Jhonatan Wijaya, seorang Kapten TNI yang dikenal kaku dan dingin, menyimpan rahasia tentang cinta pandangan pertamanya. Sembilan tahun lalu, ia bertemu dengan seorang gadis di sebuah acara Akmil dan langsung jatuh cinta, namun kehilangan jejaknya. Pencariannya selama bertahun-tahun sia-sia, dan ia pasrah.
Hidup Jhonatan kembali bergejolak saat ia bertemu kembali dengan gadis itu di rumah sahabatnya, Alvino Alfarisi, di sebuah batalyon di Jakarta. Gadis itu adalah Aresa, sepupu Alvino, seorang ahli telemetri dengan bayaran puluhan miliar yang kini ingin membangun bisnis kafe. Aresa, yang sama sekali tidak mengenal Jhonatan, terkejut dengan tatapan intensnya dan berusaha menghindar.
Jhonatan, yang telah menemukan takdirnya, tidak menyerah. Ia menggunakan dalih bisnis kafe untuk mendekati Aresa. Ketegangan memuncak saat mereka bertemu kembali. Aresa yang profesional dan dingin, berhadapan dengan Jhonatan yang tenang namun penuh dominasi. Dan kisah mereka berlanjut secara tak terduga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keipouloe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Hari mulai gelap. Pemandangan di luar jendela bus perlahan berubah menjadi deretan pohon kelapa dan sawah yang diselimuti kabut senja. Inilah Banjarnegara, sebuah kabupaten di Jawa Tengah yang jauh dari hiruk pikuk Jakarta. Wilayah ini dikenal dengan suasana pedesaan yang asri, udara yang dingin, dan ketenangannya.
Waktu menunjukkan pukul 7 malam ketika bus akhirnya berhenti di terminal Banjarnegara. Aresa langsung turun membawa ranselnya. Tapi sial, ponselnya mati kehabisan daya. Ia belum mengabari orang tuanya di rumah.
Di kota kecil seperti ini, mencari angkutan umum saat malam hari hampir mustahil. Akhirnya Aresa duduk di kursi halte, Perasaannya mulai gusar.
****
Di seberang jalan, Jhonatan mengamati dari balik kemudi mobilnya. Sudah hampir sepuluh menit dia sendirian di sana. Gelap begini, bahaya, pikir Jhonatan. Ia tidak berani langsung menghampiri Aresa, masih menunggu sinyal dari Alvino. Tapi, setelah menunggu beberapa menit lagi, ia melihat Aresa masih duduk di halte seperti orang kebingungan, Nalurinya sebagai pelindung tidak bisa diam.
Jhonatan memacu mobilnya pelan ke pinggir halte.
"Res," panggil Jhonatan, membuka kaca mobil.
Aresa mendongak. "Iya, Kapten."
"Kok masih di sini? Saya lihat dari tadi. Sudah gelap begini," tanya Jhonatan, pura-pura tidak tahu masalahnya.
"Iya, saya lupa mengabari orang rumah. Ponsel saya mati total," keluh Aresa, merasa bodoh. "Angkutan juga sudah tidak ada."
"Ya sudah. Tidak ada alasan untuk tetap di sini. Ayo masuk, bareng saya," Jhonatan memerintah.
Aresa ragu-ragu. "Loh, memang Kapten mau ke rumah saya? Apa tidak merepotkan?"
"Tidak. Saya juga akan menginap di rumah Bapak kamu, sesuai rencana Alvino. Kamu nggak usah khawatir kalau ada yang curiga kamu pulang dengan saya. itu urusan saya. Saya yang akan jelaskan." Jhonatan menatap Aresa lurus. "Apa kamu mau menunggu sampai besok pagi di halte?"
"Eee... enggak, Kap. Saya ingin pulang sekarang," ujar Aresa, akhirnya menyerah pada keadaan.
"Ya sudah, ayo masuk," Jhonatan membukakan kunci pintu penumpang.
Di dalam mobil, keheningan sempat menyelimuti. "Anda sudah tahu alamatnya, kan?" tanya Aresa memecah keheningan.
"Sudah. Kemarin Alvino sudah mengirim lokasinya," jawab Jhonatan.
"Maaf, Kapten, kalau saya tadi terkesan sewot," kata Aresa pelan. "Hanya saja... saya sedikit paranoid karena merasa diawasi terus."
Jhonatan tersenyum. "Saya maklum. Tapi terima kasih sudah mau ikut. Setidaknya saya tidak perlu khawatir kamu tidur di halte."
"Saya hanya tidak mau merepotkan," balas Aresa. Mereka kembali dalam keheningan hingga tak sadar mobil Jhonatan sudah berhenti di depan rumah orang tua Aresa. Rumah yang sangat dirindukan Aresa.
****
Rumah sederhana, namun sangat luas karena berada di kompleks pondok pesantren. Letaknya di sebuah kecamatan kecil, sedikit jauh dari pusat kota, tetapi suasananya asri dan tenang luar biasa.
"Mari, Kapten. Sudah sampai," ajak Aresa, bergegas turun.
Jhonatan turun, mengagumi suasana damai rumah itu. "Terima kasih, Res."
Mereka sampai di depan pintu. Aresa langsung mengetuk pintu dan mengucap salam. "Assalamualaikum, Pak, Bu."
Tak ada sahutan. Aresa baru sadar, ini adalah waktu salat Isya. Orang tuanya mungkin sedang berada di masjid.
Jhonatan yang berdiri di belakangnya heran. "Kenapa, Res? Enggak ada orang?"
"Mungkin sedang di masjid, Kapt. Ini waktunya Isya," jawab Aresa.
Jhonatan mengangguk. "Ya sudah sini, duduk aja. Saya juga capek banget habis menyetir belasan jam," katanya, tanpa canggung duduk lesehan di lantai teras.
Aresa ikut duduk di sampingnya. "Saya juga capek, Kapt. Perjalanan naik bus memang lebih berat."
"Harusnya kamu naik kereta aja biar cepat," sindir Jhonatan.
Aresa langsung menyahut, sedikit sewot. "Saya naik bus juga gara-gara Kapten, ya!"
"Loh, kok gara-gara saya?" Jhonatan terkekeh.
"Iya, Kapten, sih, bawa-bawa saya buat nolak perjodohan Anda! Cewek yang Anda tolak itu jadi nggak terima kan, jadi dia seperti berusaha melenyapkan saya," sungut Aresa.
Jhonatan terkekeh. Tawa itu tulus, tawa yang baru pertama kali didengar Aresa. Tanpa sadar, tangan Jhonatan merangkul pundak Aresa yang duduk di sampingnya, seperti seorang kawan lama. Aresa sendiri kaget dengan tawa Jhonatan sehingga tidak menyadari rangkulan itu.
Tiba-tiba, suara deheman yang tajam memecah keheningan. "Ehem!"
Di belakang mereka, sudah berdiri Adnan (Bapak Aresa), yang baru pulang dari masjid, sorot matanya yang tajam mengunci ke arah Jhonatan.
"Enak sekali rangkul-rangkulan di depan rumah orang," kata Adnan, nadanya dingin dan menusuk.
Aresa tersadar, langsung menyingkirkan tangan Jhonatan dari pundaknya. "Eh, enggak, Pak! Enggak gitu!"
"Terus, apa itu?" tanya Adnan menuntut.
"Ih, Bapak!" rengek Aresa, malu.
"Sudah! Masuk! Ajak laki-laki itu masuk juga!" perintah Adnan, melirik tajam ke Jhonatan.
Di ruang tamu, Adnan duduk di kursi tunggal. Jhonatan duduk di kursi panjang, sementara Aresa memilih duduk di sampingnya.
Adnan memulai interogasi. "Kamu siapa?"
"Saya Jhonatan, Pak. Saya sahabat Alvino yang akan ikut membuat bisnis kafe di sini." jawab Jhonatan, memperkenalkan diri dengan sopan.
"Kamu juga seorang prajurit.?" tanya Adnan sambil menatap tajam Jhonatan.
"Iya pak, saya bertugas di batalyon yang sama dengan vino" jawab Jhonatan.
"Oh, ya. Saya lupa, kemarin Vino sudah bilang ke saya. Kamu bisa menginap di sini, tapi ingat," jeda Adnan, tatapannya menghunus. "Jangan pernah macam-macam dengan putri saya!"
Aresa menyela. "Macam-macam apa sih, Pak?"
"Diam kamu, Nduk! Sana ke kamar dulu, bersih-bersih!"
Aresa bangkit, menyeret langkahnya ke kamar di lantai 2, meninggalkan dua pria itu dalam keheningan yang mencekam.
****
Di ruang tamu, keadaan menjadi sangat hening. Adnan Alfarisi, mantan polisi yang memiliki insting setajam elang, menatap Jhonatan lurus.
"Saya tahu arti dari sorot mata kamu," kata Adnan pelan, menusuk tanpa ampun.
Jhonatan mati kutu. "Saya... saya minta maaf pak"
"Saya tidak pernah melarang putri saya berhubungan dengan laki-laki, asal laki-laki itu baik dan tidak macam-macam," lanjut Adnan. "Tapi saya mohon, jangan sekarang. Saya melihat kamu membawa masalah, dan kamu adalah orang dari dunia yang rumit."
Adnan melembutkan suara sedikit. "Saya masih ingin melihat dia berhasil meraih cita-citanya, puas dengan masa mudanya. Putri saya terlalu berharga untuk menjadi pelarian atau drama orang lain. Kamu seorang prajurit yang baik nak, tapi beri dia waktu."
Jhonatan mengangguk, menunduk penuh hormat. "Saya paham sekali, Pak. Saya janji akan menghormati batasan Bapak."
"Silakan kamu istirahat. Kamar tamu ada di lantai atas. Sudah ada tulisannya di pintu. Kamu masuk saja dan beristirahat."
"Iya, Pak. Terima kasih. Saya izin ke atas," Jhonatan bergegas membawa ranselnya, merasa lega namun juga tertampar oleh kebijaksanaan Ayah Aresa.
yu kak saling sapa mampir beri dukungN ke karyaku juga