Tujuh belas tahun lalu, satu perjanjian berdarah mengikat dua keluarga dalam kutukan. Nadira dan Fellisya menandatangani kontrak dengan darahnya sendiri, dan sejak itu, kebahagiaan jadi hal yang mustahil diwariskan.
Kini, Keandra dan Kallista tumbuh dengan luka yang mereka tak pahami. Namun saat rahasia lama terkuak, mereka sadar… bukan cinta yang mengikat keluarga mereka, melainkan dosa yang belum ditebus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lautan Ungu_07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab:19 Mereka Norak
Satu per satu orang-orang pergi dari ruang makan. Hanya menyisakan Varel, Renata dan Nadira. Sunyi menggantung diantara mereka. Hanya bunyi sendok yang beradu dengan piring.
Renata duduk di ujung, tangannya sibuk mengaduk teh. Varel masih menghabiskan makananya. Sementara Nadira membaca laporan yang masuk melalui email nya.
Suasana tenang itu pecah saat Varel akhirnya mulai bicara.
"Oma, kita perlu omongin soal Alka." suara Varel pelan, tapi cukup tegas untuk membuat Nadira angkat wajah.
"Apa lagi?" Nadira menatapnya tajam. "Kalau soal dance itu, Oma nggak mau bahas. Jawabannya udah jelas."
Renata spontan nunduk, takut percikan konflik mengenai dirinya.
Varel berusaha menahan nada suaranya, agar tetap rendah. "Oma, Alka punya bakat nyata di bidang itu. Dia..."
"Bakat?" Nadira terkekeh. "Nari-nari nggak jelas itu kamu bilang bakat?"
Rahang Varel mengeras, ia menelan ludah. "Dia senang melakukannya. Dia seperti punya dunianya sendiri kalau dance."
"Itu cuma hobi, dan hobi... tidak menjamin masa depan." jawab Nadira dingin.
"Jadi... Oma mau masa depan Alka di urus sama kemauan, Oma? Bukan kemauan dirinya sendiri?"
"Varel..." suara Nadira meninggi. "Sudah berani kamu buka suara soal masalah ini? Bukannya dari dulu kamu nggak peduli sama dia?"
"Tapi sekarang dia udah dewasa. Harusnya biarin hidup dengan kemauannya." emosi Varel sempat hampir meledak. Tapi cepat-cepat Renata mengusap punggungnya.
"Kalau kamu masih ngeyel dengerin kemauan anak itu. Hak waris kamu Oma cabut."
Varel tak bisa lagi berkata jika sudah membahas hak waris. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal kuat. Lalu ia pergi meninggalkan ruang makan.
Renata langsung bangkit, menyusul suaminya. Tapi sayangnya, Varel sudah naik ke dalam mobil.
Renata berdiri terpaku di depan pintu. Ia menghela napas dalam.
"Semuanya demi harta... nggak ada yang bisa buka suara." gumam Renata.
"Sama halnya dengan kamu..." suara Nadira mengejutkannya. Membuat Renata sontak berbalik.
"Aku nggak!" jawab Renata tegas.
Nadira tertawa. "Buktinya, kamu mau bertahan sejauh ini. Dalam pernikahan yang nggak jelas statusnya."
"Tapi kami menikah atas dasar cinta sama cinta. Bukan harta?"
"Wanita bodoh! Kalau Varel emang cinta sama kamu. Nggak mungkin dia bertahan sejauh ini, demi mempertahankan warisannya."
"Karena Mas Varel ingin mengambil hak yang seharusnya jadi milik dia!" napas Renata memburu, tatapannya menusuk.
Mata Nadira semakin tajam, dadanya naik turun nahan emosi. "Semakin berani kamu ya!" tangannya menunjuk Renata.
Renata tertawa pelan. Ia memilih pergi dari hadapan Nadira. Karena percuma debat dengannya. Sesalah apapun Nadira, ia akan terus berusaha terlihat benar.
Di luar, cahaya matahari semakin menyengat. Tapi lapangan sekolah ramai dengan suara dan tawa anak-anak.
Di taman belakang sekolah. Alesha duduk di kursi rodanya, sementara Jehan berdiri di sampingnya. Bersandar pada pohon besar. Angin pelan menerbangkan daun-daun kering yang berserakan di atas rumput.
"Ciee, berduaan!" sahut Alka yang baru datang. Di belakangnya, Liona dan Lista mengekor.
"Minum nih, cuacanya panas." Alka memberikan es teh manis ke Alesha. "Jangan cemburu ya! Tugas gue cuma sementara, sampai dia sembuh." lanjut Alka, saat melihat tatapan tajam dari Jehan.
Jehan tersenyum miring. "Inget sama tanggung jawab. Jangan sampai melenceng kemana-mana." jawab Jehan.
"Aman bro! Gue punya cewek idaman juga kali." Alka nepuk bahu Jehan.
"Helehh... cewek idaman. Emang dianya suka sama, lo." sindir Liona sambil manyun.
Alka langsung noleh, nyentil jidat Liona pelan. "Suka atau nggaknya belakangan."
"Awhh, sakit tahu. Rasain nih!" Liona hendak balik nyentil. Tapi Alka keburu lari ke tengah halaman.
Lista tertawa pelan, duduk di bangku samping Alesha. "Kejar, Na! Kalau dapet gue bantu gebukin." teriaknya.
"Alkaa, berhenti nggak!" Liona terus berteriak sambil berlari kecil.
Di tengah aksi kejar-kejaran itu, tiba-tiba terdengar suara musik. Alka berhenti mendadak, mebuat Liona menabrak tubuhnya.
"Na..." Alka noleh ke Liona sambil tersenyum.
Alka berhenti beberapa detik, menghela napas dalam. Tubuhnya mulai bergerak, mengikuti irama musik yang masih berputar.
Liona tersenyum lebar, lalu mengikuti gerakan Alka. Di tengah halaman belakang sekolah. Keduanya dance, berhasil menarik perhatian siswa-siswi di sekitarnya.
"Lucu ya!" kata Jehan sambil narik pelan kursi roda Alesha.
"Biasa aja." Alesha mendelikkan bahu.
Dari samping kanannya, Lista langsung noleh. "Bagus banget, lo." sahut Lista sambil ngunyah makanan.
Jehan menatap Alesha dari samping. "Biasa aja tapi di lihatin."
Alesha cepat membuang muka. "Aku cuma... takut Liona jatuh. Lihat gerakannya."
Jehan hanya menahan senyum. Jelas-jelas alasan itu tak masuk akal. "Tapi, kamu nggak suka, kan? Kalau Liona terlalu deket sama Alka."
Alesha tertawa hambar. "Aku udah punya kamu, buat apa cemburu."
Jehan meneliti wajah pacarnya itu lama. "Aku nggak bilang kamu cemburu... kamu sendiri yang bilang."
Alesha terdiam, mati kutu. Hatinya seperti di telanjangi. Ia menelan ludah keras, lalu membuang muka lagi.
Jehan kembali bersandar pada pohon. Memperhatikan gerakan Alka. Bukan hanya gerakan, tapin hampir semuanya.
"Lo suka sama Alka?" tanya Lista tiba-tiba.
Alesha noleh sebentar, memutar bola matanya jengah. "Ngada-ngada ya lo. Siapa yang suka sama dia."
Lista tertawa keras. "Bercanda, nggak usah marah gitu dong!"
Alesha nunduk, tangannya mengepal halus di pangkuan.
Di tengah halaman sana, Alka dan Liona berhenti dance. Merasa sudah menjadi pusat perhatian, keduanya berlari menghampiri Lista.
"Lahh, kok udahan? Lagi dong!"
"Bagus banget. Udah cocok jadi couple."
Suara beberapa teman-teman terdengar jelas. Sebagiannya hanya samar, bahkan Alka tak mau mendengar.
"Kenapa udahan?" tanya Lista.
Alka meraih botol minum, napasnya masih ngos-ngosan. "Haus gue, Ta." jawabnya sambil membuka tutup botol.
Ia duduk di atas rumput, di hadapan Alesha dan Lista. Tak lama, Liona ambruk di samping Alka.
"Gue juga haus, Ka." tangannya meraih air mineral milik Alka.
"Enak aja, ini punya gue." Alka mengambil kembali minumannya.
"Pelit, lo. Gue punya makanan. Awas aja kalau minta." Liona bangun dari duduknya. Ngambil cilok yang tadi ia beli di kantin.
Dengan hati-hati, Liona menusuk satu cilok, meniupnya lembut. Tangan Alka hendak mengambil cilok itu, tapi Liona segera memukulnya. "Awas panas, bego!" katanya sambil tertawa.
Tak lama, Alka langsung mangap lebar. "Aaaa... silahkan di suapin nona manis!"
Liona mendengus, tapi pipinya agak merah, ia memasukan cilok itu ke mulut Alka yang masih terbuka lebar.
Alka langsung ngunyah sambil mengangguk. "Hmm... enak banget, kayak hati kamu yang lembut." goda Alka, sebelah matanya ikut berkedip.
Refleks Liona mukul bahunya pelan. "Makan aja, nggak usah banyak tingkah."
"Bilang aja lo salah tingkah," jawab Alka cepat. Ia membuka lagi mulutnya lebar, menunggu suapan kedua.
"Salah tempat gue, malah jadi nyamuk." sindir Lista yang duduk di bangku.
Alka dan Liona sedikit mendongak menatapnya. "Lo juga mau gue suapin, Ta?" tanya Liona.
Lista menggeleng. "Nggak! Gue bisa sendiri."
"Aesh, kenapa lo cuma bengong? Mau di suapin juga? Atau mau sama gue di suapinnya?" kali ini Alka noleh ke Alesha.
Alesha hanya menggeleng, wajahnya cemberut. Tapi Alka tak menghiraukannya, ia kembali membuka mulut, menunggu suapan berikutnya dari Liona.
Jari-jari Alesha saling menggenggam erat di pangkuannya. Ada panas yang tiba-tiba menjalar ke dalam dada. Tapi ia pura-pura nggak peduli.
"Gue sama Aesh ke kelas duluan ya! Lama-lama panas juga di sini!" pamit Jehan sambil mendorong kursi roda Alesha.
"Panas atau cemburu?" teriak Lista yang di susul oleh tawanya.
"Enak aja..." sahut Jehan yang udah mulai jauh.
Mereka tak menghiraukannya lagi. Ketiganya sibuk dengan makannya.
Di koridor menuju kelas, Jehan berhenti sebentar.
"Cilok aja sampai di suapin," gumam Jehan.
Alesha berdehem pelan. "Mereka norak," katanya datar.
Jehan jongkok di hadapannya, menatap wajah Alesha. "Kamu nggak suka?"
"Nggak juga," jawab Alesha terlalu cepat, terlalu defensif.
Jehan tersenyum miring. "Sorot mata kamu bilang lain."
Alesha diam. Pandangannya mengunci wajah Jehan.
Jehan mendekatkan wajahnya. "Jangan bikin aku ngerasa kalah dari dia juga. Kamu inget kan, kenapa dia harus ada di hidup kamu?"
Jehan kembali berdiri. "Aku harap kamu selalu ingat. Dia cuma menjalankan tanggung jawabnya." ia kembali mendorong kursi roda Alesha.
Alesha kini sadar, Jehan juga cemburu. Ia nunduk pelan, bibirnya terkatup. Rasa tak enak itu masih nempel, semakin kuat.