Ribuan tahun sebelum other storyline dimulai, ada satu pria yang terlalu ganteng untuk dunia ini- secara harfiah.
Rian Andromeda, pria dengan wajah bintang iklan skincare, percaya bahwa tidak ada makhluk di dunia ini yang bisa mengalahkan ketampanannya- kecuali dirinya di cermin.
Sayangnya, hidupnya yang penuh pujian diri sendiri harus berakhir tragis di usia 25 tahun... setelah wajahnya dihantam truk saat sedang selfie di zebra cross.
Tapi kematian bukanlah akhir, melainkan awal dari absurditas. Bukannya masuk neraka karena dosa narsis, atau surga karena wajahnya yang seperti malaikat, Rian malah terbangun di tempat aneh bernama "Infinity Room"—semacam ruang yang terhubung dengan multiverse.
Dengan modal Six Eyes (yang katanya dari anime favoritnya, Jujutsu Kaisen), Rian diberi tawaran gila: menjelajah dunia-dunia lain sebagai karakter overpowered yang... ya, tetap narsis.
Bersiaplah untuk kisah isekai yang tidak biasa- penuh kekuatan, cewek-cewek, dan monolog dalam cermin
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon trishaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Misteri Rian
Luis terkekeh pelan, sementara Leon hanya mengangguk dengan senyum tipis. Tanpa berkata banyak, keduanya bersiap.
Leon menarik assault rifle dari punggungnya dan mematikan mode pengaman. “Roger. Mari kita selesaikan ini.”
Luis menghela napas, menghembuskan asap rokok dari mulutnya, lalu menjentikkan putungnya ke lantai. Ia menarik pistol dari balik jaket. “Dimengerti... Tapi kalau Isolde tahu soal ini, dia pasti akan marah besar.”
Rian menoleh sambil tetap menggendong Ashley, senyum di wajahnya tak pudar. “Kalau begitu, pastikan dia tidak tahu.”
Mereka pun bergerak. Tujuan berikutnya: laboratorium penelitian milik Luis, terletak di puncak gunung, tempat tertinggi di pulau ini.
Tempat satu-satunya yang menyimpan harapan untuk menyelamatkan Ashley... dan mungkin, juga Leon.
***
“Umm... boleh turunkan aku? Aku baik-baik saja. Aku bisa jalan sendiri,” ujar Ashley dengan suara pelan, nyaris berbisik.
Mereka berada di atas lift crane yang perlahan naik menuju laboratorium milik Luis di puncak gunung. Rian masih menggendong Ashley dalam posisi princess carry, seolah berat tubuh gadis itu tak lebih dari sehelai bulu.
Wajah Ashley tampak sedikit memerah. Dari jarak sedekat ini, ia bisa melihat jelas wajah pria yang menggendongnya, terlalu jelas.
Bahkan kulit Rian putih dan terlihat mulus, mata biru cerahnya tampak samar di balik kacamata hitam, dan rambut hitam legamnya bagaikan tinta hitam yang mewarnai langit menjadi malam, tanpa bintang dan bulan.
Pakaian serba hitam: kemeja, celana panjang, dan trench coat, memberinya aura misterius sekaligus elegan. Semua ini, sayangnya, hanya memperparah debaran jantung Ashley yang semakin sulit dikendalikan.
Dari sisi belakang kanan, Luis mengamati pemandangan itu sambil terkekeh dan menghembuskan asap rokok. “Ini dia... Sir Tristan yang kita kenal,” gumamnya dengan nada geli.
Leon, yang berdiri di sisi berlawanan, hanya mengangguk pelan sambil tersenyum tipis. “Aku setuju. Semoga saja Isolde tidak tahu kalau Tristan sedang ‘bermain’ dengan wanita lain.”
Mendengar komentar dari Luis dan Leon, Ashley memejamkan mata sejenak, berusaha menenangkan debaran jantungnya.
Wajah Ashley masih agak memerah saat akhirnya berkata pelan, “Aku mohon… aku bisa jalan sendiri. Kau bisa kerepotan... seperti sebelumnya.”
Sebenarnya, Ashley sudah sadar sejak mereka masih dalam perjalanan menuju lift. Tapi, sejak saat itu, Rian tidak memberinya kesempatan sedikit pun untuk berjalan. Ia membawanya seolah-olah tubuhnya rapuh seperti porselen, tanpa bisa dibantah.
Padahal perjalanan menuju lift tadi sama sekali tidak mudah: mereka harus terus bergerak sambil menghindari dan memanipulasi sistem pertahanan otomatis, termasuk laser scanner dan auto-turret.
Beberapa kali pula mereka terlibat baku tembak dengan para Ganado bersenjata lengkap, loyalis Krauser yang berusaha menghentikan langkah mereka.
Namun, di tengah kekacauan itu, Rian tetap tak melepaskan gendongannya. Seolah menyiratkan satu hal: melindungi “putri” adalah prioritas utamanya.
"Tidak," ujar Rian akhirnya, membalas permintaan Ashley dengan senyum nakal. "Agar efek obat penekan parasit bertahan lebih lama, kau tidak boleh banyak bergerak. Benar begitu, Luis?"
Luis terkekeh sambil menjentikkan ujung rokoknya ke lantai logam lift. "Aku pikir cara kerjanya nggak seperti itu, Amigo... Tapi kalau kau memang tidak merasa kerepotan, lakukan sesukamu."
Leon menghela napas pelan, matanya menatap ke bawah, melihat medan yang perlahan tertinggal jauh di bawah lift krane yang terus naik.
"Meski kita harus tetap waspada..." gumam Leon dengan pelan, "entah kenapa, aku merasa lebih tenang sekarang. Apa karena ada Rian?"
Perkataan Leon tak hanya spontan, tapi juga tulus. Selama ini, Leon selalu memperhatikan bagaimana Rian bertindak.
Meski sikapnya sering terlihat santai, Rian adalah pengamat yang tajam. Ia membaca situasi dengan cepat, memperkirakan potensi bahaya, dan bahkan kerap menemukan jalan pintas yang tidak terpikirkan oleh Leon sendiri.
Setiap kali Leon menyarankan sebuah rute atau rencana, Rian selalu punya alternatif, lebih cepat, lebih efisien, dan entah kenapa... selalu berhasil, meski penyampaiannya cukup absurd.
Leon belum mengerti siapa sebenarnya Rian Andromeda... tapi satu hal jelas: selama Rian ada di sisi mereka, misi ini terasa mungkin.
Rian melirik Ashley yang masih dalam gendongannya. "Dengar sendiri, 'kan? Lagipula, menggendong si manis begini juga bukan hal buruk. Ah... soal repot? Jangan khawatir. Rian Andromeda bisa multitasking."
Ashley terdiam. Wajahnya sudah benar-benar memerah, dan untuk pertama kalinya sejak kejadian ini dimulai... Ashley benar-benar kehabisan kata-kata.
Tak lama kemudian, lift krane akhirnya membawa mereka ke sebuah ruangan luas, bukan laboratorium, bukan pula gudang senjata.
Tempat ini terasa berbeda, seolah menyimpan sesuatu yang penting... tapi bukan untuk berperang.
Ruangan itu dipenuhi kotak-kotak kayu besar. Beberapa dibungkus plastik tebal, sebagian lagi tertutup kain kedap air, seperti menyembunyikan sesuatu yang tak ingin dilihat dunia.
Meski tertutup rapat, Rian dapat melihat termal dan partikel-partikel tipis yang berada di sekitar. Itu adalah Amber
Rian akhirnya menurunkan Ashley, membiarkannya berjalan sendiri. Ia lalu menoleh ke Leon dan Luis. "Tempat ini... ada yang nggak beres," ujarnya pelan namun serius.
Leon dan Luis mengangguk. Refleks, mereka mengangkat senjata masing-masing, menjaga posisi. Ashley tetap berada di tengah, prioritas utama.
Mereka mulai menelusuri ruangan, langkah mereka sunyi di antara pantulan cahaya lampu industri. Namun ada satu hal yang membuat mereka semua gelisah, ruangan ini terlalu sepi.
Tidak ada satu pun prajurit Ganado.
Tidak ada suara.
Tidak ada pergerakan.
Terlalu sunyi.
***
Di suatu tempat yang sunyi dan mencekam, fasilitas komunikasi yang hancur total menyisakan hanya pencahayaan darurat berwarna merah redup.
Dinding dan lantai dipenuhi darah yang mengering, dan di beberapa sudut tergeletak tubuh para peneliti yang tak sempat melarikan diri dari kehancuran.
Di tengah bayang-bayang kehancuran itu, Ada Wong melangkah tenang namun penuh kewaspadaan.
Di tangan kanannya tergenggam sebuah koper hitam besar, sementara tangan kirinya memegang selembar kertas yang sebelumnya adalah origami berbentuk bunga.
Origami itu adalah pemberian dari Rian sebelumnya.
Sesaat, Ada menghentikan langkah. Ia bersandar ringan pada dinding yang retak, matanya menatap lipatan kertas di tangannya.
Diam-diam, pikiran Ada kembali pada isi dari kertas itu, sebuah pesan tersembunyi yang cukup menarik untuk membuatnya berpikir dua kali tentang misinya.
Pada kertas itu tertulis: “Waspadai koper hitam besar yang akan kau dapatkan nanti. Jika kau memilih menggunakannya sesuai instruksi pemberi, pastikan hapus seluruh data dan penelitian di pulau ini.”
Informasi singkat dari Rian, terselip dalam lipatan origami bunga itu, membawa lebih dari sekadar peringatan.
Pesan itu menyiratkan sesuatu yang jauh lebih dalam: kemungkinan rencana gila Albert Wesker untuk meledakkan seluruh pulau ini… tanpa peduli pada siapa pun yang masih berada di dalamnya, termasuk Putri Presiden.
Awalnya, Ada mengabaikannya. Ia menganggap itu hanya bualan lain dari pria narsis yang senang bermain kata-kata.
Namun, seiring langkah Ada berlanjut melewati koridor berdarah ini, isi pesan itu terus mengusik pikirannya.
Jika memang benar itu rencana Wesker, maka masuk akal. Orang gila seperti dia, mengorbankan pulau penuh manusia hanya demi satu visi evolusi manusia, bukanlah hal mustahil.
Tapi… dari mana Rian tahu semua ini?
Bagaimana bisa dia selangkah lebih maju dari Wesker?
Terlebih, setengah dari informasi itu terbukti benar, terutama kata kunci utama: 'koper hitam yang akan kau dapatkan nanti.' Dan kini, koper itu memang sudah berada di tangan Ada.
Untuk selanjutnya? Sudah tidak dapat diragukan lagi kebenarannya. Wesker sudah pasti akan meledakkan pulau ini, tanpa peduli siapapun korbannya.
Tatapan Ada kembali jatuh pada origami bunga di tangannya.
“Siapa sebenarnya Rian ini…?” gumamnya lirih, keningnya berkerut dalam.
Ada menggenggam kertas itu lebih erat, seolah mencari jawaban dari tekstur tipisnya.
“Semakin lama aku pikirkan… Rian Andromeda memang semakin aneh.” ujar Ada tersenyum tipis.
Dengan nad suara merendah, dipenuhi keraguan dan rasa penasaran yang tak bisa diabaikan, Ada berkata, “Rian Andromeda, sebaiknya informasimu benar. Karena aku akan percaya padamu, kali ini."
Dengan jatuhnya kalimat itu, Ada kembali melangkah, menuju ruang kontrol fasilitas penelitian ini.
Ada memang berencana menjalankan 'perubahan rencana' Wesker. Namun tentu saja, dengan beberapa intervensi pribadinya.
Dengan kata lain, Ada akan mengkhianati Wesker secara halus. Meski pada akhirnya Wesker menyadari pengkhianatan itu, dia tidak akan langsung menyerang, melainkan memilih sikap pasif, setidaknya untuk sementara.
Semua ini dilakukan Ada demi menghindari risiko memprovokasi Wesker berlebihan. Ia sangat paham betapa mengerikannya pria itu, baik dalam konfrontasi langsung maupun permainan di balik bayangan.
Dengan memainkan peran lembut ini, Ada setidaknya bisa menjamin satu hal: yaitu tidak lain keselamatan dirinya sendiri, serta Leon, Luis, Ashley dan Rian.
btw si Rian bisa domain ny gojo juga kah?