Kala gemerlut hati semakin menumpuk dan melarikan diri bukan pilihan yang tepat.
Itulah yang tengah Gia Answara hadapi. Berpikir melarikan diri adalah solusi, namun nyatanya tak akan pernah menjadi solusi terbaik untuknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _NM_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
XIX
" Boleh saya bawa anak-anak kerumah? " Tanya Jordan tiba-tiba.
Gia yang baru saja pulang kerja, bahkan peluh masih terhias indah pada keningnya mengerut samar. Memilih tidak menjawab, Gia memilih celingukan melihat sekeliling, mencari keberadaan orang lain yang nyatanya tak pernah hadir.
" Mereka tidak datang lagi? " Tak ada keramahan dibalik kalimat itu. Gia menuntut jawaban dari sosok pria yang berada dihadapannya.
Jordan menghela napas lelah. Harus bagaimana lagi Jordan mengajak anak-anaknya untuk kemari jika anak-anaknya sendiri tak mau diajak kemari? Jordan tak tahu apa alasannya.
" Mereka belum bisa kemari, Gi. "
" Jika anda sendiri belum bisa membawa anak-anak saya yang lain, jangan harap anda dapat membawa anak-anak yang ada disini. " Gia menatap pria itu tajam.
Marah? Tentu Gia marah. Harus dipisahkan dengan sang anak selama bertahun-tahun dan sekarang pria itu ingin membawa anaknya pergi? Hah, Gia tertawa miris mendengarnya. Apa pria itu mau menunjukkan pada anaknya bahwa hidup dengannya lebih baik daripada hidup dengan Gia? Mau sejahat apa lagi pria itu?
" Anda tak lebihnya seorang manusia licik yang hanya ingin mengambil milik orang lain. Anda masih saya beri izin masuk kedalam rumah saya dan menemui anak-anak saya tanpa saya cegah sudah termasuk hal yang paling menakjubkan untuk saya beri pada anda. " Gia menunjuk tepat ke arah Jordan. " Seharusnya sedari awal saya sudah mengusir anda pergi dari hadapan keluarga saya dan mengatakan pada anak-anak saya bahwa Yandanya telah mati terbunuh dengan janji-janji yang tak pernah ia tepati. "
Jordan menatap wanita yang tengah menunjuknya dengan tatapan bersalah.
" Aku gak bermaksud untuk membawa mereka pergi dari kamu, Gia. Aku hanya ingin membuat mereka tahu tentang keluarganya. Tentang keluarganya yang lain. Mungkin dengan membawa mereka pergi menemui kembarannya, Ara dan Kara dapat tergugah ikut kemari menemui kamu. " Ucap Jordan dengan nada penuh kelembutan.
Gia membanting cangkir minuman tepat dihadapan Jordan, menatap pria itu penuh amarah yang tertahan.
" Gak ada maksud, gak ada maksud. Anda sebelum ini juga tidak memiliki maksud memisahkan saya dengan anak saya kan? Anda bahkan dulu berjanji akan membahagiakan, nyatanya apa? Anda menyakiti saya, benar-benar menyakiti tanpa sisa. " Sentak Gia.
" Jika anda benar-benar bermaksud membawa Ara dan Kara kemari. Seret mereka kemari, bukan malah membawa anak-anak saya pergi. Anda pikir saya dapat mempercayai anda lagi? Tentu tidak. " Tuding Gia kembali.
Hancur, benar-benar hancur rasa percayanya kini pada manusia. Tak ada yang dapat dipercaya didunia ini. Nyatanya pria yang ada dihadapannya itu sebelumnya telah menyakitinya berkali-kali lipat. Gia yang bodoh terlalu mempercayai omong kosong dari pria itu, membuat rasa sakitnya semakin parah. Gia tak ingin lagi.
Gia menarik kerudungnya dengan kedua tangannya. Menyalurkan emosi yang selama ini tertahan. Emosinya benar-benar tak terkendali saat ini.
" Kenapa saya mempercayai anda dulu?! Kenapa?! Mungkin dengan membenci anda rasa sakit didalam hati sayang tak sedalam ini. " Racau Gia merasa frustasi.
Jordan tak bereaksi, tak tahu harus apa. Menenangkan wanita itu pun dia tak memiliki haknya kini.
" Saya minta maaf. "
Gia berteriak kala jantungnya berdegup dengan kencang, batinnya terasa penuh akan lara hati.
Menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Gia membungkuk, berusaha sekuat-kuatnya berteriak. Berteriak berkali-kali.
Nyatanya hidup tak pernah tenang kan?
Semua hal yang sedari tadi bundanya dan Yandanya obrolkan sudah terdengar dengan sangat baik di indra pendengaran kedua anaknya. Shila dan Bara tengah bersembunyi dibalik pintu menunggu Yandanya berbicara dengan bundanya. Berharap akan hal baik terjadi, nyatanya hanya hal buruk yang tersuguh indah dihadapannya.
" Bunda.. " Lirih Shila yang berada di balik pintu bersama dengan Bara disampingnya.
Air mata sudah menitik diwajah anak-anak malang itu. Menatap penderitaan bundanya yang frustasi membuat hatinya tercabik-cabik. Apalagi yang melakukan itu adalah Yandanya sendiri. Semakin sakit lah hati mereka.
Dapat mereka lihat bundanya itu seperti orang kesetanan menjambak dirinya. Dan Yandanya yang hanya menatap dengan tatapan kosong, tak tahu harus berbuat apa.
Jordan menoleh ke arah pintu kamar Bara. Baru menyadari anak-anaknya tengah berada dirumah juga. Jordan tak tahu mereka kedua bocah itu tak kunjung keluar dari kamar itu. Padahal Shila memasuki kamar itu untuk memanggil Bara keluar.
" Tenanglah Gia, ada anak-anak disini. " Pinta Jordan menatap wanita yang tak dapat dikendalikan itu.
Tak mendapatkan respon yang berarti, Jordan menghela napas gusar memilih membuka kamar Bara, menghampiri anak-anaknya. Mengkhawatirkan keadaan anak-anak itu.
Baru juga Jordan membuka pintu, matanya sudah menatap keadaan anak-anaknya tak kalah buruknya. Air mata tampak menetes deras dipelupuk mata mereka. Shila tengah menyandarkan tubuhnya pada Bara ketakutan.
" Bunda kenapa yanda? " Lirih Shila.
Jordan melunakkan wajahnya, menutupi raut terkejut dari mukanya.
" Its, okay.. Bunda lagi butuh waktu sendiri. Kita kasih waktu buat bunda sendiri dulu yah. " Jordan hendak meraih tubuh anak-anaknya yang bergetar ketakutan.
Shila mengulurkan tangannya ke arah Jordan. Namun belum juga meraih tubuh tak berdaya itu, sebuah tangan menepis tangannya. Tangan itu milik Bara.
" Jangan sentuh kami! Yanda yang sudah menyakiti bunda seperti itu. Itu semua salah Yanda. Kalau seandainya Yanda tidak menyakiti bunda, bunda tidak akan seperti itu. " Sentak Bara, menarik tubuh adeknya jauh-jauh dari jangkauan Jordan.
Shila semakin terisak dalam tangisannya.
Suara sentakan dan isakan itu membuat Gia tersadar dari perbuatannya.
Tidak, apa yang ia lakukan saat ini? Menunjukkan keterpurukan yang setengah mati ia sembunyikan pada anak-anaknya, malah hari ini ia tunjukkan secara gamblang.
Gia menatap tangan-tangannya dengan tatapan kosong.
Apa yang tengah ia lakukan saat ini?
Gia menoleh kearah kamar Bara, menatap anak dan ayah yang tengah berselisih itu. Dapat Gia lihat Jordan ingin memberikan dekapannya pada anak-anaknya, tetapi selalu Bara tepis mentah-mentah. Membuat suara tangisan semakin kencang dari Shila.
Apa yang baru saja ia lakukan?
Apa ini?
Tidak seperti ini keadaan yang Gia inginkan. Tidak.
Gia beranjak dari tempatnya menghampiri anak-anaknya. Membawa tubuh mungil itu kedalam dekapannya.
Tidak. Gia tetaplah ibu yang selalu kuat dihadapan anak-anaknya. Mau seberapa bergetar mentalnya sekarang, hingga dibalik dekapan itu terdapat tangan yang masih bergetar mendekap anak-anaknya.
" Bunda.. " lirih kedua anaknya, menjatuhkan tangis dibahu sang bunda.
Gia diam, tak menjawab. Membiarkan air mata itu tumpah ruah. Jiwanya masih belum sepenuhnya pulih, rasa ingin berteriak masih ada. Tapi tak apa, selama ini Gia bisa menahannya dengan baik. Gia bisa melakukannya sekali lagi.
Gia menatap ke arah mantan suaminya yang telah terduduk menatap ke arahnya dan anak-anaknya dengan mata yang sudah memerah. Mata itu Gia pandangi selama beberapa detik. Ketidakberdayaan terpancar dibalik netra legam itu.
Gia tak tahu, tentang pria itu. Rasa-rasanya Gia merasa tak terima dengan tatapan dibalik mata hitam legam itu. Bukankah pria itu yang telah menyakiti? Lalu mengapa ekspresi tak berdaya seperti itu yang pria itu tunjukkan?
Dasar manipulator.
Gia meringis didalam hatinya.
" Bawa mereka kerumah mu. Lalu kembalikan mereka kemari. " Ucap Gia dengan pandangan kosong menatap ke arah mantan suaminya itu.
Baiklah, Gia akan mengalah sekali. Berharap hal baik akan datang. Tak mungkin juga Gia bersama anak-anaknya dengan keadaan seperti ini. Gia bisa saja kembali hilang kendali, dan semakin menakut-nakuti kedua anaknya itu.
Gia memang bisa jahat disebagian mata orang lain. Tapi Gia tetaplah seorang ibu yang akan bersikap baik pada anak-anaknya.
Tak akan ia biarkan, tatapan teduh milik anak-anaknya menatap keadaan yang hancur. Tak akan.
Untuk saat ini, kasih waktu untuk Gia sendiri. Tubuhnya benar-benar gemetar menahan semua memori-memori yang secara acak bergulir indah didalam pikirannya. Membuat jiwanya ikut terenggut dalam pernertapaan lara.
Tanpa seorang pun menyadari, Jordan menatap wanita yang tampak sok kuat itu dengan tatapan cukup rumit. Selinang air mata pun tampak acuh ia sadari. Terlalu rumit perasaannya.
Jika ingin menyesali keadaannya saat ini, tentu dirinya seperti menyesali keberadaan istrinya yang dengan setia menanti dirumah. Tetapi jika tak menyesali keadaannya saat ini, sama saja menganggap sebelah mata hancurnya hati seseorang. Bukan hanya Gia, tapi anak-anaknya juga turut serta dalam kehancurannya.
Jordan tak tahu pasti apa yang Gia dan anak-anaknya itu lalui, yang pasti hal itu tak segampang memejamkan mata. Sakitnya teramat parah melebihi kecelakaan berkendara.
Tentu jika mengingat masa lalu, Jordan benar-benar mencurahkan hidupnya hanya untuk membahagiakan wanita yang menyandang status sebagai mantan istrinya itu. Jatuh bangunnya akan ia serahkan pada wanita itu. Tetapi tuhan malah mengujinya dalam bentuk pertanggung jawaban terhadap wanita lain. Tentu mangkanya terbelenggu dalam pahitnya kehidupan.
Bukannya Jordan tak ingin marah pada kedua orang tuanya, Jordan hanya sudah terlalu muak dengan tingkah laku kedua orangtuanya itu. Nyatanya Jordan tahu, semua hal ini tak lain dari campur tangan kedua orangtuanya. Tetapi mengingat tingkahnya dulu yang sama buruknya dengan cara yang berbeda, Jordan menyadari jika dirinya tak ada bedanya dengan kedua orang tuanya. Apapun kejadian hari ini, tentu bermula padanya.
Jordan menyesali itu.