NovelToon NovelToon
Hujan Di Istana Akira

Hujan Di Istana Akira

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Fantasi / Romansa Fantasi / Harem / Romansa / Dokter
Popularitas:402
Nilai: 5
Nama Author: latifa_ yadie

Seorang dokter muda bernama Mika dari dunia modern terseret ke masa lalu — ke sebuah kerajaan Jepang misterius abad ke-14 yang tak tercatat sejarah. Ia diselamatkan oleh Pangeran Akira, pewaris takhta yang berhati beku akibat masa lalu kelam.
Kehadiran Mika membawa perubahan besar: membuka luka lama, membangkitkan cinta yang terlarang, dan membongkar rahasia tentang asal-usul kerajaan dan perjalanan waktu itu sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon latifa_ yadie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dunia Tanpa Waktu

Sudah dua bulan sejak dunia berubah.

Langit kini terasa lebih luas, udara lebih hangat, dan setiap pagi terdengar nyanyian burung yang tak kukenal—mungkin spesies baru, lahir dari dua zaman yang bertemu.

Dunia baru ini... terasa seperti mimpi yang akhirnya jadi nyata.

Tapi aku tahu, di balik harmoni ini, masih ada sisa-sisa waktu yang berbisik.

Dan bisikan itu belum berhenti memanggil namaku.

Aku kini tinggal di tepi bukit, di rumah kecil yang menghadap ke lembah.

Dari sana, aku bisa melihat dua hal yang dulu mustahil bersatu:

kota modern dengan gedung kaca dan jalan bercahaya, dan di sebelahnya, istana tua yang tetap berdiri megah dikelilingi taman plum.

Keduanya hidup berdampingan—orang berpakaian kimono berjalan di trotoar, sementara mobil listrik melewati gerobak bambu tanpa saling terkejut.

Dunia ini tak lagi mengenal waktu.

Tak ada masa lalu atau masa depan—semuanya sekarang.

Akira bilang, “Mungkin ini bentuk surga yang diciptakan cinta manusia.”

Aku hanya tersenyum, karena di balik keindahan itu, aku bisa merasakan sesuatu yang lain: getaran halus dari dalam tanah, seperti detak jantung yang tidak sinkron.

Waktu memang sudah disatukan, tapi luka-lukanya belum sembuh.

Pagi itu, aku menemukan sesuatu aneh di halaman belakang rumah.

Tanah di bawah pohon plum terbelah sedikit, dan dari celah itu keluar cahaya biru lembut, berdenyut pelan.

Aku berlutut, menyentuh tanahnya.

Hangat.

Terlalu hangat untuk sinar pagi biasa.

Ketika aku menempelkan telapak tangan, kilasan cahaya muncul di depan mataku:

bayangan Akira berlari di medan perang, Reina menangis di altar waktu, Ryou memegang tanganku di bawah hujan.

Gambar-gambar itu datang cepat, seperti waktu mencoba mengingat dirinya sendiri.

Aku menarik tanganku cepat, napasku terengah.

“Tidak…”

Ini bukan hanya dunia yang bersatu. Ini waktu yang hidup—dan kini ia sedang mencari bentuk baru.

Siang harinya, Akira datang dari istana.

Dia masih memakai seragam penjaga kerajaan, tapi sekarang sabuknya terbuat dari bahan logam halus—campuran teknologi modern dan desain tradisional.

“Wajahmu pucat,” katanya, meletakkan pedang di samping meja. “Ada apa?”

Aku menunjuk halaman belakang. “Tanahnya… berdenyut.”

Dia menatapku, lalu berjalan keluar.

Ketika ia melihat celah itu, ekspresinya langsung berubah serius.

“Ini tidak baik,” katanya pelan. “Energi waktu masih aktif di bawah tanah.”

“Apa itu berbahaya?”

Dia mengangguk. “Kalau dibiarkan, ia bisa menciptakan anomali baru. Bayangan masa lalu bisa muncul lagi.”

Aku menatapnya khawatir. “Seperti Reina dan Riku?”

“Lebih buruk,” jawabnya. “Mereka bukan roh. Mereka adalah sisa dari dunia lama—fragmen waktu yang kehilangan tempat.”

Aku menggigit bibir. “Jadi kita harus menutupnya lagi?”

Akira menatapku lembut. “Kau tahu apa artinya itu. Kalau kita menutup waktu sepenuhnya, dunia ini akan membeku. Tak akan ada masa depan lagi.”

“Dan kalau kita biarkan?”

“Waktu akan menulis ulang dirinya tanpa kendali.”

Kami saling menatap lama.

Dunia baru ini mungkin lahir dari cinta kami, tapi ia masih rapuh seperti bayi yang belum tahu cara bernapas.

Malam itu, angin bertiup kencang.

Langit tak punya bintang, hanya cahaya samar dari kota di kejauhan.

Aku duduk di teras, mendengar suara ombak dari sungai yang kini mengalir lebih deras dari biasanya.

Akira datang membawa dua cangkir teh.

“Pernah terpikir kalau kita sebenarnya masih di antara waktu?” katanya tiba-tiba.

Aku menoleh. “Maksudmu?”

“Mungkin dunia ini bukan hasil akhir, tapi ruang penyangga—tempat waktu beristirahat sebelum mulai lagi.”

Aku diam lama. “Jadi… semua ini sementara?”

Dia mengangkat bahu. “Mungkin. Tapi bukan berarti tidak nyata.”

Aku memandangnya, lalu tertawa pelan. “Kau selalu punya cara menenangkan dengan kalimat yang aneh.”

Dia tersenyum kecil. “Kalau aku tidak menenangkanmu, siapa lagi?”

Kami tertawa bersama, tapi di balik tawa itu, aku tahu kami berdua sama-sama takut: takut kehilangan dunia ini seperti kehilangan dunia-dunia sebelumnya.

Beberapa hari kemudian, hal aneh mulai terjadi.

Jam di rumah berhenti di pukul 7:07, tapi matahari tetap bergerak.

Burung-burung terbang ke arah barat tanpa henti, seperti terjebak dalam pola yang sama.

Dan di malam hari, aku mulai mendengar langkah kaki di luar rumah—pelan, teratur, tapi tanpa bayangan.

Suatu malam, aku memberanikan diri keluar.

Kabut turun tebal, menutupi halaman belakang.

Di bawah pohon plum, aku melihat sosok wanita berdiri membelakangiku.

Rambutnya panjang, bajunya putih, tapi tubuhnya separuh transparan.

Aku mendekat pelan. “Reina?”

Dia menoleh. Tapi wajahnya bukan Reina.

Itu… aku sendiri.

Aku tertegun, nyaris tidak bisa bernapas.

Wajah yang sama, rambut yang sama, bahkan luka kecil di pipi kiriku sama persis.

Tapi mata sosok itu kosong, dingin, dan ketika ia bicara, suaranya seperti gema dari dalam air.

“Aku adalah bayanganmu dari waktu yang hilang.”

Aku mundur setapak. “Kenapa kau ada di sini?”

“Karena kau menolak menghapus masa lalu. Aku lah sisa dari pilihan yang tidak kau buat.”

Aku menggeleng keras. “Aku sudah memilih! Aku memilih dunia ini!”

“Tapi sebagian dari hatimu masih tertinggal di masa lalu. Dan waktu tidak bisa menanggung dua Mika sekaligus.”

Aku ingin menjawab, tapi angin berputar keras, membuat debu dan kelopak bunga berterbangan.

Bayangan itu melangkah maju, tubuhnya mulai padat.

“Jika dua diri hidup dalam satu waktu, dunia akan runtuh. Hanya satu dari kita yang bisa tetap ada.”

Sebelum aku sempat bereaksi, suara pedang berdesing memotong udara.

Akira muncul dari kabut, berdiri di antara kami.

“Jangan sentuh dia!”

Bayanganku menatapnya dingin. “Ah, sang pewaris waktu. Dunia ini lahir karena kalian. Sekarang waktunya kalian memilih siapa yang akan bertahan.”

Ia mengangkat tangannya, dan tiba-tiba seluruh halaman dipenuhi pantulan cahaya biru.

Bayangan itu membelah diri menjadi puluhan—setiap versi dari aku di masa lalu:

Mika dari dunia modern dengan seragam rumah sakit, Mika dari istana dengan kimono basah oleh hujan, bahkan Mika kecil yang menangis di tengah badai.

Mereka semua menatapku bersamaan, dengan satu pertanyaan yang sama di mata mereka:

“Kau yakin dunia ini pantas bertahan?”

Hatiku bergetar.

Suara mereka bergema seperti hujan di kaca.

Aku menutup telinga, tapi suara itu datang dari dalam kepalaku sendiri.

Akira menatapku cepat. “Mika! Fokus! Mereka cuma proyeksi waktu!”

Aku menjerit. “Tapi mereka… aku!”

Dia memegang bahuku. “Dengar aku. Waktu sedang mengujimu. Dunia ini hanya bisa bertahan kalau kau melepaskan versi lamamu.”

Aku menatap semua bayangan itu—semua rasa bersalah, kehilangan, cinta, dan takutku.

Lalu aku menatap Akira.

Matanya tenang, seolah berkata: kau tidak harus menjadi semua itu untuk tetap ada.

Aku menarik napas dalam, menutup mata.

Dan perlahan, aku berkata,

“Aku bukan masa lalu. Aku bukan masa depan. Aku adalah waktu yang hidup sekarang.”

Cahaya biru di sekitar kami mulai redup.

Satu per satu bayangan itu pudar, seperti kelopak bunga yang larut di sungai.

Hingga hanya tersisa aku… dan Akira.

Dia tersenyum, menurunkan pedangnya. “Kau berhasil.”

Aku memeluknya, seluruh tubuhku gemetar. “Aku hampir kehilangan diriku sendiri.”

Dia membalas pelukan itu erat. “Tidak. Kau baru saja menemukan dirimu yang sebenarnya.”

Pagi berikutnya, dunia kembali tenang.

Jam di rumah mulai bergerak lagi.

Burung-burung bernyanyi seperti biasa.

Dan di halaman belakang, tanah yang sempat berdenyut kini tertutup bunga plum putih.

Aku berdiri di sana lama, membiarkan angin pagi menyentuh wajahku.

“Dunia tanpa waktu,” bisikku, “bukan tempat tanpa masa lalu atau masa depan. Tapi tempat di mana aku belajar menerima semuanya.”

Dari kejauhan, Akira memanggilku.

“Hey, Penjaga Waktu! Kau mau sarapan atau menulis sejarah lagi?”

Aku tertawa, menatapnya. “Kali ini, biar sejarah menulis kita, ya.”

Dia tersenyum. “Setuju.”

Dan ketika aku berjalan ke arahnya, aku tahu—

waktu mungkin berhenti, tapi cinta kami terus bergerak.

Bukan untuk menembus masa lagi, tapi untuk hidup di dunia yang akhirnya bisa bernapas tanpa batas.

1
Luke fon Fabre
Waw, nggak bisa berhenti baca!
Aixaming
Nggak kebayang akhirnya. 🤔
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!