Pak jono seorang pedagang gorengan yang bangkrut akibat pandemi.
menerima tawaran kerja sebagai nelayan dengan gaji besar,Namun nasib buruk menimpanya ketika kapalnya meledak di kawasan ranjau laut.
Mereka Terombang-ambing di lautan, lalu ia dan beberapa awak kapal terdampar di pulau terpencil yang dihuni suku kanibal.
Tanpa skill dan kemampuan bertahan hidup,Pak Jono harus berusaha menghadapi kelaparan, penyakit,dan ancaman suku pemakan manusia....Akankah ia dan kawan-kawannya selamat? atau justru menjadi santapan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ilalangbuana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
oprasi penyelamatan ilegal
Gelombang laut di sisi barat pulau menghantam pelan,memecah diri di karang-karang gelap yang terjal dan tajam.
Di atas permukaan air, empat sosok berpakaian gelap bergerak senyap di perahu karet kecil.
Mesin tempel dimatikan ratusan meter dari pantai, hanya mengandalkan dayung untuk menghindari suara bising.
Letnan Surya memimpin di depan,diikuti oleh Serka Adi, Prajurit Wira, dan Prajurit Bimo. Mereka semua sudah melepas lambang resmi dari pakaian,ini bukan misi resmi, ini misi tanpa jejak.
“menurut informasi yang di dapat, jalur barat... lebih longgar keamanannya dan terkadang tanpa penjagaan.
Tapi hati-hati,terpantau dari radar...lepas pantai tepi barat terdapat tebing curam,”
bisik Surya sambil memandang pantai yang diselimuti kabut tipis.
Begitu perahu menyentuh pasir basah, keempatnya langsung menariknya ke balik semak rendah untuk menyamarkannya.
Langkah mereka kemudian menapaki tanah berpasir, yang perlahan berubah menjadi tanah hutan basah dengan dedaunan tebal dan akar-akar besar.
Suara laut segera digantikan oleh dengungan serangga malam,cicit kelelawar dan gesekan ranting yang tertekan angin.
Setiap langkah menimbulkan rasa waspada.
bukan hanya karena kemungkinan bertemu suku setempat, tetapi juga karena aura pulau ini seakan menolak kedatangan mereka.
Sekitar tiga ratus meter dari pantai,mereka menemukan bekas api unggun yang sudah padam, Arang-arang hitam masih hangat jika disentuh,pertanda bahwa seseorang baru saja berada di sini beberapa jam lalu.
“Bukan orang kita...!”
gumam Wira sambil mengamati jejak kaki di tanah. “Jejaknya terlalu kecil...banyak..perempuan?”
Surya menunduk, menyibak sedikit daun yang menutupi tanah.
Ada bercak merah kecokelatan, samar di bawah cahaya senter yang dibatasi filter merah.
“Darah!!”
kata Adi pelan.
Mereka mengikuti jejak itu, yang membawa ke sebuah area terbuka di bawah pohon kelapa miring. Dan di sanalah mereka menemukannya.
sisa-sisa kamp suku perempuan.
Tenda-tenda sederhana dari daun kelapa sudah porak-poranda, tiang-tiangnya patah seperti disambar badai.
Barang-barang dari anyaman berserakan, beberapa sobek dan berlumut.
Namun yang membuat dada mereka terasa sesak adalah pemandangan di tengah kamp,tiga tubuh perempuan suku, terbujur di tanah, kulit mereka pucat dan dingin, pakaian compang-camping, dengan luka sayatan di leher.
Bimo memalingkan muka, menahan rasa mual.
“Siapa yang tega?”
Surya memeriksa luka-luka itu.
“Tajam. Bukan binatang...ini ulah manusia!”
Di kejauhan terdengar suara ranting patah.
Keempatnya langsung merunduk, memadamkan senter,hanya mengandalkan cahaya bulan samar yang menembus celah dedaunan.
Adi memberi isyarat tangan
"Terpantau dua orang bergerak cepat"
Mereka menahan napas.
Bayangan dua sosok berkulit gelap dan bersenjatakan tombak melintas di tepi kamp. Bahasa mereka terdengar seperti gumaman rendah, cepat, dan marah,seperti sedang memburu sesuatu atau seseorang.
Surya memberi tanda mundur perlahan.
Misi mereka belum sampai inti, dan ketahuan sekarang berarti mati sia-sia.
Mereka mundur perlahan, lalu berputar mengikuti kontur tanah agar tetap tersembunyi.
Arah yang diambil bukan lagi menuju pantai, melainkan menelusuri celah-celah semak yang menurun menuju sebuah lembah kecil.
Dron terus mengintai dari atas, mengirimkan citra termal yang berkedip pada layar.
zona panas yang pernah terlihat sebelumnya kini tampak bergerak, membentuk pola samar di antara pepohonan.
“Terus maju dan tetap waspada,hati hati dengan jebakan!”
bisik Letnan Surya.
“Perhatikan tanah dan akar. Mereka biasanya pasang perangkap di sekitaran itu! ”
Langkah kaki mereka jadi lebih hati-hati.
Akar-akar yang menonjol, lubang-lubang kecil tertutup daun,semua bisa jadi jebakan.
Mereka memeriksa tanah dengan ujung tongkat masing-masing sebelum melangkah.
Suasana hutan terasa berat, seolah setiap batang pohon menahan napas.
Sekitar lima ratus meter memasuki hutan, mereka menemukan sesuatu yang membuat darah serentak membeku.
Di sebuah lapangan kecil yang dikelilingi pohon-pohon, terpampang barisan mayat.
Bukan tiga atau empat orang..
bukan satu atau dia orang, belasan,mungkin puluhan tubuh tergeletak, sebagian sudah setengah terkubur tanah,sebagian lain hanya tersandar di antara rumpun pakis.
Kulitnya pucat, sebagian hangus.
beberapa tubuh tampak dirajam,beberapa lagi dipotong dengan pola yang rapi seperti ritual.
Wira menelan ludah, napasnya terdengar berat di headset.
“Astaga...ini lebih besar dari yang kita kira.”
Adi merunduk, memeriksa salah satu korban.
“Luka-lukanya...bukan serangan hewan. Ini perbuatan terorganisir,Lihat tanda ini!”
Ia menyibakkan bagian dada dan mendapati ukiran kecil di kulit,bekas benda panas yang membakar pola lingkaran.
“Simbol.”
Bimo menghelanapas panjang perlahan.
“Ini tidak cuma soal perang antar suku. Diduga ada kegiatan ritual di baliknya!”
Letnan Surya menggerakkan tangan memberi isyarat untuk memeriksa area lebih jauh.
Mereka membagi tugas.
dua orang bertahan menjaga perimeter, dua orang menelusuri ke arah bekas gubuk,mungkin ada dokumen, peralatan, atau jejak siapa yang melakukan ini.
Semakin jauh mereka berjalan, bukti-bukti kebrutalan semakin menumpuk,alat anyaman dicabik-cabik, koleksi kerang yang biasa dipakai untuk upacara berserakan, bekas darah di dahan, dan,yang membuat bulu kuduk berdiri,potongan kain dengan noda merah yang sengaja digantung di cabang pohon seperti bendera peringatan.
Di bawah satu pohon, Adi menemukan sesuatu lain.
sebuah papan kayu kecil dengan goresan-gorengan simbol yang sama seperti pada tubuh korban,lingkaran bertumpuk dengan garis memancarkan ke bawah.
Namun keterangan yang terpahat tampak sudah lama, warnanya tertutup lumut, bukan tanda baru.
“Mereka pakai simbol yang sama berulang-ulang..”
bisik Adi, matanya menyipit.
“Ini bukan hanya pemerkosaan wilayah,ini semacam. . penandaan. Seperti klaim. Menandai bahwa area ini 'milik' sesuatu!”
Wira menambah dengan nada pelan.
“Atau menandai korban sebagai 'persembahan'.”
Ucapannya menggantung berat di udara.
Mereka memutuskan untuk merekam segala temuan secara cepat.
Kamera kecil di helm memutar,mengambil footage, sementara drone merekam dari udara.
Semua bukti akan dikirim pulang, jika mereka bisa kembali.
Namun kegelisahan tumbuh.
jumlah mayat jauh melebihi data awal yang diperkirakan.
Siapa yang melakukan ini, dan mengapa?
Saat mereka bergerak menyingkap ke samping gubuk utama, suara langkah lain terdengar bergema dari arah barat.
Keempatnya membeku.
Dalam hening itu terdengar pula suara nyanyian rendah, terpatah-patah, bukan bahasa yang mereka kenal.
Nyanyian itu mengandung nada pilu sekaligus mengancam, seperti merdu yang memanggil.
“suara apa itu, apakah sebuah ritual?”
bisik Bimo.
“Bukan,”
jawab Surya,
“Lebih tua. Bukan suara manusia biasa.”
Mereka memutuskan mundur ke posisi aman, tapi sebelum sempat meninggalkan celah, dua sosok muncul dari balik pohon, lelaki bersenjata panah. Namun mereka tidak menyerang.
Mereka bertanya dengan bahasa isyarat tegas, lalu menunjuk ke jalur pantai sebagai tanda tanya,siapa mereka dan dari mana asalnya?
Kalau ini pertemuan manusia, mungkin akan ada dialog dan pertukaran informasi.
Namun kedua lelaki itu membawa sesuatu di pundak,bekas luka dan pakaian compang-camping yang jelas bukan dari kelompok perempuan yang mereka temukan tadi.
Mereka tampak kebingungan, ketakutan, seperti pelarian.
Dengan gerakan cepat, mereka mengangkat tangan memberi isyarat perdamaian, dan kemudian menunjukkan arah ke timur, ke arah yang lebih dalam.
Mereka menunjukkan mulut, meniru suara “zzz” seperti sesuatu yang membuat mereka terdiam bila mengatakannya,mimik yang aneh.
Letnan Surya menghela napas pelan.
“Kita tak bisa percayakan orang asing. Tapi reaksinya mengatakan satu hal,ada lebih banyak orang selamat di dalam. Kita harus hati-hati.”
Mereka bernegosiasi singkat,senyap, dengan kombinasi isyarat dan kata-kata pendek Inggris dari Surya. Dua lelaki itu akhirnya menyerahkan selembar kain kecil dengan simbol yang sama. Mereka menirukan suatu gerakan tangan ritual,menempel di dada, menunduk, lalu menunjukkan ke langit lalu ke tanah,seolah memperingatkan sesuatu turun dari atas ke bawah.
“Ritual penandaan,”
bisik Adi.
“Mereka menandai korban... untuk 'diberi' ke sesuatu.”
Malam semakin pekat. Mereka tahu harus segera kembali ke kapal untuk melaporkan temuan, namun juga tahu bahwa meninggalkan begitu saja tak adil bagi kemungkinan korban yang masih hidup.
Tugas penyelamatan menjerit dalam hati mereka,tapi jarak ke titik panas dan keberadaan musuh tak memungkinkan operasi besar-besaran sekarang.
Sebelum mundur, Wira menaruh pita kecil di sebuah dahan sebagai marker.
tanda bahwa tim SAR pernah sampai di sini, posisi yang bisa dijadikan referensi jika mereka kembali. Mereka merekam posisi GPS terakhir dan melipat kamera ke modus hemat baterai.
Ketika mundur, Wira tak sengaja menginjak sesuatu yang menggantung di ranting,sebuah boneka anyaman kecil yang disisipkan oleh suku perempuan sebagai jimat.
Diikat pada boneka ada ruas jari,sepotong kecil,yang membuat Bimo mual. Hawa di sekelilingnya menjadi sedingin es. Semua tahu, boneka semacam itu bukan sekadar jimat; itu tanda peringatan, atau perwakilan korban.
Mereka lalu mengambil keputusan berat kembali ke pantai, kembali ke perahu, dan laporkan temuan. Tapi saat mereka bergerak menjauh,entah karena nasib atau kebetulan,satu suara melengking tiba-tiba memecah keheningan hutan..
Bukan tangisan biasa, namun sebuah lolongan tinggi dari massa,diikuti derap kaki berpuluh-puluh.
Dari celah-celah pepohonan muncul bayangan,bukan manusia semata, melainkan manusia yang tampak berbeda.
tubuh kurus, mata yang memantul, dan wajah seperti ditoreh.
Letnan Surya memberi aba-aba, lari cepat. Mereka berlari menembus semak, menekuk di antara akar,panah melesat di belakang, mengenai pohon dan membuat percikan kecil.
Perahu kecil menunggu, tarikan dayung keras. Mereka meluncur ke laut, napas terengah, tubuh bergetar oleh adrenalin.
Di belakang mereka, hutan bergetar oleh suara ritual yang melanjut,nyanyian yang berubah menjadi raungan perang.
Di layar drone, satu hal terakhir terekam sebelum sinyal terputus, sebuah pilar api kecil yang muncul di tengah kamp,seolah menandai pusat ritual baru,dikelilingi oleh jejak-jejak kaki ratusan orang yang bergerak cepat menjauh.
Di antara mereka terlihat simbol yang sama,di tubuh, di bendera,membuat pesan samar namun jelas.
pulau ini kini diklaim oleh sesuatu, dan klaim itu ditandai dengan darah.
Perahu melaju menjauh.
Mereka menatap ke arah pulau, tubuh masih gemetar.
Tugas selesai separuh,mereka punya bukti, tapi juga membawa ketakutan, apa yang mereka lihat bukan sekadar konflik biasa.
Ada ritual, ada penandaan, ada korban manusia yang tak terhitung. Dan yang lebih menyeramkan,para pelaku sepertinya bukan terorganisir seperti pasukan.
mereka tampak seperti tergerak oleh sesuatu yang lebih tua dan lebih gelap.
Letnan Surya menatap layar monitor sekali lagi, menelan ludah, lalu berkata pelan ke radio,
“Kita kembali. Segera laporkan ini. Dan...kirim tim intel. Ini bukan sekadar konflik antar-suku.”
Di antara debur ombak, pulau itu tampak seperti kerangka yang berasap,sunyi namun penuh ancaman. Mereka masih jauh dari Pak Jono dan dari apa yang sebenarnya terjadi di lembah-lembah terdalam.
Namun satu hal jelas,apa yang mereka temukan malam ini akan mengubah cara operasi selanjutnya,dari misi penyelamatan menjadi misi yang harus menjawab pertanyaan soal apa yang bersemayam di pulau itu.