Hana, gadis sederhana anak seorang pembantu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam sekejap. Pulang dari pesantren, ia hanya berniat membantu ibunya bekerja di rumah keluarga Malik, keluarga paling terpandang dan terkaya di kota itu. Namun takdir membawanya pada pertemuan dengan Hansel Malik, pewaris tunggal yang dikenal dingin dan tak tersentuh.
Pernikahan Hansel dengan Laudya, seorang artis papan atas, telah berjalan lima tahun tanpa kehadiran seorang anak. Desakan keluarga untuk memiliki pewaris semakin keras, hingga muncul satu keputusan mengejutkan mencari wanita lain yang bersedia mengandung anak Hansel.
Hana yang polos, suci, dan jauh dari hiruk pikuk dunia glamor, tiba-tiba terjerat dalam rencana besar keluarga itu. Antara cinta, pengorbanan, dan status sosial yang membedakan, Hana harus memilih, menolak dan mengecewakan ibunya, atau menerima pernikahan paksa dengan pria yang hatinya masih terikat pada wanita lain.
Yuk, simak kisahnya di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19.Rumah itu masih sama yang nggak sama isinya.
Pagi itu suasana rumah terasa berbeda. Burung-burung di halaman belakang berkicau riang, namun suasana hati di dalam rumah justru berat, penuh tanda tanya.
Hansel terbangun dari sofa ruang tamu. Matanya masih berat, tubuhnya pegal karena semalaman tertidur tanpa selimut. Dia mengusap wajahnya, mencoba mengumpulkan kesadaran. Namun, suara gesekan koper di lantai marmer yang menggema dari arah tangga langsung membuatnya terlonjak.
Matanya melebar begitu melihat Laudya, istrinya, menuruni tangga dengan koper besar berwarna hitam. Wajah Laudya tenang, tanpa ekspresi, langkahnya mantap meski jelas terlihat sembab di bawah matanya.
“Laudya…?” Hansel bangkit cepat, langsung menghampiri.
“Kamu mau ke mana? Kenapa membawa koper?”
Laudya tidak menjawab, tangannya tetap menggenggam erat gagang koper, terus menariknya menuju pintu depan. Suara roda koper yang beradu dengan lantai semakin keras, menimbulkan kegaduhan kecil yang membuat suasana rumah terasa mencekam.
Di dapur, Jamilah yang sedang menyiapkan sarapan bersama Hana terhenti. Sendok di tangannya bergetar, matanya terbelalak menatap ke arah ruang tamu. Hana pun sama, tubuhnya menegang begitu melihat pemandangan itu. Perasaan was-was langsung menyelimutinya.
Beberapa pelayan yang sedang membereskan meja makan saling berbisik dengan tatapan penuh tanya. Hansel menyusul, langkahnya terburu, wajahnya dipenuhi kebingungan.
“Laudya, jawab aku! Kamu mau ke mana bawa koper?!”
Akhirnya Laudya berhenti, tepat di depan pintu utama. Ia menarik napas panjang, lalu berbalik perlahan, menatap suaminya dengan sorot mata yang dingin.
“Aku ada project di Tiongkok.” Suaranya datar, seolah sedang membicarakan hal biasa. “Aku harus pergi … sebulan.”
Hansel tertegun, kata-kata itu menghantam keras dadanya. “Apa? Tiongkok? Se ... bulan penuh?!”
Laudya hanya mengangguk pelan.
“Ya.”
Hansel mengusap wajahnya, frustasi. Ia melangkah cepat mendekat, meraih lengan istrinya.
“Laudya, jangan … jangan begini. Jangan lari dari masalah kita!”
Laudya menatap suaminya, kali ini dengan senyum getir.
“Aku tidak lari, Hansel. Aku hanya … tidak ingin berdebat lagi. Aku tidak punya tenaga untuk itu. Semua sudah jelas ... kamu mencintainya, dan aku … aku memilih diam.”
Suasana hening, Hansel terpaku, matanya berkaca-kaca. Laudya melanjutkan, suaranya tenang tapi menusuk.
“Aku hanya akan menunggu. Sampai bayi itu lahir … setelah itu, aku yang akan mengurus semuanya.”
Hana yang berdiri di ambang dapur langsung merasa darahnya berdesir. Perkataan itu membuat jantungnya seolah berhenti berdetak sejenak.
'Mengurus semuanya?' gumamnya lirih dalam hati.
'Apa maksud NyonyaLaudya? Apakah setelah bayi ini lahir, aku benar-benar akan dipisahkan dari buah hatiku?'
Tangannya refleks menyentuh perut yang kian membesar, matanya berkaca-kaca.
Hansel menatap istrinya tak percaya. “Laudya, jangan bicara begitu … jangan buat aku semakin takut kehilanganmu.”
"Kamu selalu takut kehilanganku, Mas. tapi kamu tak pernah benar-benar setia dalam menjaga hatimu. Kamu membuat aku kecewa ... kita pernah berjanji bagaimanapun akhirnya hidup kita jangan ada orang lain di hati kita. Namun, kau melanggarnya, Mas."
Laudya lalu menarik tangannya dari genggaman Hansel, lalu memegang gagang koper dengan erat. Tanpa menoleh lagi pada suaminya, ia melangkah ke luar rumah, meninggalkan Hansel yang berdiri kaku di ruang tamu, Jamilah yang menatap penuh kecemasan, dan Hana yang kini berdiri sambil meraba perutnya, dihantui ketakutan baru yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
'Tidak! Aku tidak mau berpisah dari bayi ini ... jangan sampai ...'
"Sudah ibu katakan Hana jangan melibatkan perasaan dari hubungan ini. Kamu liat! Kamu sendiri yang akhirnya terluka," ucapan Jamilah menghentikan Hana berdebat dengan batinnya sendiri.
"Aku sudah terluka sejak awal, Bu." gumam Hana nyaris tak terdengar. Jamilah pun kembali ke dapur, Hansel berbalik melihat Hana di ambang pintu dapur juga tak bisa mengatakan apapun selain tersenyum pada perempuan itu, lalu bergegas pergi menuju kamarnya di lantai atas.
Hana merasa dadanya sesak, pikirannya kacau. Kata-kata Laudya barusan terus terulang di kepalanya.
'Aku hanya akan menunggu. Sampai bayi itu lahir … setelah itu, aku yang akan mengurus semuanya.'
Hana terduduk di kursi meja makan, matanya kosong. Tangannya gemetar saat menyentuh perutnya yang semakin membesar. Di dalam sana, bayi kecil itu bergerak, seolah merespons gundah gulana ibunya. Hana langsung menutup mulutnya, menahan tangis agar tidak terdengar oleh siapa pun.
Dalam hati ia ingin sekali berteriak,
"Anakku … apa benar nanti kamu akan diambil dariku? Apa benar aku hanya rahim yang disewa? Tidak … tidak! Aku ibumu. Aku yang merasakan sakitnya, lelahnya, bahkan setiap tendanganmu aku yang rasakan. Aku tidak akan membiarkan siapa pun mengambilmu dariku … bahkan Nyonya Laudya sekalipun."
Air mata Hana mengalir deras. Ia merasa semakin terjebak, seolah tidak punya kuasa sedikit pun atas masa depannya sendiri. Semua keputusan selalu datang dari orang lain dari Laudya, dari Hansel, bahkan dari ibunya, Jamilah, belum lagi dari Rohana.
Saat itu, Jamilah menghampiri, menaruh segelas air hangat di meja.
“Hana … jangan banyak dipikirkan, Nak. Ibu yakin semua akan ada jalan keluarnya,” ucapnya lembut, meski dalam hatinya sendiri ia ragu.
Hana mendongak, menatap ibunya dengan mata sembab. “Bu … apa benar nanti bayi ini akan diambil dariku?” suaranya bergetar, nyaris tak terdengar.
Jamilah terdiam, dia tidak punya jawaban pasti. Ia tahu sejak awal, kesepakatan ini memang hanya tentang ‘meminjam rahim’. Tapi ia juga tahu, ikatan batin seorang ibu dengan anak dalam kandungannya tak bisa diputus semudah itu.
“Kalau memang itu yang disepakati … mungkin begitu, Nak,” jawabnya lirih, lebih seperti gumaman.
Hana langsung menunduk, air matanya jatuh membasahi punggung tangannya. “Aku tidak rela, Bu … aku tidak rela,” bisiknya penuh kepedihan.
Dari kejauhan, Hansel yang baru saja turun hendak ke kantor, berdiri kaku di depan ruang makan, mendengar potongan kalimat Hana. Matanya meredup, dada sesak. Ia tahu Hana benar-benar takut kehilangan bayinya. Dan di dalam hati, ia pun tak bisa membayangkan jika nanti anak itu benar-benar dipisahkan dari wanita yang dengan sabar mengandungnya.
Namun, di satu sisi, Hansel sadar Laudya adalah istri sahnya. Wanita yang selama ini mendampinginya. Keputusan tidak bisa ia ambil begitu saja.
Malam itu, Hana terbaring di ranjang kamarnya. Lampu sudah dipadamkan, hanya cahaya temaram dari lampu tidur yang menemani. Ia memeluk perutnya erat, membisikkan janji kepada bayinya,
"Nak, dengarkan ibu. Ibu akan berjuang apa pun caranya. Ibu tidak akan biarkan siapa pun memisahkan kita. Bahkan jika semua orang menentang … ibu akan melawan."
Air matanya mengalir lagi, tapi kali ini bukan hanya karena ketakutan. Ada tekad baru di dalam hatinya tekad untuk mempertahankan anak itu, apa pun yang terjadi.
udah lah Ray kalo gua jadi lu gaya bawa minggat ke Cairo tuh si Hana sama bayinya juga, di rawat di rumah sakit sana, kalo udah begini apa Laudya masih egois mau pisahin anak sama ibu nya
Rayyan be like : kalian adalah manusia yg egois, kalian hanya memikirkan untuk mengambil bayi itu tanpa memikirkan apa yg Hana ingin kan, dan anda ibu jamilah di sini siapa yg anak ibu sebenarnya, Hana atau Laudya sampi ibu tega menggadaikan kebahagiaan anak ibu sendiri, jika ibu ingin membalas budi apakah tidak cukup dengan ibu mengabdikan diri di keluarga besar malik, kalian ingin bayi itu kan Hansel Laudya, ambil bayi itu tapi aku pastikan hidup kalian tidak akan di hampiri bahagia, hanya ada penyesalan dan kesedihan dalam hidup kalian berdua, aku pastikan setelah Hana sadar dari koma, aku akan membawa nya pergi dari negara ini, aku akan memberikan dia banyak anak suatu hari nanti
gubrakk Hansel langsung kebakaran jenggot sama kumis 🤣🤣🤣
biar kapok juga Jamilah
Pisahkan Hana dari keluarga Malik..,, biarkan Hana membuka lembaran baru hidup bahagia dan damai Tampa melihat orang" munafik di sekitarnya
Ayo bang Rey bantu Hana bawa Hana pergi yg jauh biar Hansel mikir pakai otaknya yang Segede kacang ijo itu 😩😤😏
Hana buka boneka yang sesuka hati kalian permainkan... laudya disini aku tidak membenarkan kelakuan mu yang katanya sakit keras rahim mu hilang harusnya kamu jujur dan katakan sejujurnya kamu mempermainkan kehidupan Hana laudya... masih banyak cara untuk mendapatkan anak tinggal adopsi anak kan bisa ini malah keperawatan Hana jadi korban 😭 laudya hamil itu tidak gampang penuh pengorbanan dan perasaan dimana hati nurani mu yg sama" wanita dan untuk ibunya Hana anda kejam menjual mada depan anakmu demi balas budi kenapa endak samean aja yg ngandung tu anak Hansel biar puas astaghfirullah ya Allah berikanlah aku kesabaran tiap baca selalu aja bikin emosi 😠👊