NovelToon NovelToon
Belenggu Ratu Mafia

Belenggu Ratu Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Romansa Fantasi / Roman-Angst Mafia / Persaingan Mafia / Fantasi Wanita / Dark Romance
Popularitas:239
Nilai: 5
Nama Author: Mr. Nanas

Isabella bersandar dengan anggun di kursinya, tatapannya kini tak lagi fokus pada steak di atas meja, melainkan sepenuhnya pada pria di hadapannya. Ia menguncinya dengan tatapannya, seolah sedang menguliti lapisan demi lapisan jiwanya.

"Marco," panggil Isabella, suaranya masih tenang namun kini mengandung nada finalitas absolut yang membuat bulu kuduk merinding.

"Ya, Bos?"

Isabella mengibaskan tangannya ke arah piring dengan gerakan meremehkan.

"Lupakan steaknya."

Ia berhenti sejenak, membiarkan perintah itu menggantung, memperpanjang siksaan di ruangan itu. Matanya yang gelap menelusuri wajah Leo, dari rambutnya yang sedikit berantakan hingga garis rahangnya yang tegas.

"Bawa kokinya padaku. Besok pagi."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Nanas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Menantang Gunung

Nama itu menggantung di udara ruang perang yang dingin seperti vonis. Jenderal Purnawirawan Soeharto. Itu bukan sekadar nama. Itu adalah sebuah institusi, sebuah legenda yang terukir di dalam fondasi bangsa. Nama yang diasosiasikan dengan kekuatan, stabilitas, dan rasa hormat yang nyaris seperti pemujaan. Bagi kebanyakan orang, ia adalah pahlawan. Bagi Leo dan Isabella, nama itu kini adalah personifikasi dari laba-laba yang tak terlihat, yang telah menenun jaringnya di setiap sudut kekuasaan negara.

Kemenangan mereka atas Viktor Rostova, perburuan mereka terhadap Jäger, bahkan skakmat mereka terhadap Detektif Hartono, semuanya kini terasa seperti permainan anak-anak. Itu adalah pertarungan di dalam kandang pasir. Sekarang, mereka baru saja menyadari bahwa kandang pasir itu berada di dalam bayangan sebuah gunung berapi yang aktif dan sedang mengamati mereka.

Reaksi pertama di ruangan itu adalah keheningan yang penuh dengan ketakutan. Marco, pria yang tidak takut menghadapi selusin preman bersenjata, kini tampak kecil. Ia pernah melihat sang Jenderal di televisi, di acara-acara kenegaraan. Gagasan untuk melawannya sama absurdnya dengan mencoba meninju sebuah tank. Bianca menatap layar datanya, tetapi untuk pertama kalinya, ia tampak tidak yakin. "Orang ini... jejak digitalnya tidak ada," bisiknya. "Dia hantu di dunia nyata. Dia tidak punya media sosial, komunikasi resminya melalui ajudan militer, aset keuangannya tersembunyi di balik lapisan-lapisan kerahasiaan negara."

Hanya Pak Tirta yang tidak tampak terkejut. Wajahnya yang berkerut mengeras, matanya menatap ke kejauhan, seolah sedang mengingat sesuatu dari masa lalunya yang kelam. "Aku pernah bertemu dengannya sekali," katanya pelan, suaranya menarik perhatian semua orang. "Puluhan tahun yang lalu, saat aku masih seorang kapten muda di unit operasi khusus. Dia masih seorang kolonel, tapi auranya... sudah seperti seorang raja. Dia tidak berbicara banyak, tapi saat dia berbicara, jenderal-jenderal lain mendengarkan. Dia adalah tipe orang yang bisa memerintahkan matahari untuk tidak terbit, dan matahari akan berpikir dua kali." Pak Tirta menatap Leo. "Ini bukan lagi perang melawan organisasi kriminal, Nak. Ini perang melawan sebuah ideologi. Ideologi bahwa stabilitas negara lebih penting daripada hukum itu sendiri."

Isabella, yang tadinya terguncang oleh wahyu tentang Hartono, kini merasakan sesuatu yang lain. Bukan ketakutan, melainkan sebuah kemarahan yang luar biasa. Selama ini ia mengira dirinya adalah Ratu Jakarta. Ternyata ia hanyalah seorang gubernur boneka di sebuah provinsi kecil, yang diizinkan bermain selama permainannya tidak mengganggu para dewa di atas. Harga dirinya sebagai seorang penguasa terluka parah.

Di tengah atmosfer yang berat itu, Leo adalah satu-satunya yang tetap tenang. Ia berjalan ke meja holografik, menepis semua diagram tentang Viktor dan Jäger, dan menampilkan satu foto besar Jenderal Soeharto di tengah ruangan. "Dia adalah target kita sekarang," katanya, suaranya datar dan tanpa emosi, memotong keraguan mereka.

"Bagaimana kita melawan seseorang seperti itu, Leo?" tanya Isabella, suaranya mengandung keraguan yang tulus. "Dia bukan Viktor yang bisa kita permainkan egonya. Dia bukan Jäger yang bisa kita jebak dengan kesombongannya."

"Benar," kata Leo. "Jadi kita tidak melawannya. Kita melucutinya." Ia menatap wajah sang Jenderal di layar. "Gunung tidak bisa dilawan dengan kekuatan. Kekuatanmu akan hancur berkeping-keping di lerengnya yang kokoh. Gunung diruntuhkan dengan cara lain. Dengan mencari retakan di fondasinya, sekecil apapun itu. Dengan menanam dinamit di dalam retakan itu. Dan dengan menyalakannya dari jarak yang aman, lalu menyaksikan gunung itu runtuh karena bebannya sendiri."

Kata-kata itu mengubah energi di ruangan itu. Ketakutan digantikan oleh fokus yang tajam. Mereka memiliki seorang Alkemis. Dan Alkemis ini baru saja memberi mereka sebuah resep.

Langkah pertama adalah memahami gunung itu. Mereka mengadakan pertemuan rahasia pertama mereka dengan Detektif Adrian Hartono. Pertemuan itu canggung dan penuh ketegangan. Hartono, yang kini menjadi agen ganda mereka, tampak seperti seorang pria yang jiwanya telah terjual. Tapi ia menepati janjinya.

Di sebuah safe house yang remang-remang, ia memberikan briefing yang mengerikan. "Kalian harus mengerti," katanya, "Soeharto tidak melihat dirinya sebagai penjahat. Di dalam benaknya, dia adalah seorang patriot. Dia percaya bahwa demokrasi itu berisik, korupsi politik itu tak terhindarkan, dan cara terbaik untuk menjaga Indonesia tetap stabil dan kuat adalah dengan adanya sebuah tangan besi yang tak terlihat di belakang layar. Itulah The Synod."

Ia menjelaskan bagaimana Soeharto menggunakan unit "hantu" intelijennya untuk tujuan-tujuannya. Mereka tidak hanya mengelola dunia bawah tanah. Mereka menyabotase kesepakatan bisnis yang dianggap "tidak nasionalis", mengintimidasi politisi yang terlalu vokal, bahkan mengatur "kecelakaan" bagi para jurnalis yang terlalu dekat dengan kebenaran. Semuanya dilakukan di bawah panji "stabilitas nasional".

"Dia tidak memiliki kelemahan seperti keserakahan atau nafsu," kata Hartono. "Dia hampir seperti seorang biksu dalam hal itu. Dunianya adalah kekuasaan murni dan warisan sejarah. Dia ingin dikenang sebagai penjaga bangsa yang diam-diam."

"Warisan," ulang Leo, sebuah kata terlintas di benaknya. "Di sanalah retakannya."

Selama beberapa minggu berikutnya, ruang perang Empress Tower berubah menjadi pusat penelitian biografi. Mereka menjadi sejarawan, psikolog, dan arkeolog dari kehidupan seorang Jenderal Soeharto. Bianca, meskipun kesulitan menembus keamanan digital pribadinya, berhasil menggali arsip-arsip lama, catatan-catatan militer yang dideklasifikasi, dan jurnal-jurnal keuangan dari perusahaan-perusahaan di mana sang Jenderal pernah menjabat sebagai komisaris.

Pak Tirta, di sisi lain, mengaktifkan jaringan hantunya sendiri. Ia bertemu dengan para pensiunan jenderal dan agen intelijen di klub-klub golf dan kedai-kedai kopi tua, membangkitkan kembali hubungan lama, mengumpulkan gosip, rumor, dan cerita-cerita di balik layar tentang sang Jenderal.

Dan Leo, ia hanya membaca. Ia melahap setiap buku, setiap artikel, setiap memoar yang pernah ditulis tentang Soeharto. Ia membangun sebuah profil psikologis yang sangat mendalam di dalam kepalanya. Ia mencoba untuk berpikir seperti sang Jenderal, untuk memahami logikanya, untuk merasakan ambisinya.

Setelah berminggu-minggu, mereka berkumpul kembali. Gambarannya mulai terbentuk.

"Hartono benar," kata Leo. "Dia tidak punya kelemahan konvensional. Tapi dia punya satu obsesi: citra publiknya. Warisannya. Dia telah menghabiskan lima puluh tahun membangun citra sebagai seorang negarawan yang keras namun adil, seorang pahlawan perang yang kini mendedikasikan sisa hidupnya untuk filantropi. Dia adalah santo pelindung para veteran, bapak bagi anak-anak yatim piatu."

Ia menampilkan gambar sebuah logo di layar utama: sebuah tangan yang menaungi tunas tanaman. Logo dari Yayasan Nusa Bhakti.

"Ini adalah mahkotanya," jelas Leo. "Yayasan amal terbesar dan paling dihormati di negeri ini. Menjalankan ratusan sekolah gratis, puluhan rumah sakit, memberikan beasiswa ke luar negeri. Yayasan ini adalah sumber dari citra baiknya, sumber dari cinta publik kepadanya. Ini membuatnya tak tersentuh."

"Dan menurut informasi dari Hartono," lanjut Leo, "yayasan ini juga merupakan alat utamanya. Alat untuk mencuci pengaruh, bukan uang. Perusahaan-perusahaan besar yang ingin mendapatkan proyek pemerintah 'didorong' untuk memberikan 'donasi' besar ke yayasan ini. Donasi itu kemudian digunakan untuk mendanai sekolah-sekolah di distrik-distrik pemilihan yang penting, menciptakan loyalitas politik dari bawah ke atas. Yayasan ini juga merupakan tempatnya merekrut aset-aset muda yang brilian, memberikan mereka beasiswa, dan kemudian menempatkan mereka di posisi-posisi strategis di pemerintahan dan BUMN setelah mereka lulus. Ini adalah mesin pencetak loyalitasnya."

"Ini adalah jantung dari kekuasaannya yang sah," simpul Isabella.

"Tepat," kata Leo. "Dan kita akan meracuni jantung itu."

Rencana itu, yang diberi nama sandi "Operasi Piala Beracun", adalah sebuah mahakarya perang informasi. Tujuannya bukanlah untuk menghancurkan Yayasan Nusa Bhakti—itu akan menjadi bunuh diri politik dan membuat mereka menjadi musuh publik. Tujuannya adalah untuk menodai reputasinya, untuk menanamkan benih keraguan di benak publik, untuk menciptakan retakan di citra suci Jenderal Soeharto.

Langkah pertama adalah menciptakan "dosa". Menggunakan akses mereka ke Bank Steiner dan jaringan keuangan global, Bianca, dengan bantuan beberapa peretas jenius yang ia rekrut dari dark web, mulai menciptakan jejak digital palsu namun sangat meyakinkan. Mereka menciptakan sebuah "dana gelap" fiktif di dalam pembukuan yayasan, menunjukkan bahwa sebagian kecil dari uang donasi dialihkan ke rekening-rekening pribadi di luar negeri yang terhubung dengan direktur-direktur yayasan (yang semuanya adalah orang-orang kepercayaan Soeharto).

Langkah kedua adalah menemukan pembawa pesan. Mereka tidak bisa membocorkan ini ke media arus utama; Soeharto mengendalikan mereka. Mereka butuh pihak luar yang kredibel. Leo mengidentifikasi targetnya: sebuah kolektif jurnalisme investigatif independen bernama "Mata Publik", yang dikenal karena keberaniannya, integritasnya, dan kebenciannya pada kemapanan.

Langkah ketiga, dan yang paling penting, adalah menemukan elemen manusia. Sebuah "sumber dari dalam". Menggunakan intel dari Hartono, mereka menemukan seorang pria bernama Bapak Wijoyo, kepala bagian akuntansi di Yayasan Nusa Bhakti selama dua puluh tahun. Ia adalah seorang pria tua yang jujur dan berdedikasi, yang baru saja dipaksa pensiun dini karena ia mulai bertanya terlalu banyak tentang beberapa anomali keuangan. Ia adalah martir yang sempurna.

Pak Tirta mengirim Riko dan Maya untuk mendekati Bapak Wijoyo. Bukan dengan ancaman, tetapi dengan perlindungan. Mereka menunjukkan padanya beberapa bukti awal yang telah mereka palsukan, mengatakan bahwa mereka adalah kelompok aktivis yang juga mencurigai adanya korupsi. Mereka menawarkan perlindungan penuh baginya dan keluarganya jika ia bersedia menjadi narasumber anonim. Bapak Wijoyo, seorang pria yang hatinya hancur karena melihat institusi yang ia cintai dikorupsi, akhirnya setuju.

Jebakan itu telah siap. Mereka hanya perlu menunggu waktu yang tepat untuk melepaskannya.

Di tengah semua perencanaan yang dingin dan menegangkan ini, beban perang melawan dewa mulai terasa berat. Leo dan Isabella nyaris tidak punya waktu untuk bernapas. Setiap momen dihabiskan untuk menganalisis, merencanakan, dan mengantisipasi. Mereka adalah dua mesin yang bekerja dalam sinkronisasi sempurna, tetapi mereka juga manusia.

Suatu akhir pekan, Leo membuat keputusan sepihak. "Kita pergi," katanya pada Isabella.

"Pergi ke mana? Kita di tengah persiapan," protes Isabella.

"Hanya untuk satu malam," desak Leo. "Kita butuh ini. Kita butuh untuk mengingat seperti apa rasanya menjadi manusia, bukan hanya jenderal."

Ia membawanya ke sebuah vila terpencil yang tersembunyi di perbukitan teh di Puncak, sebuah tempat yang bahkan tidak diketahui oleh tim mereka sendiri. Itu adalah sebuah gelembung kedamaian yang sunyi. Tidak ada layar monitor, tidak ada laporan intel, hanya ada udara pegunungan yang sejuk dan hamparan kebun teh yang hijau.

Malam itu, saat mereka duduk di depan perapian, keheningan di antara mereka nyaman, tidak lagi tegang.

"Jika... jika kita berhasil melewati semua ini, Leo," bisik Isabella, menyandarkan kepalanya di bahu Leo. "Apa yang akan kita lakukan?"

Pertanyaan itu menggantung di udara, penuh dengan kemungkinan yang terasa begitu jauh.

Leo berpikir sejenak. Ia tidak berbicara tentang kekuasaan atau kerajaan. Ia berbicara tentang sesuatu yang jauh lebih mendasar. "Aku akan memasak sarapan untukmu," katanya pelan. "Setiap pagi. Aku akan membangun kembali restoranku, bukan sebagai benteng, tapi sebagai... rumah. Dan kita akan hidup di dalamnya."

Di dalam jawaban sederhana itu, Isabella menemukan sebuah janji masa depan yang tidak pernah berani ia impikan.

Gairah mereka malam itu tidak didorong oleh adrenalin atau kemenangan atau bahkan keputusasaan. Itu didorong oleh harapan. Itu adalah cinta yang tenang dan dalam dari dua orang yang telah menemukan rumah di dalam satu sama lain, di tengah dunia yang ingin menghancurkan mereka. Adegan cinta mereka adalah sebuah tarian yang lambat, lembut, dan penuh perasaan. Itu adalah cara mereka saling menyembuhkan dari luka-luka tak terlihat yang ditimbulkan oleh perang mereka. Setiap sentuhan adalah penegasan kembali, setiap ciuman adalah janji. Itu adalah sebuah momen yang sangat manusiawi, sebuah pengingat akan apa yang sebenarnya mereka perjuangkan: bukan untuk mengalahkan Soeharto, tetapi untuk mendapatkan hak untuk hidup dalam kedamaian seperti ini. "Panas" dari adegan itu bukanlah panas api, melainkan kehangatan dari dua jiwa yang akhirnya menemukan tempat berlindung.

Saat mereka kembali ke Jakarta keesokan harinya, mereka telah diisi ulang. Mereka siap untuk menyalakan api mereka.

Operasi "Piala Beracun" diluncurkan.

Tim Leo secara anonim mengirimkan paket berisi data keuangan awal yang telah dimanipulasi kepada kantor "Mata Publik". Seperti yang diduga, para jurnalis itu langsung menerkamnya seperti serigala lapar. Selama seminggu, mereka melakukan investigasi mereka sendiri, dan dengan "bocoran-bocoran" tambahan yang diarahkan oleh Bianca, mereka berhasil mengkonfirmasi (apa yang mereka kira) kebenaran dari skandal itu.

Lalu, tibalah momen untuk memainkan kartu truf mereka. Bapak Wijoyo, dengan wajah yang disamarkan dan suara yang diubah, memberikan wawancara eksklusif, menceritakan bagaimana ia disingkirkan saat mencoba mengungkap kebenaran.

Semuanya telah siap. Artikel itu akan dipublikasikan secara online serentak di situs mereka dan beberapa media partner internasional pada hari Jumat, pukul 9 malam. Waktu di mana traffic internet mencapai puncaknya.

Jumat malam. Di ruang perang Empress Tower. Seluruh tim inti berkumpul. Leo, Isabella, Pak Tirta, Marco, Bianca. Mereka semua menatap layar utama, di mana situs "Mata Publik" ditampilkan. Sebuah jam digital besar menghitung mundur waktu menuju publikasi.

00:01:00

"Semua tim pendukung siaga," lapor Marco. "Jika Soeharto bergerak secara fisik, kita siap."

00:00:30

"Jaringan digitalnya tenang," kata Bianca. "Terlalu tenang. Seolah dia tidak tahu apa-apa."

00:00:10

Isabella menggenggam tangan Leo. Jantungnya berdebar kencang. Ini adalah lemparan batu pertama mereka ke arah gunung.

00:00:03

00:00:02

00:00:01

00:00:00

Halaman situs itu me-refresh secara otomatis. Dan di sana, terpampang dengan huruf-huruf besar yang tebal, sebuah judul yang akan mengguncang negara.

DANA SUCI, TANGAN KOTOR: SKANDAL KORUPSI DI JANTUNG YAYASAN NUSA BHAKTI, MENYERET NAMA-NAMA ELITE.

Mereka berhasil. Mereka telah menembakkan meriam pertama.

Isabella tersenyum, senyum kemenangan pertama dalam perang yang baru ini. Ia menoleh pada Leo. "Hidangan pembuka..."

BZZT.

Ponsel terenkripsi pribadi Isabella, yang seharusnya hanya bisa menerima pesan darurat dari lingkaran terdalamnya, bergetar di atas meja. Tapi pesan itu tidak datang dari Marco atau Bianca atau Pak Tirta. Nomornya... tidak dikenal. Terenkripsi dengan protokol militer tingkat tertinggi yang bahkan membuat Bianca mengerutkan kening.

Dengan perasaan firasat buruk yang tiba-tiba, Isabella membuka pesan itu.

Tidak ada teks. Tidak ada gambar. Hanya ada satu hal.

Sebuah koordinat GPS real-time.

Bianca dengan cepat memasukkan koordinat itu ke dalam sistem pemetaan mereka. Sebuah titik merah muncul di peta satelit.

Titik merah itu berkedip-kedip tepat di atas sebuah vila terpencil di perbukitan teh di Puncak.

Keheningan yang dingin dan mematikan menyelimuti ruang perang. Senyum kemenangan lenyap dari wajah Isabella, digantikan oleh ekspresi horor dan ketidakpercayaan. Vila itu. Tempat perlindungan rahasia mereka. Tempat di mana ia dan Leo baru saja berbagi momen paling intim mereka. Tempat yang seharusnya tidak diketahui oleh siapa pun di dunia.

Pesan itu jelas. Sederhana. Dan jauh lebih menakutkan daripada pasukan mana pun. Pesan itu mengatakan: Aku melihatmu. Aku selalu melihatmu. Kalian pikir kalian sedang berburu, padahal kalian hanya tikus yang berlarian di dalam labirinku.

Mata Isabella bertemu dengan mata Leo, dan di dalam tatapan mereka ada pemahaman yang sama-sama mengerikan.

"Ya Tuhan, Leo..." bisiknya, suaranya bergetar untuk pertama kalinya setelah sekian lama, wajahnya pucat pasi.

"Dia

tidak menunggu kita melempar batu. Dia sudah berada di dalam rumah kita."

1
Letitia
Jangan berhenti menulis, ceritamu bagus banget!
thalexy
Dialognya seperti bicara dengan teman sejati.
Alphonse Elric
Mesti dibaca ulang!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!