Anindya Semesta hanyalah gadis ingusan yang baru saja menyelesaikan kuliah. Daripada buru-buru mencari kerja atau lanjut S2, dia lebih memilih untuk menikmati hari-harinya dengan bermalasan setelah beberapa bulan berkutat dengan skripsi dan bimbingan.
Sayangnya, keinginan itu tak mendapatkan dukungan dari orang tua, terutama ayahnya. Julian Theo Xander ingin putri tunggalnya segera menikah! Dia ingin segera menimang cucu, supaya tidak kalah saing dengan koleganya yang lain.
"Menikah sama siapa? Anin nggak punya pacar!"
"Ada anak kolega Papi, besok kalian ketemu!"
Tetapi Anindya tidak mau. Menyerahkan hidupnya untuk dimiliki oleh laki-laki asing adalah mimpi buruk. Jadi, dia segera putar otak mencari solusi. Dan tak ada yang lebih baik daripada meminta bantuan Malik, tetangga sebelah yang baru pindah enam bulan lalu.
Malik tampan, mapan, terlihat misterius dan menawan, Anindya suka!
Tapi masalahnya, apakah Malik mau membantu secara cuma-cuma?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semesta 19.
Di dalam satu ruangan yang sama, terpisah dua dunia yang jauh berbeda. Malik masih begitu profesional mengerjakan tugasnya bersama Yudhis. Entah tiga atau empat zoom meeting sudah dilalui, dan sekarang keduanya tampak sibuk membolak-balik lembaran kertas dalam suatu berkas. Raut wajah mereka serius. Di dahi masing-masing seperti tertempel papan bertuliskan: Sedang sibuk, dilarang berisik.
Sementara itu, di dunia Anindya dan Oma, yang ada hanyalah gelendotan manja dan bisik-bisik tetangga. Sesekali akan muncul nama Malik di dalam percakapannya. Diucapkan dengan bibir hampir terkatup rapat dan suara sepelan mungkin. Berpikir jarak antara ranjang Oma dengan sofa tempat Malik dan Yudhis bekerja terbentang berkilo-kilo meter jaraknya. Padahal meski mereka bisik-bisik, Malik masih bisa mencuri dengar obrolan keduanya di tengah-tengah fokusnya pada pekerjaan.
"Anin bingung banget, Oma. Mas Malik nggak mau bantu mikir."
Oh, masih soal yang semalam, pikir Malik. Dibaliknya satu lagi lembar halaman. Isinya penuh angka dengan nol berderet banyak.
"Oma ada ide nggak? Apa pun itu deh, biar Anin dengar dulu dan putuskan idenya bisa dipakai atau enggak."
Repot sekali bocah ingusan satu ini. Malik masih menggerundel di dalam hati. Keren juga dia bisa membelah diri, menjaga fokusnya tetap baik pada diskusinya dengan Yudhis, tapi juga masih lanjut mendengarkan obrolan Anindya dan Oma.
"Ada sih satu ide. Sebenarnya juga itu yang paling masuk akal."
"Oh, ya? Apa itu Oma? Coba, Anin mau dengar."
Oma mau bikin apa lagi? Malik makin kepo. Menjadi-jadi rasa penasarannya waktu melirik ke arah ranjang dan melihat Oma sedang membisikkan sesuatu di telinga Anindya. Sial, perasaan Malik mendadak tidak enak. Bisik-bisik tetangga yang hampir senyap itu pasti berisi sebuah rencana yang akan menggegerkan dunia (dunia Malik, lebih tepatnya).
Mendengar tak mampu, Malik mencoba peruntungan dengan membaca mimik muka Anindya. Tapi hasilnya mengecewakan. Malik tidak temukan gadis itu tampak semringah. Pertanda rencana Oma mungkin juga bukan sesuatu yang bisa ia terima. Jika begitu adanya, semakin susah pula Malik akan memprediksi kemungkinannya.
"Oma ... tapi, kan...."
"Kenapa? Toh kan tetap bakal terjadi."
Pipi Anindya bersemu merah. Malik makin tidak mengerti. Gara-gara menaruh terlalu banyak konsentrasi pada keduanya, Yudhis jadi terlupakan dari atensi. Malik sampai diberi tepukan pelan di bahunya oleh Yudhis.
"Pak Malik mau break dulu sebentar?" tanya Yudhis.
Malik hanya mengangguk pelan. Berkas di tangannya dioper pada Yudhis untuk disimpan. Kemudian dia bangkit, berjalan santai menyambangi ranjang Oma dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana.
Kedatangan Malik tampaknya dianggap sebagai sebuah sinyal bahaya oleh Oma dan Anindya. Sebab keduanya sama-sama kompak melompat keluar dari topik pembahasan sebelumnya. Kini mereka asyik membahas soal kondisi politik Amerika. Menggibahi Trump seperti menggibahi tukang sayur genit yang suka menggoda Mbak Pria.
"Biasalah, toddler vintage umur segitu emang lagi seneng-senengnya mengguncang dunia," cerocos Anindya.
Oma menyambut, "Padahal enakan duduk diem di rumah main sama cucu." Ngomongnya sambil melirik Malik, seolah-olah memberi kode.
Kendati mengerti, Malik pura-pura bodoh dan membawa topik lain. "Kamu pulang gih hari ini. Nanti bareng Yudhis sekalian."
Anindya yang tak terima diberi instruksi tiba-tiba, mendelik. "Nggak mau. Anin masih mau sama Oma." Lalu mengeratkan pelukannya dan menempelkan kepalanya di dada Oma.
"Pulang. Tidur di rumah biar nyaman."
"Anin nyaman kok tidur di sini."
"Saya yang enggak," cetus Malik. "Badan saya sakit semua gara-gara tidur di sofa terus."
"Kalau gitu Mas Malik aja yang tidur di ranjang itu, Anin tidur di sofa."
Malik menggeleng. "Pulang aja."
"Nggak mau! Mas Malik jangan berusaha pisahin Anin sama Oma!" Makin mengerat pula pelukannya pada Oma.
"Kamu sama Oma kalau disatuin bisa bikin geger dunia," cibir Malik.
Anindya mendumal nyaris tanpa suara. Percayalah di dalam kepalanya saat ini penuh dengan seribu satu trik untuk mencegahnya dipulangkan oleh Malik. Dan satu yang menjadi pemenang adalah membawa nama Tamtam ke permukaan.
"Besok Anin mau ketemu lagi sama Tamtam," ujarnya.
"Belum tentu juga dia datang."
"Datang atau enggak itu urusan nanti. Anin kan udah janji sama Glenn buat ketemuan lagi besok."
"Anindya."
"Please...." rengeknya sambil memasang wajah memelas.
"Nggak." Malik menolak tegas. "Hari ini kamu pulang. Besok siang boleh datang ke sini lagi kalau mau ketemu Tamtam, tapi nggak nginep. Saya tugasin sopir saya buat antar-jemput kamu besok."
"Mas Malik nih nyebelin!"
Malik mengedik, malas menanggapi lebih jauh. Sambil berusaha menulikan telinga dari protes yang terus dilayangkan oleh Anindya, dia kembali ke sofa.
"Kita selesaikan di sini aja kerjaan hari ini," katanya. Yudhis mengangguk patuh. "Nanti pulang tolong sekalian angkut Anindya. Antar sampai depan rumahnya."
"MAS MALIK JELEK! NGGAK ASIK!" Mendadak, kamar rawat Oma berubah menjadi hutan belantara--akibat teriakan menggelegar Anindya.
...🌲🌲🌲🌲🌲...
Syahdu sih syahdu, tapi Anindya tidak bisa menikmati musik yang mengalun dari tape karena masih kesal pada keputusan Malik. Dia juga makin tantrum karena Oma tidak berusaha membela. Wanita itu hanya tersenyum lembut dan memintanya menuruti kemauan Malik kali ini. Katanya apa yang dikatakan Malik ada benarnya. Anindya harus tidur cukup dan nyaman supaya tetap sehat sampai hari pernikahan tiba.
Di kursi penumpang depan, Anindya duduk miring, memunggungi Yudhis sambil memeluk tas jinjingnya erat-erat. Pandangannya terlempar ke luar. Mengamati apa saja yang bisa ditangkap oleh matanya selagi mobil melaju lambat karena lalu lintas yang padat. Pedagang asongan; pengamen cilik dengan gitar mini dan kaleng bekas susu; badut Doraemon yang warna birunya sudah lusuh; pejalan kaki yang berebut jalur dengan pengendara motor nakal; dan sepasang muda-mudi tak tau tempat yang seenak jidat mojok di pinggir jalan.
"What the hell...." gumamnya tak habis pikir.
Senja belum sepenuhnya habis. Orang-orang yang penglihatannya masih normal tentu akan melihat dengan jelas sepasang muda-mudi itu. Tak hanya duduk berdempet atau bergandengan tangan seperti orang mau nyebrang, keduanya tanpa ragu berciuman. Memagut bibir penuh passion seakan dunia milik berdua, yang lain ngontrak. Di sekitar mereka pun pada lalu-lalang manusia. Dan Anindya heran mengapa tidak satu pun dari mereka berusaha menegur.
"Emang ada gila-gilanya pergaulan zaman sekarang." Anindya menggeleng tak habis pikir.
Untuk beberapa lama, Anindya masih sibuk menjulidi kelakuan manusia zaman sekarang yang hampir-hampir tak ada urat malunya. Sampai di satu momen, suara Oma seperti mengalun lembut di telinganya. Membisikkan kembali ide cemerlang yang tiap kali Anindya pikirkan, akan langsung membuatnya merinding sebadan-badan.
Solusinya adalah... hamil betulan.
"Mati aku."
"Mati?" Yudhis menyahut tanpa permisi.
Anindya menoleh, lalu menggeleng cepat. "Nggak, bukan apa-apa. Bisa ngebut dikit nggak Mas? Saya mau cepat sampai rumah, mau mandi air hangat."
Sekalian merendam otak supaya kembali suci.
Meski heran, Yudhis hanya mengangguk. Pedal gas ditekan agak dalam, skill nyelap-nyelip pun dikeluarkan.
Sementara Anindya kembali menyandarkan kepala dan memandang jauh ke luar jendela. Sambil meratap. Lalu membenarkan ucapan Malik kemarin malam. Untuk berpikir panjang sebelum melakukan sesuatu, agar tidak pusing kemudian.
Bersambung....