Asillah, seorang wanita karir yang sukses dan mandiri, selalu percaya bahwa jodoh akan datang di waktu yang tepat. Ia tidak terlalu memusingkan urusan percintaan, fokus pada karirnya sebagai arsitek di sebuah perusahaan ternama di Jakarta. Namun, di usianya yang hampir menginjak kepala tiga, pertanyaan tentang "kapan menikah?" mulai menghantuinya. Di sisi lain, Alfin, seorang dokter muda yang tampan dan idealis, juga memiliki pandangan yang sama tentang jodoh. Ia lebih memilih untuk fokus pada pekerjaannya di sebuah rumah sakit di Jakarta, membantu orang-orang yang membutuhkan. Meski banyak wanita yang berusaha mendekatinya, Alfin belum menemukan seseorang yang benar-benar cocok di hatinya. Takdir mempertemukan Asillah dan Alfin dalam sebuah proyek pembangunan rumah sakit baru di Jakarta. Keduanya memiliki visi yang berbeda tentang desain rumah sakit, yang seringkali menimbulkan perdebatan sengit. Namun, di balik perbedaan itu, tumbuhlah benih-benih cinta yang tak terduga. Mampukah Asillah dan Alfin mengatasi perbedaan mereka dan menemukan cinta sejati? Ataukah jodoh memang tidak akan lari ke mana, namun butuh perjuangan untuk meraihnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 Konfrontasi membara,pengorbanan cinta,dan luka yg membekas
mencoba menghentikan Sinta yang sudah kehilangan akal sehatnya.
Sinta tertawa sinis. "Menyesal? Aku sudah menyesal sejak awal! Menyesal karena tidak membunuh wanita ini sejak dulu!" teriak Sinta, dengan mata yang memancarkan kebencian.
Asillah terdiam, tubuhnya membeku karena ketakutan. Ia tidak menyangka Sinta akan bertindak sejauh ini.
Tanpa diduga, Rian yang ternyata hadir di pesta pertunangan itu dengan pengawalan polisi (karena statusnya sebagai tahanan yang diizinkan menghadiri acara keluarga), melihat kejadian tersebut. Dengan sigap, Rian berlari ke arah Sinta dan berusaha merebut pistol dari tangannya.
Terjadi pergumulan sengit antara Rian dan Sinta. Pistol itu terlepas dari tangan Sinta dan terjatuh ke lantai. Alfin dengan cepat mengambil pistol itu dan mengarahkannya ke Sinta.
"Sinta, menyerahlah! Kau tidak akan bisa lari!" teriak Alfin, dengan nada tegas.
Sinta menatap Alfin dengan tatapan yang penuh amarah. "Kau pikir aku akan menyerah begitu saja? Tidak akan pernah!" teriak Sinta, lalu berlari ke arah Asillah dan mendorongnya hingga terjatuh.
Sinta kemudian mengambil pecahan kaca dari meja dan mengarahkannya ke leher Asillah. "Jika aku tidak bisa bahagia, maka kalian juga tidak boleh bahagia!" teriak Sinta, dengan nada yang histeris.
Alfin panik melihat Asillah dalam bahaya. Tanpa berpikir panjang, Alfin berlari ke arah Sinta dan mendorongnya hingga terjatuh.
Namun, saat Alfin mendorong Sinta, pecahan kaca yang dipegang Sinta mengenai lengannya. Alfin meringis kesakitan, darah segar mengalir dari lukanya.
Asillah yang melihat kejadian itu merasa sangat khawatir. Ia segera bangkit dan menghampiri Alfin.
"Alfin! Kau terluka! Kita harus segera membawamu ke rumah sakit!" kata Asillah, dengan nada yang panik.
"Aku tidak apa-apa, Asillah. Yang penting kau selamat," jawab Alfin, dengan nada yang lemah.
Polisi segera mengamankan Sinta dan membawanya pergi. Alfin kemudian dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan.
Asillah menemani Alfin di rumah sakit. Ia merasa sangat bersalah karena Alfin terluka karena melindunginya.
"Maafkan aku, Alfin. Ini semua salahku. Jika saja aku tidak bertemu denganmu, kau tidak akan terluka seperti ini," kata Asillah, dengan air mata yang membasahi pipinya.
"Jangan menyalahkan dirimu sendiri, Asillah. Aku melakukan ini karena aku mencintaimu. Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu," jawab Alfin, dengan nada yang lembut.
Asillah memeluk Alfin dengan erat. Ia merasa sangat beruntung memiliki Alfin di sisinya.
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, Alfin akhirnya diperbolehkan pulang. Asillah merawat Alfin dengan penuh kasih sayang. Ia tidak ingin Alfin merasa kesakitan atau kekurangan apapun.
Namun, kejadian itu meninggalkan luka yang membekas di hati Asillah. Ia merasa trauma dan takut untuk menjalin hubungan dengan siapapun.
Alfin menyadari bahwa Asillah merasa trauma. Ia berusaha untuk menghibur dan meyakinkan Asillah bahwa ia akan selalu ada untuknya.
"Aku tahu kau merasa takut, Asillah. Tapi, aku janji aku akan selalu melindungimu. Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu lagi," kata Alfin, dengan nada yang meyakinkan.
Asillah menatap Alfin dengan tatapan yang penuh cinta. Ia percaya pada Alfin. Ia tahu Alfin akan selalu ada untuknya.
Beberapa bulan kemudian, Asillah dan Alfin akhirnya menikah. Pernikahan mereka diadakan secara sederhana dan dihadiri oleh keluarga dan teman-teman dekat mereka.
Saat pernikahan berlangsung, Asillah merasa sangat bahagia. Ia merasa seperti mimpi buruk yang selama ini menghantuinya akhirnya berakhir.
Ia tahu bahwa masa depan tidak selalu mudah. Akan ada banyak tantangan dan rintangan yang harus mereka hadapi.
Namun, ia yakin bahwa jika mereka saling mencintai dan saling mendukung, mereka akan bisa melewati semua itu bersama-sama.
Setelah menikah, Asillah dan Alfin memulai kehidupan baru mereka. Mereka berdua bekerja keras untuk mencapai impian mereka.
Asillah kembali menekuni bisnis kulinernya. Ia berhasil mengembangkan bisnisnya dan membuka beberapa cabang di kota-kota besar.
Alfin juga berhasil meraih kesuksesan dalam karirnya sebagai seorang dokter. Ia menjadi dokter yang terkenal dan dihormati oleh banyak orang.
Mereka berdua hidup bahagia dan harmonis. Mereka saling mencintai dan saling mendukung dalam segala hal.
Suatu hari, Asillah merasa mual dan pusing. Ia kemudian memeriksakan diri ke dokter dan ternyata ia hamil.
Asillah sangat bahagia mendengar kabar itu. Ia segera memberitahu Alfin tentang kehamilannya. Alfin juga sangat bahagia mendengar kabar itu. Ia memeluk Asillah dengan erat dan menciumnya dengan penuh cinta.
"Aku sangat bahagia, Asillah. Aku tidak sabar untuk menjadi seorang ayah," kata Alfin, dengan mata yang berbinar-binar.
"Aku juga sangat bahagia, Alfin. Aku tidak sabar untuk menjadi seorang ibu," jawab Asillah, dengan senyum yang merekah di wajahnya.
Selama masa kehamilan, Alfin selalu menjaga dan merawat Asillah dengan penuh perhatian. Ia tidak ingin Asillah merasa kelelahan atau kekurangan apapun.
Setelah sembilan bulan mengandung, Asillah akhirnya melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat dan tampan. Mereka memberi nama bayi itu Arya, sebagai bentuk penghormatan kepada Arya yang telah membantu mereka mengungkap kebenaran.
Kehadiran Arya semakin melengkapi kebahagiaan Asillah dan Alfin. Mereka berdua sangat menyayangi Arya dan berusaha untuk memberikan yang terbaik untuknya.
Mereka membesarkan Arya dengan penuh kasih sayang dan perhatian. Mereka mengajarkan Arya tentang nilai-nilai kehidupan yang baik dan benar.
Arya tumbuh menjadi anak yang cerdas, baik hati, dan berbakti kepada orang tua. Asillah dan Alfin sangat bangga dengan Arya.
Beberapa tahun kemudian, Asillah dan Alfin dikaruniai seorang anak perempuan yang cantik dan lucu. Mereka memberi nama anak itu Sinta, sebagai bentuk pengampunan kepada Sinta yang telah menyakiti mereka.
Kehadiran Sinta semakin menambah kebahagiaan keluarga Asillah dan Alfin. Mereka berempat hidup bahagia dan harmonis.
Suatu hari, saat Asillah dan Alfin sedang bermain dengan Arya dan Sinta di taman, tiba-tiba datang seorang wanita yang tidak asing bagi Asillah. Wanita itu adalah Renata.
Renata tampak berbeda dari terakhir kali Asillah bertemu dengannya. Ia terlihat lebih tenang dan damai.
"Asillah... Alfin... apa kabar?" sapa Renata, dengan senyum yang tulus.
"Kami baik-baik saja, Renata. Apa yang membawamu ke sini?" tanya Asillah, dengan nada yang ramah.
"Aku hanya ingin meminta maaf kepada kalian atas semua yang telah aku lakukan di masa lalu. Aku tahu aku sudah menyakiti kalian. Aku harap kalian bisa memaafkanku," kata Renata, dengan nada yang penuh penyesalan.
"Kami sudah memaafkanmu sejak lama, Renata. Kami senang kau sudah berubah menjadi orang yang lebih baik," jawab Asillah, dengan senyum yang tulus.
"Terima kasih, Asillah. Aku sangat menghargai itu," kata Renata.
Renata kemudian melihat ke arah Arya dan Sinta. "Siapa mereka?" tanya Renata.
"Mereka adalah anak-anak kami. Yang laki-laki bernama Arya, dan yang perempuan bernama Sinta," jawab Asillah.
Renata tersenyum kepada Arya dan Sinta. "Kalian berdua sangat lucu dan tampan. Aku yakin kalian akan menjadi anak-anak yang hebat," kata Renata.
"Terima kasih," jawab Arya dan Sinta, dengan nada yang sopan.
Renata kemudian berpamitan dan pergi meninggalkan Asillah, Alfin, Arya, dan Sinta. Asillah merasa lega karena Renata sudah meminta maaf kepadanya.
Ia tahu bahwa masa lalu tidak bisa diubah. Namun, ia bisa belajar dari masa lalu dan berusaha untuk menjadi orang yang lebih baik di masa depan.
Asillah menatap Alfin, Arya, dan Sinta dengan tatapan yang penuh cinta. Ia merasa sangat beruntung memiliki mereka di sisinya.
Ia tahu bahwa jodoh tidak akan lari ke mana. Jika memang sudah ditakdirkan untuk bersama, maka seberat apapun rintangan yang menghadang, mereka pasti akan bersatu kembali.