NovelToon NovelToon
Jawara Dua Wajah

Jawara Dua Wajah

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Identitas Tersembunyi / Pemain Terhebat / Gangster / Idola sekolah
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: Aanirji R.

Bima Pratama bukan sekadar anak SMK biasa.
Di sekolah, namanya jadi legenda. Satu lawan banyak? Gaspol. Tawuran antar sekolah? Dia yang mimpin. Udah banyak sekolah di wilayahnya yang “jatuh” di tangannya. Semua orang kenal dia sebagai Jawara.

Tapi di rumah… dia bukan siapa-siapa. Buat orang tuanya, Bima cuma anak cowok yang masih suka disuruh ke warung, dan buat adiknya, Nayla, dia cuma kakak yang kadang ngeselin. Gak ada yang tahu sisi gelapnya di jalan.

Hidup Bima berjalan di dua dunia: keras dan penuh darah di luar, hangat dan penuh tawa di dalam rumah.
Sampai akhirnya, dua dunia itu mulai saling mendekat… dan rahasia yang selama ini ia simpan terancam terbongkar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aanirji R., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Keharmonisan Jawara

Dodi masih menatap Bima tajam. “Udah, mulai besok lu libur aja. Nggak usah ikut nongkrong, nggak usah ikut kumpul. Fokus lu cuma satu: sembuh. Urusan geng? Biar gua yang turun tangan sementara.”

Kata-kata itu tegas, tanpa celah buat dibantah.

Bima membuka mulut, tapi nggak ada suara keluar. Tatapannya jatuh ke lantai, genggamannya makin erat. Ia pengen nyela, pengen bilang “nggak bisa”, tapi sorot mata Dodi nggak ngasih ruang.

Akhirnya, dengan helaan napas berat, Bima mengangguk kecil. “...ya.” Suaranya pelan, lebih mirip bisikan.

Raka lega, Andre ikut diam, seakan beban besar sedikit terangkat dari pundak mereka. Tapi di dalam hati Bima, api itu masih berkobar—meski untuk sementara, ia harus pasrah.

***

Malam itu, Bima pulang dengan langkah berat. Badannya capek, tangannya masih perih, tapi yang bikin ia berhenti di ambang pintu kamar adalah pemandangan aneh—

Nayla, adiknya, terlelap di kasurnya.

Bima sampai bengong beberapa detik. Tumben banget... biasanya dia ogah masuk kamar gua juga. Selama ini Nayla nyaris nggak peduli sama Bima. Mereka jarang ngobrol, seringnya malah saling cuek. Tapi malam ini lain—seolah bocah itu sengaja nungguin dia pulang, lalu ketiduran di situ.

Bima melangkah pelan, menatap wajah adiknya yang tidur pulas. Ada rasa hangat aneh merambat di dadanya. Kasihan juga, Nayla kelihatan capek banget.

Dengan hati-hati, Bima mencoba mengangkatnya. Tangannya yang masih sakit bikin gerakan itu berat, sesekali ia meringis karena perih. Tapi ia nggak berhenti—sampai akhirnya Nayla terbaring manis di atas kasur, sementara Bima rebah di sampingnya.

Sunyi. Hanya napas teratur Nayla yang terdengar.

Bima menatap langit-langit, lalu melirik ke arah adiknya.

Jarang-jarang dia bisa ngerasain momen kayak gini—nggak ada teriakan, nggak ada emosi, nggak ada geng. Hanya rumah, hanya keluarga.

Perlahan matanya terpejam, ikut terseret dalam ketenangan malam itu.

***

Pagi harinya, cahaya matahari nyelinap lewat celah gorden kamar. Bima masih terlelap, nyaris nggak bergerak, tangannya yang diperban sedikit menggantung di tepi kasur.

Pelan-pelan, Nayla membuka mata. Ia butuh beberapa detik buat sadar kalau dirinya bukan ada di kamarnya sendiri. Begitu nengok ke samping, matanya langsung melebar—

Dia tidur di sebelah Bima.

“Apaan sih gue…” Nayla buru-buru bangun, tapi gerakannya malah bikin kasur berdecit. Bima gelagapan, kebangun setengah sadar. Dia menoleh, melihat Nayla duduk di pinggiran kasur dengan wajah kikuk.

Bima sempat bengong, lalu tersenyum miring. “Tumben banget lo, Nay… sampe ketiduran di kamar gue.”

Suara Bima masih serak pagi, tapi ada nada geli yang jarang keluar dari mulutnya.

Nayla langsung manyun, pipinya agak merah. “I-itu… nggak sengaja. Gue cuma nungguin lo pulang, eh… ketiduran.”

Jawaban itu bikin Bima diam sebentar. Ada sesuatu yang menghangat di dadanya. Jarang-jarang Nayla ngomong jujur begitu.

“Yaelah… jadi lo peduli juga sama gue,” ucap Bima sambil terkekeh pelan, meski tangan kirinya terasa ngilu tiap kali bergerak.

“Jangan ge-er deh. Gue cuma nggak mau lo tiba-tiba mati di jalan terus bikin repot gue,” balas Nayla cepat, tapi matanya nggak berani natap langsung.

Bima ketawa kecil. “Alasan lo jelek banget.”

Meski begitu, hatinya agak lega. Sakit di badannya seolah lebih ringan dibanding hangatnya momen kecil pagi itu.

Nayla berdiri, buru-buru keluar dari kamar sambil komat-kamit nggak jelas, mungkin malu ketahuan begitu peduli. Bima ngelihatin punggung adiknya yang pergi, lalu menghela napas.

Dia bersandar lagi ke kasur, tersenyum tipis. “Adik gue… ternyata masih inget kalo gue ini kakaknya.”

Setelah Nayla kabur keluar kamar dengan wajah masih merah, Bima sempat bengong sendirian. Tangannya yang diperban terasa berat, tapi entah kenapa hatinya lumayan ringan. Jarang banget dia ngalamin pagi yang begini.

Pelan-pelan dia bangun, jalan ke dapur. Bau tumisan udah nyebar ke seluruh rumah. Di meja makan, ibunya lagi sibuk nyiapin sarapan—telur dadar, sayur bening, sama tempe goreng.

“Udah bangun?” suara ibunya terdengar tanpa nengok, seolah tahu Bima nongol di pintu dapur.

“Iya, Bu,” jawab Bima sambil narik kursi. Dia duduk, nyenderin tubuh yang masih pegal. “Tumben pagi-pagi udah rame gini.”

Ibunya menoleh sekilas, matanya langsung nangkep perban di tangan Bima. Napasnya terdengar berat. “Itu tangan kamu… makin parah nggak?”

Bima buru-buru geleng. “Enggak kok, Bu. Cuma keseleo dikit. Besok juga sembuh.”

Dia berusaha bikin wajahnya setenang mungkin, padahal tiap digerakin dikit aja rasa ngilu langsung nusuk.

Ibunya cuma mendesah panjang, lalu nyodorin piring. “Makan yang banyak. Obat juga jangan lupa. Ibu nggak mau kamu makin keras kepala.”

Bima ngangguk, meski jelas banget dia sebenarnya nggak niat patuh penuh.

Sambil makan, dia sempat lirikin Nayla yang duduk di seberang meja, pura-pura sibuk main HP. Cewek itu sama sekali nggak berani angkat kepala, tapi Bima bisa lihat jelas kupingnya masih merah.

Senyum tipis muncul di bibirnya. “Lo tadi tidur nyenyak kan, Nay?”

Nayla langsung salah tingkah, batuk kecil. “Heh, diem lo. Jangan mulai.”

Ibunya melirik penasaran. “Tidur nyenyak apaan?”

Nayla buru-buru berdiri, ngebawa piringnya ke wastafel. “Udah ah, gue ke kamar dulu. Banyak tugas.” Dia kabur begitu aja, bikin ibunya mengernyit.

Bima ngakak pelan, meski perutnya agak sakit karena ketawa. “Anak itu emang susah banget ngakuin.”

Ibunya hanya geleng kepala, lalu duduk di sampingnya. Tatapannya lembut, tapi ada beban. “Bim… Ibu tau kamu lagi banyak masalah. Tapi jangan paksain diri. Kamu itu masih punya rumah buat pulang. Masih punya keluarga yang peduli.”

Kata-kata itu langsung bikin dada Bima serasa diremas.

Dia nggak bisa jawab, cuma menunduk. Sendoknya berhenti setengah jalan.

Hening beberapa detik, sebelum ibunya menepuk pelan bahunya. “Ibu cuma minta satu: jangan bikin diri kamu hancur gara-gara hal yang nggak sebanding.”

Bima menggertakkan gigi, nahan banyak hal yang pengen diucapin. Tapi akhirnya cuma keluar, lirih, “Iya, Bu.”

1
Cadel_1
Lanjut thor🔥🔥
Cadel_1
Apa ni apa ni apa ni
Amel
lnjuttt
Amel
Suka banget sama cerita aksi sekolah sekolah gini
Aanirji R.: siap kak😉
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!