NovelToon NovelToon
Kau Hanya Milik ARUNA

Kau Hanya Milik ARUNA

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Fantasi Wanita / Balas dendam pengganti
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Aru_na

"aku pernah membiarkan satu Kalila merebut milik ku,tapi tidak untuk Kalila lain nya!,kau... hanya milik Aruna!"
Aruna dan Kalila adalah saudara kembar tidak identik, mereka terpisah saat kecil,karena ulah Kalila yang sengaja mendorong saudara nya kesungai.
ulah nya membuat Aruna harus hidup terluntang Lantung di jalanan, sehingga akhirnya dia menemukan seorang laki laki tempat dia bersandar.
Tapi sayang nya,sebuah kecelakaan merenggut ingatan Aruna,sehingga membuat mereka terpisah.
Akankah mereka bertemu kembali?,atau kah Aruna akan mengingat kenangan mereka lagi?
"jika tuhan mengijinkan aku hidup kembali, tidak akan ku biarkan seorang pun merebut milik ku lagi!"ucap nya,sesaat sebelum kesadaran nya menghilang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aru_na, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

28.

Aruna menatap mata Arza, sorot matanya yang memohon membuat hatinya sedikit melunak. Ia tahu Arza tulus, terlalu tulus hingga kadang tak melihat apa yang tersembunyi di balik senyum orang lain. Dengan helaan napas pasrah, Aruna mengangguk pelan. "Baiklah, Mas. Aku akan coba."

Senyum Arza merekah sempurna, begitu tulus dan murni. "Terima kasih, Sayang. Aku tahu kamu yang terbaik." Arza mengecup kening Aruna sekali lagi, lama, menyalurkan semua rasa syukurnya. Kehangatan ciumannya menembus hingga ke hati Aruna, membuat benteng pertahanannya sedikit runtuh. Ia tahu, demi kebahagiaan suaminya, ia akan mencoba, meskipun hatinya masih terasa berat.

Di ruang tamu, Kalila yang sedari tadi mencuri dengar percakapan mereka, tersenyum licik. Ia melihat Arza keluar dari dapur dengan wajah cerah, dan itu sudah cukup memberinya kemenangan kecil.

"Mas, Aruna mau 'kan berteman denganku?" Kalila bertanya dengan nada manis, seolah tak tahu apa-apa.

Arza mengangguk mantap. "Tentu saja, Kalila. Aruna hanya perlu waktu untuk terbiasa. Dia memang agak pemalu." Arza tersenyum pada Kalila, tanpa menyadari bahwa senyum itu adalah duri bagi Aruna.

"Syukurlah! Aku sangat ingin berteman dengan Aruna," Kalila berujar riang, "Oh ya, Mas, aku ke sini sebenarnya ingin menyampaikan sesuatu." Kalila mengubah nada suaranya menjadi sedikit lebih serius. "Besok ada rapat penting di kantor kecamatan, Mas. Katanya sih, tentang program pembangunan puskesmas yang kita usulkan kemarin. Mas Arza harus hadir."

Arza mengerutkan kening. "Rapat? Kenapa aku tidak tahu?"

"Mungkin belum sempat diberitahu, Mas. Tapi ini penting sekali. Semua kepala desa diundang," Kalila meyakinkan, "Kalau Mas tidak keberatan, besok pagi kita berangkat bersama."

Arza berpikir sejenak. "Baiklah. Terima kasih informasinya, Kalila."

"Sama-sama, Mas." Kalila tersenyum lega. Rencananya berjalan mulus. "Kalau begitu, aku pamit dulu ya, Mas. Selamat sore, Aruna," ucapnya, menoleh ke dapur dengan senyum yang dipaksakan ramah.

Aruna yang mendengar percakapan itu dari dapur hanya mendengus. Ia tahu Kalila sengaja datang untuk mencari perhatian Arza, dan sekarang ia bahkan mencoba mengatur jadwal suaminya.

Setelah Kalila pergi, Arza masuk ke dapur, memeluk Aruna dari belakang. "Tadi Kalila memberitahuku tentang rapat besok. Kamu tidak apa-apa sendirian di rumah, Sayang?"

Aruna membalikkan tubuhnya, menatap Arza. "Memangnya Mas mau aku ikut ke kantor kecamatan?" tanyanya datar.

Arza terkekeh. "Bukan begitu. Hanya memastikan kamu baik-baik saja." Ia mengecup puncak kepala Aruna. "Aku pergi sebentar saja kok."

"Baiklah," jawab Aruna singkat, namun dalam hatinya, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan Kalila. Insting wanitanya mengatakan demikian.

Keesokan paginya, Arza sudah siap dengan pakaian dinasnya. Aruna menyiapkan sarapan seperti biasa, dan ia mencoba bersikap lebih ramah kepada Arza.

"Mas sudah sarapan?" tanya Aruna lembut.

"Sudah, Sayang. Terima kasih, ya," Arza mencium pipi Aruna. "Aku berangkat dulu, ya. Kalau ada apa-apa, langsung telepon aku."

Tok tok tok

Suara ketukan pintu terdengar. Arza tersenyum. "Itu pasti Kalila."

Aruna hanya diam. Ia melihat Arza membuka pintu, dan Kalila sudah berdiri di sana dengan senyum manisnya.

"Mas Arza, sudah siap?"

"Sudah, Kalila. Ayo," Arza menoleh ke arah Aruna. "Aku berangkat dulu, Sayang."

Aruna memaksakan senyum dan melambaikan tangan. "Hati-hati, Mas."

Setelah Arza dan Kalila pergi, senyum di wajah Aruna langsung luntur. Ia berjalan ke jendela, melihat mobil Arza melaju menjauh bersama Kalila. Entah mengapa, perasaan tidak enak menggerogoti hatinya. Ada firasat buruk yang terus membayangi.

Aruna mencoba mengenyahkan pikiran negatif itu. Ia kembali ke dapur, mencoba menyibukkan diri dengan membersihkan rumah. Namun, bayangan Kalila yang menempel pada Arza terus mengusik pikirannya.

"Mungkin aku memang terlalu berprasangka," gumam Aruna, mencoba menenangkan diri. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tahu ada sesuatu yang tersembunyi di balik senyum manis Kalila. Dan ia, sebagai seorang istri, harus siap menghadapi apa pun yang akan terjadi

Setibanya di kantor kecamatan, suasana pagi sudah ramai dengan aktivitas. Arza dan Kalila melangkah masuk bersama, disambut beberapa perangkat desa dan pejabat kecamatan yang saling menyapa. Kalila sesekali melirik Arza, memastikan pria itu tetap di sisinya.

"Dokter Arza, selamat pagi! Kami sudah menunggu Anda," sapa Pak Lurah, Kepala Desa tempat Puskesmas didirikan, dengan senyum ramah. "Terima kasih sudah datang."

"Pagi, Pak Lurah," jawab Arza. "terima kasih "

"Wah, bagus sekali! Dengan kehadiran dokter Puskesmas, rapat pembangunan ini pasti berjalan lancar," sahut salah satu staf kecamatan.

Arza tidak terlalu memperhatikan interaksi itu. Pikirannya sudah tertuju pada agenda rapat yang akan dihadirinya. Mereka bertiga berjalan menuju ruang rapat utama, yang sudah terisi beberapa pejabat dan tokoh masyarakat lainnya.

Sepanjang rapat, Kalila duduk di samping Arza, sesekali menyodorkan catatan atau berkomentar kecil yang relevan dengan topik pembangunan Puskesmas dan fasilitas kesehatan lainnya. Ia berusaha menunjukkan diri sebagai seseorang yang cekatan dan perhatian, membuat Arza merasa terbantu. Arza sesekali tersenyum atau mengangguk padanya, merasa bersyukur ada Kalila yang membantunya mengingat poin-poin penting.

Setelah rapat selesai, Arza meregangkan badannya. "Rapatnya cukup padat juga ya, Kalila. Banyak sekali detail pembangunan yang harus diperhatikan."

"Iya, Mas. Tapi Mas Arza hebat, bisa langsung menangkap semua inti pembicaraannya," puji Kalila, menatap Arza dengan tatapan kagum.

"Ah, biasa saja," Arza tersenyum tipis. "Oh ya, Kalila, kebetulan aku ada beberapa berkas Puskesmas yang harus diselesaikan hari ini. Kamu ada waktu? Bisa bantu aku merapikan data-data ini?"

"Tentu, Mas! Dengan senang hati," Kalila langsung menyahut, matanya berbinar. Ini adalah kesempatan emas untuk menghabiskan lebih banyak waktu berdua dengan Arza.

Mereka pun menuju ruangan Arza di Puskesmas. Di sana, Kalila dengan sigap membantu Arza membereskan berkas-berkas yang menumpuk di meja. Sesekali, jari mereka bersentuhan saat mengambil atau menyerahkan dokumen, membuat Kalila merasakan gejolak kecil di dadanya. Arza sendiri tidak menyadarinya, sibuk memeriksa laporan.

"Mas Arza, kenapa tidak ada foto istrimu di meja?" tanya Kalila santai, sambil pura-pura menata bingkai foto yang kosong.

Arza mengangkat kepalanya, tersenyum. "Oh, Aruna memang tidak terlalu suka difoto, Kalila. Tapi fotonya ada di dompetku kok," jawabnya jujur, lalu kembali fokus pada berkas di depannya.

Kalila menggigit bibir bawahnya. Jawaban Arza terasa seperti sengatan kecil. Namun, ia tidak menyerah. "Mas, aku dengar Mas Arza akan mengadakan pesta pernikahan di kota? Wah, pasti meriah sekali!"

"Iya, rencana orang tua. Mereka ingin merayakannya," Arza membenarkan. "Kamu juga akan diundang kok."

"Benarkah? Wah, aku pasti datang, Mas!" Kalila tersenyum lebar. Ia membayangkan dirinya akan menjadi bagian penting dalam perayaan itu, mungkin bisa lebih dekat lagi dengan Arza.

Mereka terus bekerja hingga siang hari. Setelah berkas selesai, Arza merasa lega. "Terima kasih banyak ya, Kalila. Kamu sangat membantu."

"Sama-sama, Mas. Aku senang bisa membantu," Kalila menjawab, nadanya lembut dan penuh perhatian. "Mas Arza pasti lelah. Mau aku buatkan kopi?"

"Tidak usah repot-repot, Kalila. Aku sudah mau pulang," Arza tersenyum ramah. "Aruna pasti sudah menungguku."

Senyum Kalila sedikit memudar saat mendengar nama Aruna. "Oh, begitu ya. Baiklah, kalau begitu aku juga mau pulang, Mas."

Mereka berdua berjalan keluar dari Puskesmas. Kalila masih berusaha mencari celah untuk menghabiskan lebih banyak waktu dengan Arza. "Mas, besok tidak sibuk 'kan? Kalau mau, aku bisa membantumu lagi untuk... erm... meninjau data pasien di desa sebelah?"

Arza mengernyitkan dahi. "Data pasien? Rasanya sudah ada petugas yang menangani itu, Kalila. Lagipula, aku tidak bisa besok."

"Oh, begitu ya," Kalila berkata dengan nada kecewa yang kentara. Ia mencoba menyembunyikannya, namun raut wajahnya sulit berbohong. "Baiklah, kalau begitu sampai jumpa, Mas."

Arza tersenyum dan melambaikan tangan, lalu bergegas menuju rumah nya, tak menyadari kekecewaan dan rencana tersembunyi di balik senyum Kalila. Di benaknya, ia hanya memikirkan Aruna yang menunggunya di rumah.

1
Zudiyah Zudiyah
,hemmm sangat mirissss
rofik 1234
Perasaan campur aduk. 🤯
Aruna: benarkah?😁
total 1 replies
Shinichi Kudo
Aku udah jatuh cinta dengan karakter-karaktermu. Keep writing! 💕
Aruna: terima kasih 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!