NovelToon NovelToon
Skandal Tuan Playboy

Skandal Tuan Playboy

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Mafia / CEO / Playboy / Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author:

Sebastian Adiwangsa. Nama yang selalu bergaung dengan skandal, pesta malam, dan perempuan yang silih berganti menghiasi ranjangnya. Baginya, cinta hanyalah ilusi murahan. Luka masa lalu membuatnya menyimpan dendam, dendam yang membakar hasratnya untuk melukai setiap perempuan yang berani mendekat.

Namun, takdir memiliki caranya sendiri. Kehadiran Senara Ayunda, gadis sederhana dengan kepolosan yang tak ternodai dunia, perlahan mengguncang tembok dingin dalam dirinya. Senara tidak seperti perempuan lain yang pernah ia kenal. Senyumnya membawa cahaya, tatapannya menghadirkan kehangatan dua hal yang sudah lama terkubur dari hidup Sebastian.

Namun, cara Sebastian menunjukkan cintanya pada Senara bermula dari kesalahan.

Amarah Bastian & Luka Sena

Malam itu menjadi malam yang menyakitkan untuk Sena. Bastian memasukinya secara paksa di tengah kondisi tubuh Sena yang rapuh dan sedang mengandung.

Lelaki itu semakin liar, seolah semakin mabuk akan setiap inci tubuh Sena. Sementara Sena hanya bisa menangis, isakannya pecah, raungnya memenuhi kamar dalam permainan bejat yang tidak bisa ia hentikan.

Sampai akhirnya Bastian menghentikan gerakannya sejenak.

“Kenapa menangis?” tanyanya datar, namun sorot matanya masih menyala dengan amarah dan nafsu.

Sena hanya menangis, suaranya lirih namun memukul telinga siapapun yang mendengar tangisan sakit dan penuh luka itu.

“Tadi kau begitu berani menantangku. Kenapa sekarang menangis, hm?” tanya Bastian lagi, nadanya masih bergetar oleh emosi yang belum padam.

Sena tetap diam.

“JAWAB AKU!” teriaknya, kali ini keras dan menusuk udara.

“Ka… kamu jahat,” ucap Sena di sela-sela isaknya.

“Aku memang jahat,” Bastian mendesis, “tapi kau yang membuatku seperti ini!”

“Kamu… menyakiti kami lagi,” lirih Sena, matanya melirik ke perutnya yang membuncit lemah.

Kalimat itu.

Sekejap, Bastian seperti tersadar. Nafasnya tercekat, tubuhnya menjauh, meski bara amarah di dadanya masih belum benar-benar padam. Egonya tergores dan terhina oleh sikap dingin dan seolah tak peduli dari wanita yang kini ia buat terluka.

“Kau bicara seperti itu seolah tidak tahu kesalahanmu?” suara Bastian kembali rendah, menahan gejolak.

Sena terisak, dadanya naik turun, dan kalimat Bastian barusan membuatnya mengernyit bingung.

“Aku? Memang aku salah apa?”

“Kau bahkan tidak menyadarinya?” suara Bastian meninggi lagi, tubuhnya kembali mendekat.

Sena menggeleng pelan.

“Kau!” tunjuk Bastian, nadanya penuh tuntutan.

“Kenapa kau bersikap sangat tidak peduli padaku, ha? Aku berusaha jadi lebih baik, setidaknya demi anak yang kau kandung itu!”

Tatapannya tajam, menembus mata Sena yang masih berair.

“Tapi kau… kau seperti sengaja tidak menghargai usahaku! Sudah kubilang, apa pun kemauanmu, sampaikan padaku! Tapi kau malah pergi bekerja, padahal aku mampu memberikan semuanya!”

“Kau marah dan mengabaikanku karena aku menyuruhmu menghabiskan makanan yang kau titip semalam. Kau pikir kau siapa di sini? Ratu?” ucapnya lagi, lebih tajam.

“Dan sekarang… kau bersikap seolah tak peduli padaku, padahal tepat di depan matamu sendiri, aku bersetubuh dengan wanita lain!”

Sena diam, seolah semua kata Bastian hanya jadi hantaman sunyi yang ia telan dalam-dalam.

“Bereaksi lah Sena! Sedikit saja! Kau melukai egoku dengan sikap beku dan diam bodohmu itu!” Bastian menutup kalimatnya, nada akhirnya seperti cambuk terakhir yang ia hempaskan.

Benar. Ego pria itu tersakiti.

Sena tetap memilih diam. Tidak ada kata yang cukup untuk menjawab semuanya.

Bastian mencengkeram dagu Sena, menariknya paksa, mendekatkan wajahnya dengan kasar.

“Jawab aku! Kenapa kau seperti itu? Apa maumu, ha?”

Akhirnya Sena bersuara, terbata-bata di antara tangisnya yang ditahan.

“Aku… aku merasa… aku tidak berhak atas apa pun yang ada di sini. Aku juga tidak berhak atas dirimu…”

Kalimatnya terhenti sesaat, suaranya bergetar lemah.

“Kamu menikahiku karena anak ini di perutku. Jadi aku tidak berhak atas apa pun. Aku tidak bisa melarangmu, aku tidak bisa mengaturmu, aku bahkan juga tidak mau merepotkanmu.”

Sena menarik napas di sela isaknya.

“Kamu mau bersama siapapun, itu urusanmu. Aku merasa tidak berhak menuntutmu. Selama kamu bertanggung jawab pada anak ini, memberiku tempat tinggal dan pelayanan yang nyaman… itu sudah lebih dari cukup bagiku. Aku tidak berhak meminta apa pun lagi.”

Bastian terdiam.

Wanita di depannya ini… tidak mau memanfaatkan dirinya sedikit pun, padahal ia bisa melakukannya kapan saja.

“Jujurlah,” akhirnya Bastian kembali bersuara, lebih tenang, “apa yang kau rasakan ketika melihatku bersama wanita lain di hadapanmu seperti tadi?”

“Aku… aku… aku merasa terganggu,” ucap Sena, lirih, pelan, jujur namun patah.

Bastian tersenyum miring, sinis, tapi segera berubah. Tangannya terangkat, membelai kepala Sena, jemarinya mengusap rambut itu lembut .

Kontras dari badai yang barusan menghancurkan keduanya.

Bastian bangkit, berjalan ke lemari, mengambil beberapa baju tidur bersih. Melihat baju yang dipakai Sena kini, robek, kusut, nyaris tak berbentuk, membuatnya bergumam pelan dalam hati. Ia yang membuatnya seperti itu.

Ia mendekat, ingin memakaikan baju itu, tapi Sena menahan.

“Aku mau mandi dulu.”

“Tidak. Ini sudah tengah malam.”

“Tapi aku tidak bisa tidur dalam keadaan seperti ini,” ucap Sena lirih.

Bastian menghela napas berat. “Aku akan siapkan air hangat dulu.”

“Aku bisa sendiri, Bas.”

“Diam,” ucapnya tajam, singkat, tak memberi ruang debat.

Bastian pun menyiapkan air hangat di kamar mandi. Setelah dirasa cukup, ia membawa Sena masuk, membiarkan wanita itu membersihkan tubuhnya yang masih menyimpan sisa luka malam ini.

Lima menit berlalu.

Bastian mengetuk pintu.

“Jangan lama-lama, ini sudah tengah malam”

Tidak ada sahutan apapun dari Sena.

“Kalau lima menit lagi kau belum keluar, aku yang akan memandikanmu, Sena” suaranya mengancam.

Tak ada sahutan.

“Sen—”

Pintu terbuka. Sena sudah keluar dengan kimono melekat di tubuhnya. Tanpa banyak kata, ia berjalan ke walk-in closet, mengganti baju dengan yang sudah disiapkan Bastian, lalu kembali ke ranjang king size itu.

“Tidur,” ucap Bastian singkat.

Dan malam pun berakhir dalam keheningan panjang yang menyiksa.

...****************...

Pagi hari di Penthouse terasa lengkap.

Di meja makan saat ini, sudah duduk Bastian, Sena, dan juga Ravian.

Entah kapan Ravian pulang, tiba-tiba saja ia sudah ada di sana, memperhatikan setiap gerak-gerik Sena dengan seksama.

Sena menyantap sarapannya dengan lahap, seolah tak terjadi apa-apa, namun matanya sembab, jelas ia habis menangis semalam.

Sena memang tidak pandai menyembunyikan tangisannya. Mau sebentar atau lama, matanya selalu bengkak, dan selalu mudah terlihat.

“Kenapa matamu sembab, Sena?” tanya Ravian, nadanya datar namun penuh selidik.

Sena buru-buru mengangkat kepalanya, wajahnya panik, bingung harus menjawab apa.

Ravian melirik Bastian, tatapannya tajam, penuh tanda tanya.

“Semalam dia menangis,” jawab Bastian santai, seolah itu bukan hal besar.

“Kau menyakitinya, Bas?” tanya Ravian, kali ini nadanya berubah dingin.

“Kak,” sela Sena cepat. Ini masih pagi, dan pertengkaran di meja makan bukan yang ia inginkan.

“Ya. Aku menyakitinya,” ucap Bastian jujur, tanpa membela diri, “tapi kami sudah baikan,” lanjutnya tenang, nyaris seperti pernyataan yang menutup pembicaraan.

Ravian menatap tak percaya. “Benar itu, Sena?”

“Benar,” Sena buru-buru tersenyum, meski matanya masih menyimpan sisa perih.

“Kak Ravian, lanjut makan, ya,” ucapnya, mencoba menenangkan suasana.

...****************...

Sena saat ini sudah berada di kampusnya, mengurus pendaftaran sidang. Jadwal sudah keluar, dan hari ini ia mempersiapkan semua berkas yang dibutuhkan.

Ia berjalan di area kampus dengan wajah sumringah, tangannya sesekali menyentuh perutnya yang kini sudah tampak menonjol.

“Senaa!” panggil Clea, riang.

“Sena, kamu baik-baik saja, kan?” tanya Clea, langsung pada intinya.

Sejak Sena berhenti bekerja di kafe ibunya, mereka tak pernah bertemu, hanya saling berhubungan lewat pesan singkat dan media sosial.

“Baik dong, Clea,” jawab Sena dengan senyum tulus.

Pandangan Clea jatuh pada perut Sena, matanya berbinar.

“Ahh, baby\~” ucapnya sambil mengelus perut itu dengan sayang. “Baby, kamu ikut mama nyiapin sidang, ya?” katanya manja, berbicara langsung ke perut Sena.

“Oh iya, sudah tahu jenis kelaminnya?” tanya Clea.

“Belum, masih tiga bulan, belum kelihatan. Lagian aku juga belum periksa lagi ke dokter,” jawab Sena.

Clea hanya mengangguk, masih saja mengelus lembut perut Sena dengan senyum lebar.

Hari itu berjalan lancar. Semua berkas sudah lengkap. Minggu depan, sidang skripsinya akan digelar.

Sena tak pernah menyangka, sidang yang selama ini ia bayangkan, ternyata kini ia jalani dengan satu hal yang tak pernah terduga, seorang anak kecil yang tumbuh di rahimnya, yang diam-diam menjadi sumber tenaganya.

Sungguh, tak ada yang tahu, masa depan bisa berubah begitu cepat.

...----------------...

^^^Cheers, ^^^

^^^Gadis Rona^^^

1
Rizky Muhammad
Aku merasa terkesima sampai lupa waktu ketika membaca karyamu, thor. Jangan berhenti ya! 🌟
Gadis Rona: Hai terima kasih sudah baca karya pertamaku bikin aku makin semangat nulis🥰
total 1 replies
elayn owo
Penuh empati. 🤗
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!