bercerita tentang seorang gadis buruk rupa bernama Nadia, ia seorang mahasiswi semester 4 berusia 20 tahun yang terlibat cinta satu malam dengan dosennya sendiri bernama Jonathan adhitama yang merupakan kekasih dari sang sahabat, karna kejadian itu Nadia dan Jonathan pun terpaksa melakukan pernikahan rahasia di karenakan Nadia yang tengah berbadan dua, bagaimana kelanjutan hidup Nadia, apakah ia akan berbahagia dengan pernikahan rahasia itu atau justru hidupnya akan semakin menderita,,??? jangan lupa membaca 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19
Kini mereka telah tiba di depan rumah milik Nadia. Namun langkah Nadia terhenti bahkan sebelum kakinya menyentuh tanah. Matanya membelalak, dan napasnya tercekat.
Dinding rumahnya. yang biasanya bersih dan terawat, kini dipenuhi oleh coretan mengerikan berwarna merah menyala, seolah dicat dengan menggunakan darah.
Tulisan-tulisan itu mencolok dan menghantui:
“AKU MENGAWASIMU.”
“KAMU TIDAK AKAN PERNAH AMAN.”
Tubuh Nadia gemetar. Matanya menatap lekat coretan itu, seakan tak percaya bahwa ancaman yang tadi hanya lewat pesan kini berubah nyata, menjelma pada dinding tempat tinggalnya sendiri.
"Kak... Alex..." suaranya bergetar, hampir seperti bisikan. Ia masih duduk di dalam mobil, tak sanggup membuka pintu.
"Lihat itu..."
Alex, yang sedang bersiap turun, segera berbalik. Tatapannya tajam menyorot ke arah dinding. Seketika ekspresinya berubah. Wajah tenangnya kini dipenuhi ketegangan.
Tanpa banyak kata, ia segera keluar dan berdiri tegap di depan rumah, matanya menyapu sekeliling lingkungan. Gerak-geriknya waspada, seperti sedang mengendus keberadaan bahaya yang tersembunyi.
“Diam di sini, Nona,” ujarnya cepat namun tetap tenang. Ia membuka bagasi mobil, mengeluarkan senter kecil dan sarung tangan, lalu mendekati dinding itu.
Nadia menelan ludah. Tangannya mencengkeram erat tas di pangkuannya, tubuhnya nyaris tak bisa digerakkan. Ia merasa seperti tokoh utama dalam film horor, bedanya, ini nyata, dan ia tak punya sutradara yang bisa menghentikan adegan menakutkan ini kapan pun ia mau.
Beberapa menit kemudian, Alex kembali masuk ke mobil, wajahnya masih serius.
"Ini peringatan. Bukan sekadar iseng," katanya singkat.
“Saya akan menghubungi Tuan Jonathan. Dan mulai malam ini, Anda tidak bisa tinggal di sini lagi. Tempat ini sudah tidak aman.”
Nadia menoleh pelan, menatap rumah kecilnya yang dulu meski sederhana, memberi ketenangan. Kini tempat itu sudah ternoda, dan tak bisa lagi disebut sebagai rumah.
“Lalu… aku harus tinggal di mana?” tanyanya, suara lirih, penuh kelelahan dan ketakutan yang mulai tak tertahankan.
Alex menatapnya beberapa detik sebelum menjawab.
“Di tempat yang bisa menjamin keselamatan Anda. Dan hanya ada satu tempat untuk itu…”Ia menghela napas pelan.
“Apartemen milik Tuan Jonathan.”
Nadia terdiam. Jantungnya berdetak lebih cepat. Mendengar nama itu saja sudah cukup membuat dadanya sesak, apalagi harus tinggal di tempat yang menjadi pusat dari semua kekacauan ini.
“Aku nggak mau ke sana…” gumamnya, hampir tak terdengar.
Alex menoleh padanya. “Saya mengerti, Nona. Tapi saya tidak bisa mengambil risiko. Setelah coretan ini, kita tak tahu apa langkah selanjutnya dari orang yang mengancam Anda. Ini bukan sekadar gertakan.”
“Aku bisa tinggal di hotel atau tempat lain…” Nadia mencoba mencari celah, menolak dengan halus.
“Jonathan tidak akan menyetujui itu.” Alex menatap Nadia dengan sorot yang lembut, namun tegas.
“Dan jika saya membiarkan Anda pergi ke tempat yang tidak dijaga, maka saya yang akan disalahkan.”
Nadia mengalihkan pandangan, menatap keluar jendela mobil. Perasaan tak berdaya kembali mencengkeramnya, seperti jerat tali yang semakin erat setiap ia mencoba melawan.
“Berapa lama?” tanyanya akhirnya.
“Saya tidak tahu pasti. Sampai situasinya dianggap aman.”
Jawaban itu tak memberikan kelegaan apa pun.
Mobil kembali melaju, meninggalkan rumah yang kini tak lagi bisa disebut tempat pulang. Selama perjalanan, Nadia hanya diam, pikirannya melayang ke banyak hal. bayi dalam kandungannya, rumah yang dicoret-coret dengan pesan ancaman, Jonathan yang semakin menguasai hidupnya, dan perasaan yang pelan-pelan tumbuh tanpa izin… perasaan yang tak seharusnya ada.
...
Apartemen Jonathan berada di lantai atas sebuah bangunan mewah yang dijaga ketat. Satpam membungkuk hormat ketika mobil Alex memasuki pelataran parkir. Lift pribadi mengantar mereka langsung ke lantai paling atas.
Ketika pintu lift terbuka, Nadia seperti melangkah ke dunia lain. Apartemen itu luas, bersih, dan terkesan dingin. Warna-warna netral mendominasi, seolah mencerminkan kepribadian pemiliknya yang penuh rahasia. Sebuah unit Apartemen yang berbeda dari yang pernah ia datangi.
Alex membimbingnya masuk.
“Silakan, Nona. Anda bisa pilih kamar mana saja, kecuali yang paling ujung. itu kamar Tuan Jonathan.”
Nadia hanya mengangguk, matanya menyapu ruangan. Entah kenapa tempat ini membuatnya merasa seperti tawanan istimewa. diperlakukan dengan baik, tapi tetap tak bebas.
Saat Alex pamit untuk menyelesaikan suatu urusan, dan meninggalkan nya seorang diri. Nadia melangkah masuk ke kamar yang dipilihnya. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sebuah ruangan bernuansa hangat dengan pencahayaan temaram yang menenangkan. Tirai tipis melambai pelan tertiup angin dari jendela yang sedikit terbuka. Dindingnya dihiasi lukisan abstrak bernuansa biru kelabu, sementara perabotannya tampak mewah namun sederhana. ranjang besar dengan sprei putih bersih, meja kecil dengan vas bunga segar, dan sofa empuk di sudut ruangan.
Untuk sesaat, Nadia lupa bahwa ia sedang diburu. Bahwa hidupnya sedang dalam bahaya. Tempat ini begitu nyaman, seolah mengundangnya untuk sejenak meletakkan beban yang selama ini menekannya.
Ia berjalan pelan ke dekat jendela, membuka tirai lebar-lebar. Pemandangan kota di malam hari terlihat seperti hamparan cahaya bintang yang jatuh ke bumi. Angin malam menyapa wajahnya, membawa aroma samar lavender dari diffuser di sudut ruangan. Semua terasa tenang. terlalu tenang, hingga hampir menipu.
Namun ketenangan itu hancur dalam sekejap.
Drrt... Drrt...
Suara notifikasi esan masuk, dari ponsel Nadia yang berada di dalam tas, yang ia letakan di atas ranjang. Segera ia berjalan menghampiri tasnya untuk mengambil benda pipih tersebut.
Satu pesan masuk. Nomor tak dikenal.
Matanya melebar saat membaca pesan tersebut. Tangannya gemetar dan hampir membuat ponsel dalam genggaman nya terjatuh.
("Kemanapun kamu pergi, aku akan selalu menemukanmu.")
Nadia membeku. Matanya menatap layar ponsel tanpa berkedip. Tapi sebelum ia sempat memproses maknanya sepenuhnya, pesan kedua masuk. Kali ini berupa foto.
Jari-jarinya seolah bergerak sendiri saat menyentuh gambar itu.
Matanya langsung membelalak.
Foto itu... diambil dari kejauhan, namun sangat jelas memperlihatkan jendela kamarnya saat ini. tirai yang baru saja ia buka, cahaya temaram dari lampu kamar, dan dirinya sendiri yang berdiri di balik jendela.
“Tidak…” bisiknya. Tubuhnya mulai gemetar hebat. Nafasnya memburu.
Ia berbalik cepat, menutup kembali tirai dengan tangan bergetar. Kemudian ia merunduk di bawah jendela, menjauh dari pandangan luar, sembari mencengkeram ponsel erat-erat di dadanya.
Tangannya berusaha menghubungi Jonathan, tapi entah mengapa sinyal menghilang sesaat. Pesan gagal terkirim.
Ketika akhirnya ia berhasil menghubungi nomor Jonathan, hanya suara mailbox yang menjawab.
“Angkat… angkat… tolong angkat,” bisik Nadia, nyaris menangis.
Rasa panik menjalar dalam tubuhnya. Siapa pun itu, dia tahu Nadia ada di sini. Bahkan, dia mungkin sedang mengawasinya sekarang.
Dan yang lebih menakutkan lagi… dia tahu Nadia sedang sendirian.
Tok... tok... tok...
Suara ketukan itu pelan, tapi justru itulah yang membuatnya terasa lebih mencekam. Nadia menahan napas. Matanya menatap ke arah pintu kamar, tak berani bergerak. Pikiran buruk langsung memenuhi kepalanya. Jangan-jangan…
Ketukan terdengar lagi. Kali ini sedikit lebih keras.
Tok. Tok. Tok.
Tubuh Nadia seolah terpaku di tempat. Dalam hening yang menyesakkan, ia hanya bisa mendengar detak jantungnya yang menggila. Ponsel masih di tangannya, tapi sinyal belum kembali. Ia mencoba mengatur napas, berusaha tenang, walau tangan dan kakinya terasa dingin seperti es.
Lalu sebuah suara terdengar dari balik pintu.
" Nadia," suara seseorang terdengar dari arah luar.
" Ini aku, buka pintunya,"
" Pak Nathan," ucap Nadia lirih, dan mulai merangkak menjauh dari bawah jendela. Berjalan perlahan menuju pintu, dan dengan tangan yang masih gemetar ia membuka pintu itu.
mungkinn
jgn bodoh trlalu lm jo.... kekuasaan jga hrtamu slm ini tk mmpu mngendus jejak musuhmu yg trnyata org trsayangmu🙄🙄
klo nnti nadia bnyak uang.... bkalan balik lgi tuh wujud asli nadia....
krna sejatinya nadia dlunya cantik... hnya krna keadaan yg mmbuat dia tak mungkin merawat dirinya....
jdi kurang"i mncaci & merendhkn ibu dri ankmu....