Di dunia yang diatur oleh kekuatan enam Dewa elemen: air, angin, api, tanah, es, dan petir, manusia terpilih tertentu yang dikenal sebagai Host dipercaya berfungsi sebagai wadah bagi para Dewa untuk menjaga keseimbangan antara kekuatan ilahi dan kesejahteraan Bumi. Dengan ajaran baru dan lebih tercerahkan telah muncul: para Dewa sekarang meminjamkan kekuatan mereka melalui kristal, artefak suci yang jatuh dari langit.
Caela, seorang perempuan muda yang tak pernah ingat akan asal-usulnya, memilih untuk menjadi Host setelah merasakan adanya panggilan ilahi. Namun semakin dalam ia menyelami peran sebagai Host, ia mulai mempertanyakan ajaran ‘tercerahkan’ ini. Terjebak antara keyakinan dan keraguan, Caela harus menghadapi kebenaran identitasnya dan beban kekuatan yang tidak pernah ia minta.
Ini cerita tentang petualangan, kekuatan ilahi, sihir, pengetahuan, kepercayaan, juga cinta.
**
Halo, ini karya pertamaku, mohon dukungannya ya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kirlsahoshii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perasaan
Caela masih berbincang bersama Alana, dia masih kebingungan ketika ditanya mengenai Fae dan tidak tahu arah pembicaraan ini. Caela terdiam, dia mengingat-ingat masa perjalanannya bersama Fae—mulai dari mereka pertama kali bertemu, saat mereka menghabiskan waktu di Riverbend, menjelajahi Forgotten Ruins, mereka memutuskan menjadi sebuah tim, tapi kini bayangannya jadi lebih detail soal Fae. Mulai dari tatonya, mata merah darahnya, rambut cokelatnya, tawa, dan senyumnya…. Hal ini membuat dada Caela terasa hangat, sebuah perasaan yang tidak bisa diungkapkan sebelumnya. Tapi Caela mengurungkan niatnya untuk mengatakan hal tersebut pada Alana.
“Entah lah, menurutku kadang dia suka berkata sesuka hati saja,” ucap Caela.
Alana tertawa kecil, “Iya, itu benar-benar dirinya, selalu berkata apa adanya,” katanya.
Caela mengangguk setuju akan hal itu dan melihat Alana kembali, “Kenapa kau tanya soal dia?” tanyanya.
Alana lalu tersenyum malu-malu, lalu dia menjawab, “Sepertinya, aku jatuh cinta padanya,” katanya.
“… Cinta?” Caela mengangkat alisnya, bingung dengan pernyataan Alana.
Alana mengangguk dan tersenyum malu-malu.
“Seperti apa rasanya? Jatuh cinta?” tanya Caela polos.
Alana tersenyum lagi malu-malu, dia tak merasa Caela bertanya hal bodoh, justru dia mulai merasa nyaman dengan perbincangan ini. “Kau tahu, seperti… Jantungmu berdebar setiap kali melihatnya,” ucap Alana.
Caela mengangkat alisnya lagi. Jantungmu berdebar? Bukan kah itu sesuatu yang buruk dan tidak mengenakan? Tapi yang pasti Caela jadi yakin, kalau dia tidak pernah jatuh cinta.
Tak lama dari perbincangan itu, Fae tiba-tiba datang ke balkon kembali menghampiri Caela, kali ini dengan raut wajah yang dingin dan serius.
“Caela, maaf aku tidak bisa menemanimu ke Tevira sekarang, aku harus bersiap untuk acara pernikahan,” kata Fae nadanya datang.
Caela melebarkan matanya, sedikit terkejut dengan ucapan Fae, “… Pernikahan?” tanyanya pelan, Caela kebingungan.
“Aku akan menikah dengan Alana,” balas Fae.
Caela melebarkan matanya, menikah katanya? Apa maksud dari semua ini? Caela hanya bisa terdiam tidak tahu mau merespon apa, kali ini ada rasa aneh yang kembali tidak bisa dia jelaskan, ada sedikit rasa sesak di dadanya.
**
Hari sudah menunjukkan waktu malam, Caela beristirahat di Moriad malam ini. Dia tak bisa tidur, badannya terlentang di atas ranjang melihat langit-langit dan termenung. Caela seperti merasa kosong, lalu tiba-tiba dia mendengar suara di balkon dan langsung duduk dari tidurnya dan membuka pintu kaca balkon melihat Fae.
“Huft, hampir saja…” kata Fae merasa lega.
Caela menyipitkan matanya, melihat Fae tidak percaya. “Bisa hentikan kebiasaanmu masuk tiba-tiba ke dalam kamar orang lain?” tanyanya.
“Permisi,” Fae berjalan masuk ke dalam kamar Caela dan mengabaikan kata-katanya. Caela bersandar di pinggir pintu dan melipat kedua tangannya.
“Mau apa kau ke sini?” tanya Caela dengan dingin, wajahnya terganggu dengan kehadirannya.
“Ketus sekali Tuan Putri, aku hanya ingin mengecek keadaanmu,” kata Fae dengan nada guyon.
“Itu tidak perlu… Dan, berhenti panggil aku begitu,” balas Caela sambil menghela napas.
Fae tertawa kecil lalu dia duduk di atas kasur. “Ada yang mau aku bicarakan,” kata Fae wajahnya kembali serius.
Caela terdiam melihat Fae. Apakah dia mau bicara soal pernikahannya? Apa dia juga mau bilang kalau jantungnya berdebar setiap melihat Alana? Tapi memikirkan hal itu malah membuat dada Caela kembali sedikit sesak. Rasa aneh yang tak pernah dia rasakan sebelumnya, dan seharusnya ini tidak penting, dan tidak perlu terjadi pada dirinya.
“Ada yang aneh dengan ibuku,” ungkap Fae.
“Aneh? Aneh dalam hal apa?” tanya Caela penasaran.
“… Tidak yakin, tapi seperti ada yang dia rahasiakan,” balas Fae.
“Rahasiakan? Darimu? Tentang apa?” Caela bertanya menunggu penjelasan Fae lagi.
“Seperti alasan membuat kristal baru ini, hingga dia memaksaku untuk menikah dengan Alana agar dia dengan mudah mendapat izin dan akses dengan segala teknologi di Moriad,” lanjut Fae.
Caela mengangguk perlahan. Entah mengapa dadanya kembali terasa ringan ketika mendengar alasan Fae menikah dengan Alana.
“Oh, begitu,” hanya kata-kata itu yang bisa terucap dari mulut Caela.
Fae terdiam melihat ekspresi Caela, lalu dia melanjutkan, “Tak hanya itu, ada pria tak ku kenal sering berbincang dengan ibuku,” katanya.
“Pria tak kau kenal? Seperti apa dia?” tanya Caela penasaran.
“Dia berjubah hitam, wajahnya tertutup tudung, dia sering ada di laboratorium kristal, tapi aku pernah beberapa kali melihatnya di Stonebridge,” kata Fae.
Caela menaikkan alisnya, dia tak punya ingatan pernah melihat pria dengan ciri-ciri tersebut. Dia pun hanya terdiam mendengar cerita Fae.
Fae masih mengamati Caela lalu dia menghela napas dan membaringkan tubuhnya ke kasur. “Jadi, besok kau akan ke Tevira sendirian,” tanya Fae sambil melihat langit-langit.
“Sepertinya begitu…” jawab Caela.
“Bisakah kau menungguku?” tanya Fae.
“Menunggu?” Caela menaikkan alisnya kembali.
“Ya, aku ingin ke Tevira juga bersamamu, bisakah kau menungguku setelah semua acara ini selesai?” tanya Fae penuh dengan kerentanan.
Caela terdiam, dia ingin segera ke Tevira tapi… Entah mengapa kerentanan Fae membuat sedikit hatinya tergerak. Dia tahu ini bukan keinginan Fae untuk menikah, ada banyak prioritas dan tugas lain sebagai Hosts, dan banyak sekali pertanyaan yang belum terjawab.
“... Baiklah,” kata Caela.
Fae tersenyum lembut dia pun kembali duduk dan berdiri, melangkah perlahan mendekat ke arah Caela. Perlahan tangannya ingin menyentuh wajah Caela, Caela hanya terdiam seperti membeku, lalu Faye memberhentikan tangannya, takut vision dan suara Dewa datang kembali dan membuat mereka lemas.
“Aku janji akan menemanimu setelah semua ini selesai…” kata Fae wajah dan suaranya lembut.
Dada Caela kembali terasa hangat melihat hal itu, walau masih ada yang merasa mengganjal, lalu Caela tersenyum pun tersenyum lembut dan mengangguk.
“Baiklah, tim,” katanya.
Fae tersenyum puas, rasanya dia masih ingin berbincang lebih banyak, tapi dia tahu kini sudah saatnya kembali ke kamarnya.
**
Di saat yang sama Shala dan pria misterius itu ada di dalam laboratorium kristal melihat perkembangan kristal baru yang sedang dibuat.
“Bagaimana hasilnya?” tanya Shala.
“Sepertinya dalam waktu dekat akan selesai,” kata pria itu.
“… Kau yakin ada Dewa lain selain enam elemen, dan bisa menyegelnya ke dalam sini?”
“Ya, aku sangat yakin. Hanya saja, perlu menemukan Dewa Petir, sebelum menemukan Dewa Shadow,” balas pria itu.
Shala hanya terdiam, “Pastikan kau benar-benar yakin akan hal itu,”
“Tenang saja, aku sudah pernah melihatnya, dan setelah memiliki itu, kau akan jadi yang paling berkuasa di mana pun kau berada,” katanya.
Shala terdiam, “Aku akan pastikan itu nanti…” katanya.
“Oh iya satu lagi Shala,” pria itu memanggil Shala lagi.
Shala terdiam menunggu respon dari pria itu.
“Aku perlu mencari seseorang di desa Tevira,” kata pria itu.
Shala menaikkan alisnya, “Seseorang?”
Pria misterius itu membalikkan badan dan mendekat ke arah Shala, mata kanannya terlihat berwarna merah, dan mata kirinya berwarna ungu.
“… Aku baru dapat kabar, ada kelompok murtad pengikut ajaran lama yang sudah lama tinggal di sana dan berbahaya,” kata pria itu.
“… Pengikut ajaran lama…? Apa yang mau kau lakukan dengannya?” tanya Shala.
“… Lenyapkan saja.”
“Atas nama para Dewa, tentu saja akan kulakukan jika memang dia menyimpang dari ajaran Dewa,” kata Shala sambil membuat gestur penghormatan pada Dewa di depan kristal yang berkilau itu.
***