Misda terpaksa harus bekerja di kota untuk mencukupi kebutuhan keluarga nya. Saat Dikota, mau tidak mau Misda menjadi LC di sebuah kafe. Singkat cerita karena godaan dari teman LC nya, Misda diajak ke orang pintar untuk memasang susuk untuk daya tarik dan pikat supaya Misda.
Bagaimana kisah selanjutnya? Ikuti cerita novelnya di SUSUK JALATUNDA
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Misda melangkah tergesa masuk ke kamar pasien, wajahnya sumringah dan penuh perhatian.
"Mas Wono, maaf aku baru datang. Kamu sudah lebih baik kan? Sudah makan belum? Aku bawa bubur ayam nih. Atau mau puding coklat? Aku suapin, ya?"
Suaranya riang, sambil mencoba menghidupkan suasana yang terasa berat. Di sudut kamar, Dona menatap tajam, keningnya berkerut membaca tingkah Misda yang begitu heboh dan manja itu. Matanya menyelidik, menebak sesuatu yang tak nyaman.
Sementara Wono hanya diam, menatap kosong ke arah Misda. Namun saat matanya tertuju pada bekas tanda merah di leher putih Misda, seketika wajahnya memucat dan ia cepat memalingkan muka, menahan sakit yang tersembunyi di dadanya. Dona menggigit bibir, bisikannya pecah dalam hening,
"Dia sudah habiskan malam bersama tamu itu... Demi uang itu, dia jual harga dirinya..." Rasa kecewa dan duka terasa tajam menoreh hati Wono yang tak mampu lagi berkata apa-apa.
Sebelum kecelakaan semalam, Wono sempat terlihat bermain-main dengan Misda, membawa tubuh kekasihnya itu pulang dari kafe tempat dia bekerja. Tapi, siapa wanita yang menemani Wono kalau bukan Misda?
"Mas Wono, ayo makan dulu. Kamu harus cepat sembuh," kata Misda lembut, membawa sendok berisi bubur ayam ke dekat mulut Wono. Tapi Wono menolak membuka mulutnya, matanya menyipit marah saat pandangannya tertuju pada bekas tanda merah di leher Misda, bekas ciuman yang jelas bukan dari dirinya.
Rasa curiga dan sakit hati itu seolah menguatkan ucapan Dona bahwa semalam Misda berkencan dengan tamunya di hotel. Misda melirik ke arah Dona, lalu mengangkat bahu tanpa kata. Dona pun memutuskan pergi meninggalkan mereka, menyisakan keheningan penuh ketegangan di ruangan itu.
Misda menatap Wono dengan mata penuh kebingungan. "Mas, kamu marah sama aku? Kenapa, sih?" suaranya bergetar, tak paham kesalahannya di mana.
Sambil meletakkan kembali mangkuk bubur ayam di meja, ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri menghadapi amarah Wono yang membara. Wono menatap tajam, suaranya keluar dengan nada menuduh,
"Kamu benar-benar habiskan malam kemarin sama pria hidung belang itu, tamu spesial kamu?" Misda terkekeh kecil, mencoba menahan kesal.
"Siapa? Tuan Dolphin?" jawabnya sinis. Wono mengerutkan kening, lalu senyumnya berubah menjadi sinis yang menusuk.
"Oh, pria itu namanya Dolphin ya?" Mata Misda menyipit, nada bicaranya makin menantang.
"Kenapa, Mas Wono cemburu? Lagipula itu memang bagian pekerjaanku sebagai pemandu di kafe karaoke. Kenapa Mas harus iri sama pelanggan kafe itu?" Wono mengangkat suara, amarah dan cemburu kian memenuhi dadanya.
"Tapi bukan berarti kamu harus melayaninya sampai ranjang!"
Mendengar itu, darah Misda mendidih. Tanpa kata, ia membalikkan badan dan meninggalkan kamar inap itu, langkahnya berat meninggalkan Wono yang masih menggenggam amarah dan cemburu yang dalam. Dona hanya bisa berdiri di sudut ruangan, wajahnya penuh kebingungan menghadapi keretakan sepasang kekasih itu.
"Tunggu, Misda!” Dona berlari, suaranya bergetar di tengah hembusan nafasnya yang mulai berat. Dia harus bicara, harus menyelesaikan ini sebelum Wono dan Misda semakin jauh. Misda terus melangkah, tatapannya tajam tapi penuh luka.
“Dia menganggap aku menjual diri pada Tuan Dolphin cuma demi uang. Mas Wono pikir aku berkencan sama tamu-tamu,” ucap Misda, nadanya getir sambil tanpa menoleh meninggalkan rumah sakit. Dona mengerutkan alis, hatinya ikut teriris mendengar tuduhan itu.
“Jadi, kamu sama Tuan Dolphin kemana? Bukannya kalian pernah... di kamar hotel dekat kafe karaoke tempat kita kerja?” suaranya jadi ragu, tapi keluarkan tuduhan itu juga. Misda berhenti sekejap, lalu menoleh dengan mata penuh perih,
“Jadi kamu anggap aku benar-benar menjual tubuh ke tamu-tamu juga?” Dona membeku, jantungnya tercekat.
“Yah, aku cuma... aku pikir apa yang kamu lakukan nggak beda jauh sama aku, Misda,” ucapnya, sambil garuk-garuk kepala yang sebenarnya tak gatal, malu karena kata-katanya melukai. Misda menghela napas panjang, lalu berlari menjauh, meninggalkan Dona yang terpaku, menyesal karena sudah menyampaikan sesuatu yang salah dan menyakitkan.
Dona mengernyit, matanya terus menelusuri bekas merah di leher Misda. "Kalau bukan karena menjual diri, kenapa bisa ada bekas ciuman?" pikirnya penuh kebingungan. Dalam hati, Dona bergumul.
"Mana mungkin Misda tahan godaan, apalagi tamu konglomerat itu ngasih uang segitu banyak untuk 'membeli' harga dirinya." Rasanya sesak di dada, antara ingin marah dan tidak percaya.
Tanpa pikir panjang, Dona langsung mengejar Misda yang baru saja berlari keluar dari rumah sakit dengan langkah terburu-buru. Ia harus tahu, apa sebenarnya yang terjadi tadi malam.
Sementara itu, di dalam kamar pasien, Wono terbaring dengan napas yang mulai stabil. Di sampingnya, seorang wanita duduk menunggu dengan tenang. Wanita itu berpostur mirip Misda, dan melihatnya, Wono menghela napas lega seolah ada beban yang terangkat dari dadanya. Namun, benarkah wanita itu Misda, sementara di luar sana Dona bergegas mengejarnya? Pertanyaan itu menggantung di udara, samar dan penuh tanda tanya.
Wono meraih tangan Misda yang terasa dingin di genggamannya. Matanya menatap tajam, seolah menahan gelombang cemas di dadanya.
"Misda, janji ya. Kamu nggak boleh menyerah ke pria-pria hidung belang itu. Kamu cuma milikku," ucap Wono pelan tapi tegas, suaranya bergetar menahan takut kehilangan. Misda menunduk, bibirnya bergetar sebelum mengangguk cepat, tak berani menatap balik. Wono tersenyum tipis, wajahnya melembut.
"Bagus. Jadilah kekasihku yang patuh, ya, sayang," ucapnya, tangan yang menggenggam tetap erat, seolah ingin memastikan janji itu benar-benar terpatri di hati.
Wono menarik napas panjang, merasakan tubuhnya sedikit lebih ringan dari kemarin. Rasa lelah di rumah sakit membuatnya ingin cepat-cepat pergi, menghirup udara bebas di rumah kontrakannya.
Malam itu, dengan bantuan wanita berwajah mirip Misda, ia menyelinap keluar, senyum tipis tersungging saat bayangan Misda mengisi pikirannya, meski tadi sempat meledak oleh amarah cemburu, kini hatinya tenang kembali.
Setibanya di kontrakan, suara air mengalir dari kamar mandi yang terhubung langsung ke kamarnya menarik perhatian. Wono berdiri di ambang pintu, matanya tak lepas dari sosok Misda yang basah oleh shower, tanpa sehelai benang pun membungkusnya.
Jantungnya berdetak kencang, menggantikan rasa sakit yang selama ini mengekang. Tanpa pikir panjang, ia melangkah mendekat, tangan dan hati sama-sama tak bisa menolak. Tubuhnya yang luka pun terlupakan saat gairah membara kembali menguasai mereka, dalam kehangatan yang tak terucapkan.
Wono menggigil, matanya penuh kecemasan saat tangannya terus berusaha menghangatkan tubuh Misda yang basah kuyup di bawah derasnya air pancuran kamar mandi.
"Misda, sayang… kenapa kamu serasa membeku begini?" bisiknya lirih, suara penuh kekhawatiran.
Tapi Misda hanya diam, tatapannya kosong, tanpa membalas sentuhan Wono. Tiba-tiba, tanpa sepatah kata, dia menggenggam lengan Wono dan membawanya masuk ke kamar, hingga mereka terperangkap dalam kehangatan ranjang yang mulai memunculkan gejolak.
Wono tersesat dalam hasrat dan sentuhan, tubuhnya membara menanggapi godaan wanita yang wajahnya mirip Misda itu.
Namun, gelombang itu tiba-tiba pecah saat pintu kamar terbuka lebar. Wono terhenti, napasnya tercekat melihat sosok lain berdiri di ambang pintu: Misda yang asli, wajahnya membatu dan mata membesar menatap adegan yang tak pernah ia bayangkan.
"Mas Wono! Apa yang kamu lakukan?!" suaranya pecah, gemetar penuh luka dan kecewa saat melihat kekasihnya terbaring di bawah tubuh nenek-nenek asing itu.
Wono membeku, tak mampu berkata-kata, dan Misda berdiri terpaku, mulutnya ternganga dalam diam yang penuh pengkhianatan.