Jodoh Di Tangan Semesta

Jodoh Di Tangan Semesta

Semesta 1.

Anindya tidak bisa memasak, tapi sore ini, dia sibuk sekali membantu mamanya menyiapkan makan malam. Alasannya hanya satu, karena nanti malam mereka akan kedatangan tamu. Mas Malik, tetangga sebelah yang baru pindah enam bulan lalu, untuk pertama kalinya akan datang ke jamuan makan malam bersama Oma (neneknya). Anindya ingin menyajikan yang terbaik. Sebagai bentuk apresiasi terhadap Oma yang sudah berhasil menyeret cucunya yang gila kerja untuk pulang lebih cepat supaya bisa makan malam bersama.

Dari satu titik ke titik lain, Anindya terus berpindah. Wajan dan spatula jelas bukan pegangan sehari-hari, tapi dia masih cukup membantu untuk mencuci sayuran atau menata piring dan buah-buahan. Ada Mbak Pria (asisten rumah tangga) yang juga membantu Mama. Keberadaan Anindya mungkin tak terlalu banyak berpengaruh. Biar saja. Yang penting dia sedikit berkontribusi supaya ada yang bisa dipamerkan kepada Oma nanti.

"Bajumu udah disiapin?"

"Baju?" Anindya memutar tubuhnya, sejenak meninggalkan daun bawang jumbo yang sedang dicuci di bawah air mengalir.

Mama ikut berhenti mengoseng ayam, menatap Anindya dengan satu tangan di pinggang. "Iya, baju buat makan malam nanti. Nggak mungkin dong kamu mau pakai pakaian kayak gini," ujar Mama. Spatula di tangan kiri bergerak naik-turun, menunjuk penampilan Anindya yang lebih tampak seperti pembantu alih-alih anak majikan; baju kebesaran yang sudah lusuh dan bolong di bagian bahu, celana pendek dengan potongan tidak rapi (bekas celana panjang yang dipotong asal-asalan), sendal jepit dan rambut yang dicepol asal-asalan.

Anindya memperhatikan penampilannya sendiri, lalu menyengir kuda. "Pakai baju apa dong harusnya?" tanyanya polos.

Mama menggeleng tak habis pikir dan berdecak pelan. "Pakai gaun yang waktu itu Mama belikan buat acara ulang tahun Caca."

Caca itu anjing peliharaan mereka by the way. Jenisnya Siberian Husky, laki-laki. Nggak tahu deh kenapa diberi nama Caca. Nanti coba Anindya tanyakan kepada papanya kalau ada kesempatan.

Anyway, karena sudah diberi jawaban, Anindya mengangguk mengerti. Daun bawang diserahkan kepada Mbak Pria untuk lanjut dicuci, lalu dia bergegas naik ke kamar.

"Jangan lupa keramas! Terus rambutnya diblow biar rapi!"

Anindya melongok sedikit dari tangga, berkata ok dan lanjut meniti sisa anak tangga menuju kamarnya.

Di depan pintu, papanya berdiri berkacak pinggang. Tampangnya tidak bersahabat. Kusut, seperti habis kalah tender ratusan miliar.

"Kenapa, wahai ayahku yang tampan?" tanya Anindya.

Pujian pura-pura itu tak mempan. Muka ayahnya masih saja masam.

"Apa, sih, Papa? Kenapa?" Anindya mulai hilang kesabaran. Masalahnya, Papa berdiri di depan pintu kamarnya persis, seakan sengaja memblokir akses.

"Ketemu sama Rio," kata Papa.

Mata Anindya berotasi. Rio lagi, Rio lagi. Kenapa, sih, papanya ini kekeuh sekali mengenalkannya dengan anak koleganya itu? Padahal cakep juga tidak (menurut Anindya), kaya banget juga tidak (masih sedikit lebih kaya Opa, ayah mamanya), pintar juga tidak (ranking masih di bawah Anindya), terkenal juga tidak. Terus apa coba yang papanya ini banggakan dari si Rio Rio itu?

"Anin, denger nggak Papa ngomong?"

"Nggak mau," tolak Anindya. "Rio bukan tipe Anin."

Papa mendesah sebal. "Terus yang tipe kamu itu yang kayak gimana?"

"Son Suk-ku."

"Bocah edan!" kesal Papa. Satu tangannya sudah melayang di udara, siap menggeplak putri bungsunya yang bangor minta ampun.

Anindya mengangkat dua tangannya, melindungi kepala. Matanya mengintip sedikit, dan saat dirasa Papa tak betulan hendak memukul, dia menurunkan kedua tangannya perlahan.

"Papa nggak mau tahu, tetap harus ketemu Rio. Papa udah bikinin janji."

"Nggak mau, Papa. Anin nggak mau."

"Harus mau, atau--"

"Atau apa?" Anindya menantang. Mukanya songong sekali, benar-benar gambaran anak kurang ajar.

"Atau Papa tarik semua fasilitas yang kamu punya, terus Papa alihkan semuanya ke Caca."

Anindya melotot tak terima. "Caca kan anjing, buat apa juga dapat warisan?!" kesalnya.

Tapi Papa seakan tidak mau ambil pusing. Setelah mengibaskan tangan di udara, Papa berlalu. Itu artinya keputusan sudah bulat. Anindya tak punya kesempatan untuk mengajukan banding.

"NGGAK MAU! ANINDYA NGGAK MAU!"

...🌲🌲🌲🌲🌲...

Makan malam berjalan lancar. Masakan Mama berkali-kali mendapatkan pujian oleh Oma. Mama tampak senang sekali. Senyumnya tak kunjung luntur dan wajahnya berseri-seri. Kalau Malik sih tidak usah ditanya. Sejak hari pertama pindah juga Anindya sudah tahu kalau laki-laki matang ini sangat irit bicara dan pasti sudah didekati. Jadi dia sudah tidak heran melihat reaksinya yang datar-datar saja. Berapa kali suaranya terdengar selama perjamuan makan malam pun bisa dihitung jari. Jika dibandingkan dengan dirinya yang cerewet, mereka betulan ibarat langit dan bumi.

Ketika para orang tua berbincang ringan usai menandaskan semua menu makan malam, Anindya mulai bergerak gelisah di tempat duduk. Dalam hati tak berhenti berdoa, sambil masih terus berhitung mundur. Tak sedetik pun dia lewatkan dari setiap momen yang ada, memperhitungkan dengan saksama kapan waktunya ia masuk memulai rencana.

Dan ketika momen yang ditunggu tiba, Anindya tak menyia-nyiakan kesempatan. Pada jeda yang tercipta dari berhentinya obrolan bisnis Papa dan Malik, dia meminta waktu untuk bicara. Semua orang setuju, meski wajah mereka diliputi rasa penasaran yang kentara.

Anindya menatap mereka satu per satu. Dimulai dari Papa, Mama, Oma, dan terakhir Malik. Kakinya di bawah meja bergerak gusar. Semua mata tertuju padanya kini, menantinya membuka mulut.

"Kenapa, Anin?" tagih Mama, agaknya paling tidak sabaran.

Anindya melirik Oma dan Malik sekali lagi, lalu perlahan mengeluarkan sesuatu dari saku gaunnya. Benda kecil seukuran jari sepanjang telapak tangan itu langsung menarik perhatian semua orang ketika Anindya letakkan di atas meja. Mereka serempak melongokkan kepala mendekat, lalu mata mereka membola.

"Ini ... apa maksudnya, Anin?" tanya Papa. Suaranya bergetar. Campuran rasa terkejut dan marah.

Anindya menggigit pipi bagian dalam. Sumpah demi apa pun, dia deg-degan mampus sekarang. Telapak tangannya sudah basah dan kakinya tak bisa berhenti bergerak gelisah.

Dia melirik ayahnya dan berkata, "Anin hamil, Pa."

Tak hanya ayahnya, yang lain pun ikut menganga. Mama mendadak pucat, nyaris pingsan. Oma terlihat terkejut, tapi ekspresinya masih bisa dikendalikan. Sementara Malik... aduh, Anindya tidak tahu lagi deh soal lelaki itu. Karena cuma dia satu-satunya yang tetap memasang wajah datar.

Suara meja yang digebrak membangunkan semua orang dari keterkejutan. Anindya mendongak menatap ayahnya yang berdiri marah. Keringat dingin semakin deras membanjiri pelipisnya.

"Apa-apaan kamu, Anin? Apa maksudnya kamu hamil? Sama siapa?"

"Sama...." Anindya melirik Oma, lalu beralih pada Malik. "Mas Malik."

"APA?!"

Bersambung....

Terpopuler

Comments

Zenun

Zenun

emang bisa begitu Pa? Buat aku aja atu😁

2025-07-22

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!