghabiskan sisa hidupnya bersama Ayu, membangun keluarga yang bahagia dan harmonis.
Namun, harapan Alanz berbanding terbalik dengan sikap Ayu. Wanita itu berusaha menjaga jarak dan menutup rapat - rapat hatinya. Ia tidak ingin memiliki perasaan yang lebih dalam kepada Alanz. Ia takut jika ia jatuh cinta pada Alanz, ia akan semakin sulit menemukan putrinya.
Ayu menyadari, Alanz adalah pria yang baik dan tulus. Ia tahu, Alanz mencintainya dengan sepenuh hati. Namun, ia tidak bisa membalas cinta Alanz. Ia merasa tidak pantas untuk dicintai, karena ia merasa gagal sebagai seorang ibu.
Setiap kali Alanz mencoba mendekatinya, Ayu selalu menghindar. Ia menciptakan berbagai alasan untuk menjauh dari Alanz. Ia tidak ingin memberikan harapan palsu kepada pria muda itu. Ia juga tidak ingin membebani Alanz dengan masalahnya di masa lalu.
...****************...
Toko kue itu adalah hasil kerja kerasnya, tempat di mana aroma manis kue dan roti berpadu dengan kehangatan senyum Ayu. Namun, ada satu hal yang sedikit mengganggu kedamaiannya, kunjungan rutin dari seorang pemuda bernama Alanz.
Alanz adalah pelanggan setia toko kue Ayu. Hampir setiap hari, ia datang untuk membeli beberapa potong kue atau sekadar menikmati secangkir kopi. Ayu selalu berusaha menghindarinya, bukan karena ia tidak menyukai Alanz, justru sebaliknya. Ia takut akan perasaannya sendiri. Alanz lebih muda darinya, dan Ayu merasa tidak pantas untuk memiliki perasaan lebih terhadapnya.
Suatu sore saat Alanz sedang memilih kue di etalase, Ayu tanpa sengaja menatap wajahnya. Tiba - tiba sebuah ingatan lama muncul di benaknya. Wajah Alanz sangat mirip dengan seseorang yang pernah sangat dekat dengannya suami dari sahabatnya yang sudah lama tidak ia jumpai.
Dengan memberanikan diri Ayu mencoba bertanya kepada Alanz.
Ayu : Alanz maaf jika ini lancang tapi kamu sangat mirip dengan seseorang yang aku kenal. Apa mungkin kamu memiliki hubungan keluarga dengan Jeon Jungkook?
Alanz : ( tampak bingung ) Jeon Jungkook?
Ayu : ( sedikit ragu ) Kalau tidak salah kamu sangat mirip dengannya.
Alanz : ( terkejut ) Kamu mengenal ayahku?
Ayu : ( semakin terkejut ) Jungkook adalah ayahmu? Apa... apa Jeon Jungkook itu ayahmu?
Alanz : ( menatap Ayu dengan rasa ingin tahu ) Iya, benar. Memangnya kenapa? Apa ada hubungannya dengan kamu?
Ayu : ( menarik napas dalam - dalam sebelum menjawab ) Jeon Jungkook adalah suami dari sahabatku.
Alanz : ( mengerutkan kening, mencoba mencerna informasi yang baru saja ia dengar ) Sahabat bunda? Apa... apa kamu Ayu sahabat ibuku?
Ayu : ( mengangguk pelan ) Iya. Apa ibumu bernama Anna?
Alanz : ( terdiam sejenak, wajahnya menunjukkan keterkejutan yang mendalam ) Tidak mungkin... Jadi, kalian ini...
Kalimat Alanz terhenti. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi, ia berbalik dan berlari keluar dari toko kue Ayu. Ayu hanya bisa terpaku, bingung dengan reaksi Alanz. Pertanyaan demi pertanyaan muncul di benaknya. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Alanz begitu terkejut? Dan apa hubungan antara dirinya, Alanz dan masa lalunya dengan Jungkook dan Anna?
Kejadian sore itu meninggalkan Ayu dengan perasaan campur aduk. Ia merasa penasaran, khawatir dan sedikit takut. Pertemuan tak terduga ini telah membuka kembali luka lama yang terkubur dalam - dalam. Ayu tahu, ia harus mencari tahu kebenaran di balik semua ini, meskipun itu berarti menghadapi masa lalunya kembali.
Setelah berlari keluar dari toko kue Ayu, Alanz segera masuk ke dalam mobilnya. Ia menyalakan mesin dan melaju dengan kecepatan tinggi, berusaha melarikan diri dari kebingungan dan kenyataan yang baru saja terungkap. Namun, secepat apa pun ia memacu kendaraannya, ia tidak bisa lari dari pikirannya sendiri.
Di balik semua Alanz merasakan hatinya hancur berkeping - keping. Bukan hanya karena ia mencintai Ayu, wanita yang ternyata adalah sahabat ibunya, tetapi juga karena dia ibu kandungnya Erni muncul di benaknya. Ia teringat akan Erni yang pernah ia cintai dalam diam.
"Tidak mungkin... ini tidak mungkin terjadi padaku," gumam Alanz, air mata mulai mengalir di pipinya. "Mengapa semua ini harus terjadi? Mengapa aku harus mencintai orang - orang yang seharusnya tidak aku cintai?"
Perasaan bersalah, malu dan putus asa bercampur aduk menjadi satu. Alanz merasa seolah - olah ia telah melakukan kesalahan besar, sesuatu yang tidak bisa dimaafkan. Ia membayangkan wajah Ayu, wajah Erni dan wajah ibunya. Ia merasa telah mengkhianati mereka semua.
"Aku tidak pantas mendapatkan kebahagiaan," bisik Alanz, suaranya bergetar. "Aku adalah orang yang jahat. Aku telah menyakiti orang - orang yang aku sayangi."
Alanz terus memacu mobilnya, tidak tahu ke mana ia harus pergi. Ia hanya ingin menjauh dari semua ini, menjauh dari kenyataan yang terlalu berat untuk ia tanggung. Namun, ia tahu bahwa melarikan diri bukanlah solusi. Ia harus menghadapi masalah ini, meskipun itu berarti menghadapi rasa sakit yang tak tertahankan.
Di tengah kehancuran hatinya, Alanz menyadari bahwa ia harus membuat pilihan. Ia harus memilih antara cintanya pada Ayu dan kesetiaannya pada ibunya. Ia harus memilih antara masa lalunya yang kelam dan masa depannya yang penuh dengan ketidakpastian. Pilihan itu tidak akan mudah, tetapi ia tahu bahwa ia harus melakukannya.
"Aku harus kuat," kata Alanz pada dirinya sendiri, mencoba menenangkan diri. "Aku harus mencari jalan keluar dari semua ini. Aku tidak bisa menyerah."
Alanz menepikan mobilnya di tepi pantai yang sepi. Ia keluar dari mobil dan berjalan mendekati bibir pantai, merasakan pasir dingin di bawah kakinya. Ombak laut berdebur dengan tenang, seolah mencoba menenangkan hatinya yang sedang bergejolak. Namun, suara ombak itu justru membuat Alanz semakin merenungi semua masalah yang menimpanya.
"Hidupku benar - benar sudah hancur," gumam Alanz, menatap kosong ke arah laut yang luas. "Mengapa semua ini harus terjadi padaku? Apa salahku?"
Masalah demi masalah muncul di benaknya, seperti ombak yang tak pernah berhenti menghantam pantai. Ia teringat pada Luna, mantan pacarnya yang tiba - tiba ingin kembali padanya setelah sekian lama berpisah. Ia juga teringat pada Gerson adiknya yang selalu ia sayangi dan lindungi.
"Gerson... mengapa kau harus melakukan ini padaku?" bisik Alanz, air mata kembali mengalir di pipinya. "Mengapa kau harus menduakan Rachel dan memilih Luna?"
Alanz merasa dikhianati oleh orang - orang yang paling ia percayai. Ia merasa sendirian dan tidak berdaya. Namun, masalah dengan Luna dan Gerson hanyalah sebagian kecil dari masalah yang lebih besar yang sedang ia hadapi.
Ia teringat pada masa lalunya yang kelam, masa lalu di mana ia mencintai Erni, adik bungsunya, meskipun ia tahu bahwa Erni bukanlah adik kandungnya. Ia juga teringat pada perasaannya terhadap Ayu, wanita yang ternyata adalah sahabat ibunya dan yang sekarang ia cintai dengan sepenuh hati.
"Mengapa aku harus mencintai orang - orang yang seharusnya tidak aku cintai?" tanya Alanz pada dirinya sendiri, suaranya bergetar. "Mengapa aku tidak bisa mencintai seseorang yang normal, seseorang yang tidak memiliki hubungan dengan hidupku?"
Alanz merasa seolah - olah ia telah dikutuk untuk mencintai orang - orang yang salah. Ia merasa seolah - olah ia tidak pantas mendapatkan kebahagiaan. Ia merasa seolah - olah ia ditakdirkan untuk hidup dalam kesedihan dan kesepian.
Di tengah keputusasaannya, Alanz berteriak sekuat tenaga, meluapkan semua emosi yang selama ini ia pendam. Teriakan itu bergema di sepanjang pantai, bercampur dengan suara ombak yang berdebur. Setelah berteriak, Alanz merasa sedikit lega, meskipun hatinya masih terasa sakit.
Ia duduk di atas pasir, menatap matahari yang mulai terbenam di pantai. Warna - warna oranye, merah dan ungu menghiasi langit, menciptakan pemandangan yang indah namun juga menyedihkan. Alanz merasa seolah - olah matahari itu adalah cerminan dari hidupnya, indah di luar, tetapi penuh dengan kegelapan di dalam.
"Apa yang harus aku lakukan?" tanya Alanz pada dirinya sendiri, suaranya lirih. "Bagaimana aku bisa keluar dari semua ini? Bagaimana aku bisa menemukan kebahagiaan?"
Alanz tidak tahu jawaban atas pertanyaan - pertanyaan itu. Ia hanya tahu bahwa ia harus terus berjuang, meskipun itu berarti menghadapi rasa sakit yang tak tertahankan. Ia harus mencari jalan keluar dari semua ini, meskipun itu berarti mengubah hidupnya secara drastis.
Di tepi pantai yang sepi itu, Alanz berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan menyerah. Ia akan terus berjuang, terus mencari dan terus berharap. Ia percaya bahwa suatu hari nanti, ia akan menemukan kebahagiaan yang selama ini ia cari.