NovelToon NovelToon
Kontrak Pacar Pura-Pura

Kontrak Pacar Pura-Pura

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Dijodohkan Orang Tua / Kekasih misterius / Perjodohan
Popularitas:253
Nilai: 5
Nama Author: SineenArena

Untuk menghindari perjodohan, mahasiswa populer bernama Juan menyewa Yuni, mahasiswi cerdas yang butuh uang, untuk menjadi pacar pura-puranya. Mereka membuat kontrak dengan aturan jelas, termasuk "dilarang baper". Namun, saat mereka terus berakting mesra di kampus dan di depan keluarga Juan, batas antara kepura-puraan dan perasaan nyata mulai kabur, memaksa mereka menghadapi cinta yang tidak ada dalam skenario.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SineenArena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 35: Proyek Kelompok Bersama (Medan Perang Baru)

Bab 35: Proyek Kelompok Bersama (Medan Perang Baru)

Jumat pagi yang kelabu.

Langit mendung menggantung di atas Gedung Fakultas Sastra, seolah ikut merasakan kesuraman hati Yuni.

Di dalam ruang kelas 304, atmosfernya lebih suram daripada cuaca di luar.

Mata kuliah "Kritik Sastra Pasca-Kolonial".

Mata kuliah wajib tingkat akhir yang terkenal sebagai "gerbang neraka" karena dosennya, Pak Burhan. Beliau adalah tipe akademisi tua yang kritis, pelit nilai, dan gemar mempermalukan mahasiswa yang tidak membaca materi.

Yuni duduk di barisan ketiga seperti biasa.

Mejanya penuh dengan buku catatan dan diktat tebal.

Di sebelahnya, kursi kosong.

Biasanya, ada tas Sarah di sana. Ada botol minum Sarah yang penuh stiker. Ada Sarah yang berbisik-bisik mengomentari baju dosen.

Tapi hari ini, kursi itu kosong melompong.

Sarah duduk di barisan depan. Barisan para ambisius.

Punggungnya tegak lurus, kaku. Rambutnya diikat kuda, memperlihatkan tengkuknya yang tegang.

Sejak insiden di koridor kemarin, Sarah belum bicara sepatah kata pun pada Yuni.

Dia hanya melihat sekilas saat Juan mengantar Yuni sampai depan pintu kelas tadi pagi—sebuah ritual baru yang memalukan sekaligus melegakan—lalu membuang muka seolah melihat sampah.

Yuni menatap punggung sahabatnya itu.

Rasa bersalah menggerogoti perutnya.

Dia tahu dia berutang penjelasan. Tapi dia tidak bisa menjelaskan tanpa membongkar kontrak. Tanpa menghancurkan segalanya.

"Oke, Mahasiswa sekalian," suara bariton Pak Burhan menggema di ruangan yang hening itu, memecah lamunan Yuni.

Beliau berdiri di depan podium, memegang kacamata bacanya dengan gaya khas.

"Untuk Ujian Tengah Semester kali ini, saya tidak akan memberikan ujian tulis. Saya bosan membaca esai kalian yang penuh copy-paste."

Semua orang bersorak pelan. Lega. Ujian tulis Pak Burhan terkenal mematikan.

"Jangan senang dulu," potong Pak Burhan tajam.

"Kalian akan mengerjakan Proyek Analisis Lapangan. Berkelompok."

Sorakan mati seketika. Digantikan erangan malas yang tertahan.

"Satu kelompok tiga orang. Harus ada presentasi, makalah akhir minimal 20 halaman, dan transkrip wawancara."

"Dan..." Pak Burhan tersenyum tipis. Senyum dosen yang menikmati penderitaan mahasiswanya.

"...kelompoknya sudah saya tentukan. Berdasarkan urutan absen. Tidak ada protes. Tidak ada tukar-menukar. Tidak ada drama 'Pak saya nggak cocok sama dia'."

Darah Yuni berdesir.

Absen.

Nama dia Yuni. Huruf Y. Absennya di bawah.

Nama Sarah... Sarah Amalia. Huruf S.

Absennya juga di bawah, dekat dengan Yuni karena urutan NIM mereka berdekatan.

Pak Burhan mulai membacakan nama-nama dari kertas di tangannya.

Satu per satu kelompok terbentuk.

Yuni menahan napas. Jantungnya berdegup kencang.

"Kelompok 7... Reza, Sinta, Tio."

"Kelompok 8," panggil Pak Burhan.

"Raka."

Mahasiswa cowok berambut gondrong di pojok belakang mengangkat tangan malas.

"Sarah Amalia."

Sarah mengangkat tangan.

"Dan... Yuni."

Hening.

Yuni merasa dunianya berhenti berputar sejenak.

Dia menatap punggung Sarah.

Punggung Sarah menegang jelas. Bahunya naik sedikit.

Raka, mahasiswa cowok yang cuek dan jarang masuk itu, menoleh ke belakang ke arah Yuni.

"Eh, Yun. Kita sekelompok," katanya santai sambil mengunyah permen karet. Dia tidak peduli drama. Dia cuma peduli nilai minimal B.

Yuni mengangguk kaku. "Iya, Rak."

Sarah tidak menoleh.

Dia hanya menulis sesuatu di buku catatannya. Penanya menekan kertas begitu keras hingga mungkin tembus ke halaman berikutnya.

Kelas berjalan lambat seperti siput.

Setelah satu jam yang menyiksa, Pak Burhan menutup kuliah.

"Silakan berkumpul per kelompok. Tentukan topik. Minggu depan proposal masuk."

Pak Burhan keluar.

Yuni membereskan bukunya dengan tangan gemetar.

Dia berjalan pelan ke meja Sarah.

Rasanya seperti berjalan menuju tiang gantungan.

"Hai, Sar," sapa Yuni pelan.

Sarah sedang memasukkan bukunya ke tas kanvasnya dengan gerakan kasar.

"Hai," jawabnya singkat. Datar. Tanpa menatap.

Raka datang membawa kursi, menyeretnya dengan bunyi berisik.

"Oke, Guys. Topiknya apa nih? Gue ngikut aja, yang penting lulus dan nggak ribet."

Sarah langsung mengambil alih.

"Kita bahas 'Hibriditas Budaya dalam Lingkungan Korporat' aja," kata Sarah cepat. Profesional.

"Gue udah punya bahan teorinya dari Homi K. Bhabha."

"Oke, sip. Kedengeran pinter," kata Raka. "Bagi tugas gimana?"

"Gue cari teori dan susun kerangka," kata Sarah.

Dia menatap Yuni akhirnya.

Tatapannya dingin. Seperti melihat orang asing di halte bus.

"Yuni cari data lapangan. Wawancara narasumber. Analisis kasus."

"Raka yang nyusun makalah, editing, dan print."

"Setuju?" tanya Sarah.

Yuni terdiam.

Mencari data lapangan dan wawancara itu bagian paling berat. Butuh waktu banyak di luar. Butuh koneksi. Butuh energi sosial.

Sedangkan Sarah mengambil bagian teori yang bisa dikerjakan di kamar kos sambil tiduran.

Ini hukuman.

Hukuman halus dari sahabat yang terluka. Sarah tahu Yuni sedang sibuk dengan "drama Juan", jadi dia memberinya tugas yang paling menyita waktu.

"Setuju?" ulang Sarah, nadanya menantang.

Yuni menelan ludah.

"Setuju," kata Yuni.

Dia tidak punya hak untuk protes. Dia yang bersalah di sini.

"Oke, deal," kata Raka senang karena tugasnya gampang (cuma jadi tukang ketik).

"Kita kumpul lagi Selasa depan buat progres. Di perpus. Jam 10."

Sarah berdiri.

Menyandang tasnya.

"Gue duluan. Ada urusan."

Dia berbalik dan berjalan pergi. Cepat.

"Sar!" panggil Yuni.

Sarah berhenti di ambang pintu.

"Bisa... kita ngobrol bentar? Di luar tugas?"

Sarah menoleh sedikit. Hanya profil wajahnya yang terlihat.

"Soal apa?"

"Soal... kita."

"Nggak ada 'kita', Yun," kata Sarah dingin.

"Yang ada cuma temen sekelompok. Profesional aja."

"Dan lo... pacar pangeran kampus. Kita beda dunia sekarang."

Dia pergi.

Meninggalkan Yuni yang mematung di antara meja-meja kosong.

Hatinya sakit. Lebih sakit daripada saat duri mawar menggores lengannya di vila.

Luka fisik bisa diobati Juan dengan antiseptik.

Luka persahabatan ini... tidak ada obatnya.

Raka menepuk bahu Yuni.

"Lagi berantem ya? Santai aja. Cewek emang gitu, entar juga baikan."

Yuni hanya tersenyum miris. "Duluan ya, Rak."

Dia keluar kelas dengan langkah gontai.

Di depan pintu kelas, bersandar di tembok koridor yang catnya mulai mengelupas, seseorang sedang menunggu.

Juan.

Dia memakai kemeja flanel kotak-kotak warna biru-hitam.

Celana jeans hitam.

Sepatu sneakers mahal tapi terlihat kasual.

Sama persis dengan gaya outfit Yuni hari ini (kemeja flanel merah-hitam).

Couple outfityang tidak disengaja (atau mungkin Juan sengaja beli setelah melihat baju Yuni tadi pagi).

Mahasiswa lain yang lewat senyum-senyum melihat mereka. Berbisik-bisik iri.

Juan si Bodyguard Setia.

"Gimana kelasnya?" tanya Juan ceria saat melihat Yuni.

"Buruk," jawab Yuni. Suaranya pecah.

Senyum Juan memudar. Dia menegakkan tubuhnya.

"Kenapa? Dosennya killer? Ada yang ganggu kamu?"

"Lebih parah. Aku sekelompok sama Sarah."

Juan terdiam.

Dia tahu masalahnya. Dia tahu betapa pentingnya Sarah bagi Yuni.

"Dan dia... masih marah?"

"Dia benci aku, Juan. Tatapannya... kosong. Dia kasih aku tugas paling berat buat hukum aku."

"Dan dia bilang nggak ada 'kita' lagi. Dia bilang kita beda dunia."

Yuni menunduk. Matanya panas.

Juan menghela napas panjang.

Dia tidak peduli dengan orang-orang yang lewat.

Dia menarik tangan Yuni. Menggenggamnya erat.

Menyalurkan kehangatan.

"Ayo makan dulu. Muka kamu pucat."

"Nggak nafsu."

"Harus makan. Nanti sakit lagi. Aku nggak mau gendong kamu ke UKS."

"Aku traktir bakso di kantin Sastra. Tempat kamu. Katanya baksonya enak."

Mereka berjalan ke kantin Sastra.

Sepanjang jalan, Juan diam. Berpikir keras.

Alisnya bertaut.

Sesampainya di kantin, mereka duduk di pojok.

Juan memesan dua mangkuk bakso urat.

"Yuni," panggil Juan saat mereka menunggu pesanan.

"Apa?" Yuni menopang dagu, menatap kosong ke arah jendela.

"Kamu butuh data lapangan kan buat tugas itu? Wawancara?"

"Iya. Wawancara tentang 'Hibriditas Budaya'. Susah."

"Wawancara siapa targetnya?"

"Orang-orang yang mengalami... benturan budaya. Adaptasi identitas di lingkungan baru."

Juan tersenyum miring.

Senyum licik ala pebisnis yang baru dapat ide brilian.

"Gampang."

"Gampang apanya? Susah nyari narasumber yang kredibel dan mau ngomong panjang lebar."

"Aku punya narasumber terbaik buat kamu. Kelas kakap."

"Siapa?"

"Ayahku," kata Juan santai.

Yuni berhenti bernapas. Matanya membelalak. "Hah?"

"Ayahku. Pak Adhitama."

"Dia orang Jawa totok yang harus adaptasi sama bisnis global Barat. Dia mimpin perusahaan multinasional."

"Dia definisi berjalan dari 'Hibriditas Budaya' dan 'Mimikri' yang kamu omongin itu."

"Kamu wawancara dia aja."

"Juan, kamu gila. Ayahmu sibuk. Dia CEO. Waktunya uang."

"Dia suka kamu, ingat? Dia terkesan sama analisis semikonduktor kamu kemarin."

"Kalau kamu minta wawancara buat tugas kuliah, dia pasti mau. Dia suka kelihatan pinter di depan mahasiswa. Itu ego orang tua."

"Dan..." Juan meremas tangan Yuni di atas meja.

Tatapannya intens.

"Kalau kamu berhasil wawancara Pak Adhitama secara eksklusif..."

"...Sarah pasti bakal kaget."

"Dan mungkin... dia bakal liat kalau hubungan kita ini ada gunanya buat dia juga. Buat masa depan akademisnya."

"Maksudnya?"

"Nilai A, Yuni. Nilai A mutlak dari Pak Burhan."

"Kalau kelompok kalian dapet narasumber sekelas CEO Adhitama Group, Pak Burhan—yang notabene pengamat sosial itu—pasti langsung kasih nilai sempurna."

"Dan Sarah... dia ambisius kan? Dia butuh nilai itu buat cumlaude."

"Ini cara kamu 'membeli' maaf Sarah. Bukan dengan uang."

"Tapi dengan akses."

"Dengan privilege yang aku punya. Gunakan itu."

Yuni menatap Juan.

Ide itu... brilian.

Sangat taktis.

Dan sangat... Juan.

Menyelesaikan masalah perasaan dengan strategi, negosiasi, dan keuntungan mutual.

Tapi mungkin... itu satu-satunya cara untuk meruntuhkan tembok es Sarah.

Menunjukkan bahwa Yuni masih peduli padanya, bahkan menggunakan koneksi barunya untuk membantu Sarah.

"Kamu yakin Ayahmu mau? Nggak ganggu?"

"Serahkan sama aku. Aku yang atur jadwalnya. Aku bilang ini demi 'pendidikan calon menantu'."

"Besok malam minggu. Makan malam di rumah lagi? Sekalian wawancara?"

Yuni menghela napas.

Kembali ke kandang singa. Demi Sarah.

"Oke."

"Demi nilai A."

"Dan demi Sarah."

Juan tersenyum lebar.

Mencubit pipi Yuni gemas.

"Nah gitu dong. Jangan sedih terus. Jelek."

"Sakit, ih!" Yuni menepis tangan Juan.

Tapi dia tersenyum.

Sedikit.

Di tengah kekacauan ini, Juan selalu punya solusi.

Meskipun solusinya selalu melibatkan skenario baru yang lebih rumit dan berisiko.

Tapi setidaknya... dia tidak sendirian menghadapi badai ini.

Bakso datang.

Uapnya mengepul hangat.

"Makan," perintah Juan. "Biar kuat ngadepin Sarah."

Yuni mengambil sendok.

Misi baru dimulai: Operasi Menangkan Kembali Sahabat.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!