1927. Ini kisah tentang seorang garwo ampil (istri selir) yang melahirkan anak yang tak boleh memanggilnya ibu.
Ini kisah tentang lebarnya jurang bangsawan dan rakyat kecil,
tapi bukan semata-mata tentang ningrat yang angkuh atau selir yang hina.
Ini kisah tentang perempuan yang kehilangan haknya di era kolonial, terbentur oleh adat dan terkungkung kuasa lelaki.
Ini kisah tentang bagaimana perempuan belajar bertahan dalam diam, karena di masa itu, menangis pun tak akan menggetarkan hati siapapun yang haus akan derajat.
Dilarang plagiat, mengambil sebagian scene atau mendaur ulangnya menjadi bentuk apapun. Apabila melihat novel serupa, tolong lapor ke IG/FB: @hayisaaaroon.
Novel ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyuarakan mereka yang dibungkam sejarah; perempuan-perempuan yang terkubur dalam catatan kaki, yang hidupnya ditentukan oleh kehendak patriarki yang mengatasnamakan adat, agama, dan negara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Laki-Laki Wayang
Pariyem tertawa pelan, tawa yang dibuat-buat, tapi terdengar natural. "Saya takut membuat Ndoro pusing. Ndoro pasti sudah lelah dengan urusan kadipaten."
Tangannya mengusap kantung mata Soedarsono yang menghitam dengan gerakan lembut penuh perhatian.
"Ndoro pasti sangat lelah dengan pernikahan kemarin. Saya datang, Ndoro ... tapi hanya melihat dari jauh. Tidak boleh masuk. Meriah sekali. Semua orang datang, bahkan pasar sampai sepi katanya."
Soedarsono menarik wajahnya dari ceruk leher Pariyem, alisnya terangkat. Tatapannya tajam, entah curiga atau hanya terkejut. "Mengapa kau ke sana?"
Pariyem tersenyum polos. "Saya merindukan Ndoro. Melihat dari jauh saja sudah cukup membuat saya senang. Meski tidak bisa masuk, setidaknya saya bisa melihat Ndoro baik-baik saja."
Soedarsono berdecak lidah, senyum muncul di bibirnya. "Itu acara tidak penting, Yem. Hanya ngunduh mantu—acara membawa istri baru ke kadipaten. Jamuan untuk pejabat Belanda dan ningrat lokal. Untuk apa kau menonton? Tidak ada yang bagus."
Dia menghela napas panjang. "Ini pesta biasa saja. Yang meriah justru di sana, di rumah ..." Dia hendak menyebut nama istri barunya, tapi menggantung.
"Di rumah apa, Ndoro?" tanya Pariyem dengan nada penasaran yang polos, padahal dalam hati.
"Sudahlah, tidak perlu dibicarakan. Tidak penting."
"Ndoro," Pariyem menarik tangan Soedarsono, menggenggamnya dengan lembut. "Ceritakan saja. Saya tidak akan cemburu. Saya sadar diri, Ndoro. Bisa dipangkuan Ndoro saja sudah seperti mimpi bagi saya. Siapa saya sampai harus cemburu? Saya hanya selir. Ndoro punya hak menikahi siapapun."
Soedarsono tersenyum hangat, menatap dengan sorot sayang. "Kau memang yang paling nerimo, Yem. Aku suka itu. Kau tidak menuntut perhatian. Tidak rewel seperti ... yang lain."
Dia tidak melanjutkan. Tidak perlu. Pariyem tahu, istri barunya pasti berbeda. Perempuan ningrat yang terbiasa dilayani, yang punya tuntutan tinggi, yang tidak sekeras Pariyem yang sudah terbiasa hidup susah.
Pariyem mulai memijat leher belakang Soedarsono dengan gerakan yang sangat terlatih. Jari-jarinya menekan titik-titik yang tepat, memutar dengan tekanan yang pas. Bahu Soedarsono langsung mengendur.
"Ndoro tampak lelah sekali," ucapnya pelan. "Apa yang terjadi? Cerita, Ndoro. Dengan bercerita, beban akan sedikit longgar. Saya memang tidak bisa membantu, tidak tahu politik, tapi saya bisa mendengarkan."
Soedarsono tersenyum lagi. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan.
"Aku ini mung wayang, Yem. Pecundang. Cuma di sini aku merasa bukan wayang."
Pariyem berhenti memijat sejenak, menatap wajah suaminya. "Ndoro jangan berkata begitu. Ndoro luar biasa di mata saya. Hebat. Laki-laki paling penting di kadipaten ini."
"Tidak, Yem. Itu kenyataan." Soedarsono menatap kosong, wajahnya berubah sendu. "Aku lelah sebenarnya di kadipaten. Ini saja mencuri waktu. Ada masalah dengan pembuatan tanggul baru di Kedung Wulan. Kalau tidak, mana mungkin Ibu memperbolehkan ke sini."
Pariyem mendengarkan dengan saksama, jari-jarinya kembali memijat sambil otaknya mencatat setiap detail.
"Seharusnya Patih yang mewakiliku meninjau. Tapi Patih tidak bisa menyelesaikan masalah. Warga masih tidak terima. Mulai melawan karena katanya pembayaran upah belum diberikan seluruhnya. Baru setengah. Bahkan mulai terjadi bentrok antara warga dengan opas yang mengamankan. Jika dibiarkan, perlawanan akan semakin meluas, bisa terjadi pemberontakan yang akan membahayakan stabilitas pemerintahan. Residen sudah mulai menegur. Aku tidak bisa tinggal diam meski seharusnya aku masih cuti menikah."
Dia mengepalkan tangan, frustrasi jelas terlihat di wajahnya. "Padahal laporan di kadipaten sudah jelas, upah sudah dibayar penuh. Sedang diselidiki sekarang. Pasti ada pejabat bawahan yang menahan uang itu. Praktik seperti itu mungkin sering terjadi dan rakyat hanya diam. Tapi lama-lama mereka juga lelah terus diperlakukan seperti itu."
"Lalu bagaimana Ndoro menyelesaikannya?" tanya Pariyem lembut.
"Aku yang harus turun langsung menenangkan mereka. Rakyat sangat menghormati para priyai, patuh dengan pemimpin lokal daripada perwakilan dari pemerintah kolonial. Mereka percaya padaku."
Soedarsono memeluk Pariyem erat, bersandar di bahunya dengan berat. Seperti anak kecil yang mencari pelukan ibu.
"Urusan cepat selesai dengan memberi sisa upah yang belum dibayar. Kutambal dari uangku sendiri, Yem. Aku diam-diam memberikannya, tanpa minta persetujuan Ibu. Kalau ibu tahu, pasti marah. Aku minta mereka merahasiakan ini."
Dia menarik napas lagi, lebih dalam. "Mungkin aku pemimpin tertinggi di kadipaten dalam susunan pemerintahan lokal, tapi aku hanya wayang, Yem. Ibulah bupati sebenarnya. Yang mengatur semua urusan atas namaku. Aku lelah. Tapi aku putranya, aku tidak bisa melawan Ibu."
Pariyem mengingat setiap detail itu. Tanggul baru di Kedung Wulan. Upah pekerja yang ditahan pejabat bawahan.
Soedarsono yang pakai uang sendiri tanpa persetujuan ibunya. Ibu yang mengontrol semua keputusan kadipaten.
Informasi berharga untuk Marius.
Tapi dia tidak menunjukkan antusiasme. Pijatannya tetap tenang, menenangkan semua ketegangan di bahu dan leher Soedarsono.
"Ndoro hebat di mata saya. Ndoro bahkan memberikan uang pribadi untuk menangkan warga," ucapnya pelan, penuh simpati, juga kagum. "Ndoro pasti bisa melewati ini semua. Ndoro sudah melewati banyak hal yang tidak mudah sampai di titik ini. Tidak mudah tentunya menjadi bupati, di satu sisi harus melakukan apa yang dituntut pemerintah kolonial, tapi di sisi lain Ndoro juga punya hati. Tidak tega pada rakyat kecil yang terus diperas."
Tangannya mengusap bahu Soedarsono dengan sayang. "Ndoro hebat. Ndoro harus kuat. Saya tidak mau Ndoro sakit ... seperti mendiang Kanjeng Gusti Soenarto."
Soedarsono mengangkat wajahnya, menatap Pariyem dengan senyum lelah. "Terima kasih, Yem. Asal ada kau, aku tidak akan sakit. Tanganmu ajaib. Pijatanmu obat mujarab. Senyummu obat termanis."
Pariyem tertawa, wajahnya memerah, bukan karena malu, tapi karena harus memaksakan ekspresi. "Ndoro ini selalu pintar berkata-kata, membuat saya selalu rindu."
Dia bangkit dari pangkuan Soedarsono, mengulurkan tangan dengan gerakan menggoda, matanya mengerling nakal.
"Mari, Ndoro. Saya pijat di tempat tidur. Ndoro harus benar-benar sehat. Jangan sampai seperti bupati sebelumnya."
Soedarsono menerima uluran tangan itu, bangkit dengan senyum yang sudah mulai lebih rileks.
Pariyem menariknya menuju kamar yang telah disiapkan, ke ruangan yang semerbak dengan wangi dupa cendana.
"Omong-omong, Ndoro," ucap Pariyem sambil membantu melepas beskap suaminya, tangannya bergerak dengan terlatih membuka kancing satu per satu. "Dulu Ndoro Gusti Soenarto meninggal karena sakit apa? Saya tidak menyangka ... cepat sekali, padahal masih muda. Dulu Ndoro sangat diam setelah kematian beliau, jadi saya tidak berani bertanya."
Soedarsono terdiam sejenak. Wajahnya berubah; senyum memudar, digantikan ekspresi yang sulit dibaca. Sedih? Atau ada yang lain?
"Kenapa tiba-tiba menanyakan itu?" tanyanya pelan.