Nadira tak pernah menyangka bekerja di perusahaan besar justru mempertemukannya kembali dengan lelaki yang pernah menjadi suaminya tujuh tahun lalu.
Ardan, kini seorang CEO dingin yang disegani. Pernikahan muda mereka dulu kandas karena kesalahpahaman, dan perpisahan itu menyisakan luka yang dalam. Kini, takdir mempertemukan keduanya sebagai Bos dan Sekretaris. Dengan dinginnya sikap Ardan, mampukah kembali menyatukan hati mereka.
Ataukah cinta lama itu benar-benar harus terkubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 19.
Di ruang tamu, Claudia kehilangan muka. Senyum manis yang ia pamerkan sejak tadi retak seketika. Tatapan teman-teman Nyonya Rarasati yang berbisik lirih, membuat pipinya panas karena mereka jelas-jelas sedang membicarakan dirinya. Tentang bagaimana Ardan, lelaki yang seharusnya menjadi calon suaminya tapi malah tampak lebih condong pada sekretaris pribadi.
Claudia tak sanggup menahan diri lagi, ia berlari keluar. Sesampainya di halaman, ia langsung berjalan ke arah mobil Ardan lalu mengetuk kaca dengan panik.
“Ardan! Buka pintunya!”
Sementara itu, di dalam mobil suasana justru berbeda. Ardan dan Nadira sudah larut dalam pusaran hasrat. Bibir mereka saling menekan, napas mereka saling merenggut seolah dunia di luar tak lagi ada. Hanya saja, gedoran keras dari Claudia memaksa Ardan menghentikan ciumannya.
Ardan menatap Nadira yang masih terengah-engah. “Kenapa tiba-tiba begini?” suaranya rendah, dingin namun bergetar karena menahan diri.
Nadira berusaha menstabilkan napasnya. “Aku hanya tidak mau kamu marah lagi, Ardan. Aku bersumpah, aku datang ke sini… demi kita.”
Tok! Tok! Tok!
Ketukan Claudia makin keras. “Ardan!” suaranya meninggi, nyaris histeris.
Nadira mengerucutkan bibir, menoleh ke arah suara itu dengan sorot tak suka. “Kekasihmu tidak berhenti mengganggu, kalau kau mau turun... silakan. Aku bisa pulang sendiri naik taksi.” Nada manjanya menyusup di antara kerutan kesal.
Ardan sempat menahan senyum, tapi wajahnya segera kembali kaku. “Kau cemburu? Katakan saja kalau kau cemburu. Aku bisa tinggalkan dia, sekarang juga.”
Mata Nadira berkilat, lalu ia menarik napas panjang. “Dia tadi sengaja menyenggolku, lalu bilang aku memang pantas diperlakukan begitu. Katanya aku perebut, karena kamu akan menikah dengannya sementara kamu selalu terlihat dekat denganku.” Ucapannya meluncur pelan, setengah merajuk.
“Dia bilang begitu?” rahang Ardan mengeras, ada amarah yang berusaha ia tekan. “Kalau begitu, jangan hadapi dia lagi.”
“Tapi… aku tidak berani. Dia kan calon istrimu, Ardan. Dia yang akan sah secara negara jadi istrimu nanti, dan aku tidak bisa menghindar darinya selamanya.”
Dari luar, Claudia tak lagi sabar. Ia berteriak dengan suara melengking, “Ardan! Kalau kau tidak buka, aku telepon Papa sekarang juga!”
Ardan menoleh kembali pada Nadira, mendekatkan wajahnya hingga napas mereka bersatu. Bibirnya menyentuh telinga Nadira, suaranya berat, nyaris berupa desahan. “Kau betah duduk di pangkuanku? Atau… kau ingin aku melanjutkan memakan mu sampai habis di sini?”
Pipi Nadira langsung merona, ia buru-buru menggeser diri kembali ke kursinya dengan wajah menunduk malu.
Barulah Ardan menurunkan kaca mobil yang terbuka hanya sebatas beberapa centimeter, membuat wajah Claudia semakin tegang. Ia merunduk, berusaha menatap ke dalam.
“Ardan! Apa maksudmu membuka kaca hanya segini? Lalu barusan, apa kau sengaja mempermalukan ku di depan semua orang!” seru Claudia, suaranya bergetar oleh amarah. Ia tak lagi terlihat lembut di hadapan pria itu.
Ardan bersandar santai di kursi, kedua tangannya masih menahan setir. Dari sudut matanya, ia melirik Nadira yang menunduk. Lalu tatapan dinginnya kembali tertuju pada Claudia.
“Kalau kau bicara hanya untuk membuat keributan denganku, lebih baik aku pergi!” Ucapannya tenang, tapi dinginnya menusuk sampai ke tulang.
Claudia ternganga. “Pergi? Ardan! Aku ini tunanganmu, tinggal seminggu lagi kita bertunangan. Semua orang di dalam bahkan orang-orang yang mengenal kita, sudah tau kita akan bertunangan dan nantinya akan menjadi pasangan suami istri. Dan kau... malah duduk berduaan dengan sekretaris mu di mobil begini?!”
Ardan mengeraskan rahang, lalu sedikit mencondongkan tubuh ke arah kaca. “Jangan campuri urusanku! Kau tidak berhak mengatur siapa yang bisa bersamaku, Claudia.”
“Tidak berhak?!” Claudia hampir menjerit. “Aku calon istrimu, Ardan! Kalau Papa tahu kau mempermalukan aku seperti ini__”
“Claudia.” Ardan memotong tajam, suaranya merendah tapi membuat bulu kuduk berdiri. “Jangan coba-coba... mengancamku dengan nama ayahmu. Jika kau berpikir aku menikah hanya karena tekanan keluargamu, kau salah besar! Aku memang memilihmu... karena kau dan juga Ayahmu banyak berjasa untukku, tapi jangan terus menerus menjeratku dengan hutang budiku! Aku masih punya kendali akan hidupku sendiri! Kalau kau terus merendahkan Nadira atau mengusiknya, aku akan putuskan hubungan denganmu! Tak ada lagi pertunangan, apalagi pernikahan!"
Kata-katanya membuat Claudia terdiam sepersekian detik, wajahnya memucat.
Ardan melirik Nadira, lalu kembali menatap Claudia dari balik kaca. “Aku tak main-main dengan kata-kataku! Sekali lagi kau menyentuh atau merendahkan Nadira seperti tadi, aku benar-benar akan membuatmu menyesal.”
Claudia menegang. “Kau… membelanya daripada aku?”
Ardan tidak menjawab, perlahan ia menaikkan kaca mobil kembali.
“Ardan!” Wajah Claudia dipenuhi amarah bercampur putus asa.
Claudia berdiri kaku di depan mobil yang kacanya baru saja tertutup rapat. Wajahnya merah padam, bukan hanya karena marah tapi juga karena tatapan tamu-tamu yang mulai keluar dari rumah.
“Kenapa dia ditinggalkan begitu saja?”
“Katanya mau menikah dengan Ardan, kok malah begini?”
“Sepertinya Ardan lebih serius dengan sekretarisnya, ya?”
Bisikan-bisikan itu menusuk telinga Claudia. Tubuhnya gemetar, tangannya mengepal tapi ia tak bisa berbuat apa pun selain menahan rasa malu yang menelannya bulat-bulat. Untuk pertama kalinya, citranya sebagai calon nyonya besar dari istri Ardan hancur di depan umum.
“Ardan…” suaranya lirih, hampir tercekik. Namun mobil tetap tidak bergeming.
Di dalam, Nadira masih menunduk. Ia berpura-pura merasa bersalah, lalu genggaman tangan Ardan di pahanya membuat tubuhnya tersentak. Lelaki itu menatapnya tanpa goyah, dingin tapi mengandung sesuatu yang sulit ditolak.
“Jangan pedulikan dia,” ucap Ardan pelan, nyaris berbisik. “Mulai sekarang, hanya aku yang menentukan siapa yang pantas ada di sisiku.”
Nadira masih terdiam, namun dalam hatinya ia merasa lega.
Ardan pun menyalakan mesin mobil, suara deru mesinnya langsung membuat Claudia panik. Ia berusaha mengetuk lagi, tapi kali ini mobil melaju perlahan meninggalkannya.
“Ardan! Jangan tinggalkan aku! Ardan!” teriak Claudia, suaranya pecah. Ia bahkan berlari beberapa langkah, tetapi mobil itu terus meluncur keluar dari gerbang.
Sementara itu dari balik kaca spion, Nadira melihat bayangan Claudia yang mengecil.
Aku sudah tau kebusukan mu dari Mama Rarasati... Claudia. Aku akan terus mempertahankan suamiku, melawanmu meski dengan cara licik!
Mobil itu melaju makin jauh, meninggalkan Claudia yang terisak sekaligus meninggalkan desas-desus panas di belakang mereka.
Berbeda dengan keadaan Claudia yang terguncang, Nyonya Rarasati malah tersenyum menyeringai penuh kemenangan.
Dalam keadaan terdesak pun dia masih bersikap sombong dan mencoba memprovokasi Ardan...😒