NovelToon NovelToon
Not Love, But Marriage

Not Love, But Marriage

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak / Cinta Seiring Waktu / Keluarga / Persahabatan / Dokter
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Nōirsyn

"Mereka mengira pertemuan itu adalah akhir, padahal baru saja takdir membuka lembar pertamanya.”

‎Ameena Nayara Atmaja—seorang dokter muda, cantik, pintar, dan penuh dedikasi. Tapi di balik wajah tenangnya, ada luka tersendiri dengan keluarganya. Yara memilih hidup mandiri, Ia tinggal sendiri di apartemen pribadinya.

‎Hidupnya berubah ketika ia bertemu Abiyasa Devandra Alaric, seorang CEO muda karismatik. Yasa berusia 33 tahun, bukan seperti CEO pada umumnya yang cuek, datar dan hanya fokus pekerjaannya, hidup Yasa justru sangat santai, terkadang dia bercanda dan bermain dengan kedua temannya, Yasa adalah anak yang tengil dan ramah.

‎Mereka adalah dua orang asing yang bertemu di sebuah desa karena pekerjaan masing-masing . Awalnya mereka mengira itu hanya pertemuan biasa, pertama dan terakhir. Tapi itu hanya awal dari pertemuan mereka. satu insiden besar, mencoreng nama baik, menciptakan gosip dan tekanan sosial membuat mereka terjebak dalam ikatan suci tanpa cinta

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nōirsyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

kau introvert?

‎Yara terduduk lemas di sofa ruangannya. Ruangan itu terasa dingin dan kosong, seolah ikut merasakan luka di dadanya. Ia menunduk, matanya sembab, napasnya tercekat. Isak pelan mulai terdengar, lalu semakin kencang hingga tubuhnya berguncang hebat.

‎Air matanya mengalir deras tanpa bisa dihentikan. Semuanya terasa salah. Dunia seperti mengepungnya tanpa jalan keluar.

‎Pintu terbuka pelan. Feli muncul membawa bungkusan makan siang, senyum di wajahnya langsung memudar saat melihat sahabatnya menangis.

‎"Yaraa, aku cariin kamu di ruangan Kak Adrian... nggak ada, ternyata kamu di sini. Eh—kamu kenapaaa nangis?" Feli buru-buru meletakkan makanannya di meja dan berhambur memeluk Yara.

‎Yara membalas pelukan itu erat. Ia menangis sekencang-kencangnya di pelukan Feli, seolah Feli adalah satu-satunya bahu yang bisa dia andalkan saat ini.

‎"Feli... aku harus menikah dengan Yasa," isaknya lirih di tengah senggukan.

‎Feli membeku. "Apa? Tapi kenapa?"

‎Yara pun menceritakan semuanya, ancaman yang diberikan Yasa kepadanya.

‎Feli mendengarkan dalam diam, matanya berkaca-kaca. Tangannya menggenggam erat jemari Yara yang gemetar.

‎"Kamu nggak sendiri, Ra... aku di sini," bisiknya pelan, mencoba jadi jangkar di tengah badai yang menelan sahabatnya.

‎----

‎Malam itu, cuaca di luar tampak mendung. Gedung pertemuan tempat acara konferensi pers digelar dipenuhi kilatan kamera dan suara gemuruh wartawan yang tak sabar mencari kebenaran. Lampu sorot menyala terang, membanjiri panggung kecil di tengah ruangan.

‎Sebuah meja panjang berdiri kokoh, dihiasi logo perusahaan dan mikrofon yang berderet rapi. Kursi untuk dua orang telah disiapkan.

‎Yasa muncul terlebih dahulu, mengenakan setelan formal berwarna hitam. Ia tampak tenang.

‎Yara menyusul tak lama kemudian. Gaun formal sederhana menutupi tubuhnya. Dia duduk di samping Yasa, tangannya mengepal di pangkuan, berusaha menahan gemetar.

‎Wartawan mulai menodongkan pertanyaan satu demi satu.

‎"Tuan Yasa, bagaimana Anda menanggapi tuduhan pelecehan yang menyebut nama Anda sebagai pelaku terhadap seorang dokter muda?"

‎"Apakah benar Anda menggunakan pengaruh keluarga untuk membungkam korban?"

‎"Benarkah wanita yang ada di video itu adalah dokter Nayara? Kami mendapat bocoran bahwa wajahnya mirip."

‎Yara menunduk, matanya mulai berkaca-kaca. Jantungnya berdetak cepat, tapi ia harus bertahan.

‎Yasa mengambil mic, suaranya berat namun terkontrol.

‎"Tuduhan itu... tidak benar. Ada banyak kesalahpahaman dan informasi yang dipelintir. Saya di sini untuk meluruskan semuanya."

‎Ia menoleh ke Yara, lalu kembali menatap para wartawan.

‎"Wanita yang ada di video itu memang benar... Dokter Nayara. Tapi apa yang terjadi malam itu bukanlah kekerasan. Kami berdua sudah lama menjalin hubungan... dan kami akan segera menikah."

‎Seketika ruangan riuh dengan suara kamera dan gumaman para wartawan. Beberapa langsung berebut mic.

‎"Dokter Yara, apakah ini benar? Apakah Anda memang menjalin hubungan dengan Tuan Yasa sebelumnya?"

‎Yasa menoleh pelan ke Yara, lalu tersenyum kecil. Tangannya meraih tangan Yara di atas meja.

‎"Ya kan, sayang?" tanyanya, lembut tapi penuh tekanan tersembunyi.

‎Yara mengangkat wajahnya perlahan. Senyum tipis muncul di bibirnya—senyum yang menyakitkan untuk dibuat. Ia mengangguk.

‎"Iya... kami sudah lama bersama dan memantapkan diri untuk menikah," ucapnya lirih.

‎Suara wartawan, kamera yang berkedip, dan bisik-bisik publik terasa seperti pisau yang membelah pikirannya satu per satu.

‎Di dalam, hatinya remuk. Tapi senyuman itu harus tetap dipertahankan. Dunia hanya boleh melihat sisi yang mereka setting malam ini: pasangan sempurna.

‎____

‎Para wartawan mulai bubar dari lobi hotel setelah konferensi pers yang berlangsung panas dan penuh tekanan.

‎Yasa melangkah keluar duluan, jas hitamnya masih rapi, tapi wajahnya tampak lelah. Di belakangnya, Yara berjalan sambil memeluk tas kecilnya erat-erat. Matanya cemberut, bahkan tak sudi melihat ke arah pria di depannya.

‎Yasa berdiri di depan mobil

‎"Kamu ikut aku dinner bareng keluargaku."

‎"Ngga ah. Aku mau pulang."

‎"Kamu pikir ini tawaran? Ini perintah, Bu Dokter."

‎"Dan kamu pikir aku nurut?"

‎Yasa membuka pintu mobil

‎"Kalau kamu nolak, aku bisa anggap kamu cari masalah."

‎Yara mendecak, tapi akhirnya dia masuk kedalam mobil

‎"Emang kamu sendiri bukan masalah?"

‎----

‎Restoran itu mewah dan elegan, dindingnya berhiaskan lampu gantung kristal yang memantulkan cahaya lembut. Musik piano mengalun pelan di latar. Para tamu berbicara sopan, tertawa kecil, mengenakan pakaian formal yang mahal. Yara gugup, jemarinya terus meremas ujung dress-nya.

‎Pikirannya berkecamuk: "Gimana kalau mereka ga suka aku? Gimana kalau ayahnya langsung usir aku? Dan denger-denger Yasa punya adik perempuan, gimana kalau dia juga ga suka ngeliat aku?

‎Tapi semua ketegangan itu mencair saat mama Vanesha datang menghampiri dan memeluknya

‎"Sayang kamu gapapa kan? Yasa beneran ga ngapa-ngapain kamu? Dia ada kasar ke kamu? Atau dia ngancem kamu buat ga buka mulut tentang semua ini?" Tanya mama Vanesha sambil mengelus rambut Yara

‎"Ma aku emang ga ngapa-ngapain dia!" Bela Yasa

‎"Sst diam kamu, mama ga ngomong sama kamu!"

‎Yara yang di cerca banyak pertanyaan dari mama yasa pun bingung. "Emm engga tante, tuan Yasa ga melakukan apa-apa kepada saya

‎"Eh eh eh, kok manggil tuan??" Vanesha langsung mencubit perut Yasa "Kamu ini memang kurang ajar ya, kenapa kamu suruh dia panggil kamu tuan?!"

‎"AW, ma aku ga ada nyuruh dia!" Ucap Yasa kesakitan. Dia melihat jengkel ke arah Yara, tapi Yara hanya tersenyum. Dia tidak menyangka mama vanesha akan mencubit Yasa

‎"Mulai sekarang kamu panggil Yasa itu mas ya, dan kamu jangan panggil saya tante, tapi mama" Ucap Vanesha

‎Geli sekali rasanya memanggil pria ini dengan sebutan "Mas" batin Yara

‎"Eh? Iya tan, eh em ma" yara tersenyum canggung

‎Dia sungguh tidak enak!

‎Mereka akhirnya duduk di meja makan. Yara melihat ke arah Alin, Alin menatapnya dan tersenyum lembut, Yara membalas senyum itu dengan ramah. Dan saat dia menatap pak Raden, dia hanya menatap Yara tajam, seolah tak menyukai kehadirannya

‎"Pernikahan kalian tidak akan selamanya. hanya untuk beberapa bulan, lalu setelah itu bercerai!" ucap pak Raden tegas sambil memakan makanannya

‎Yara tersenyum kikuk, dia korbannya disini, dia juga tidak mau menikah dengan Yasa. Tapi rasanya sakit diperlakukan seperti itu.

‎"Siapa juga yang mau lama-lama dengan orang gila ini" batinnya

‎Yasa melirik kearah Yara, dan seperti bisa membaca pikirannya

‎"Aku dengar itu barusan"

‎"Ha?"

‎----

‎Selesai makan mereka berjalan di taman kota dekat restoran. Cahaya lampu taman berkelap-kelip, memantul di permukaan danau tenang yang mengilap seperti kaca. Angin malam semilir, daun pohon-pohon di pinggir danau bergoyang pelan.

‎"Kenapa kamu bawa aku kesini, aku mau pulang!" Ujar Yara

‎"Ck, tidak bisakah kau sedikit menikmati hidup, apakah setiap harinya kau hanya pergi kerumah sakit lalu pulang ke apartemenmu?"

‎"Kalau iya, kenapa memangnya?"

‎"Sudahlah tidak usah bertengkar, nikmati saja danau yang tenang dan cantik itu"

‎"Ngga mau, aku ga suka berada disini. Kau tahu tidak Yasa aku tidak suka berada di tengah keramaian" Ujarnya

‎"Kau introvert?" Tanya Yasa

‎"Terserah kau mau menyebut apa" Ucapnya sinis

‎Yasa terkekeh

‎"Apa bawaan dari dalam dirimu memang selalu penuh emosi?"

‎"Karena melihatmu saja hidupku terasa berantakan"

‎Yasa hanya tertawa

‎Tiba-tiba Yara teringat sesuatu

‎"Kau belum mengembalikan HP ku kan Yasa!"

‎“HP? HP siapa?”

‎“Jangan sok lupa! HP aku, yang ketinggalan bareng tas di kamar hotel waktu itu! Kamu yang ambil kan?”

‎“Hmmm... tas apa ya? Aku nggak inget ada tas di situ.”

‎Yara kesel setengah mati

‎“Yasa! kamu tau ga isinya kartu-kartu penting semua, ATM, KTP, SIM, bahkan kartu vaksin aku! Kamu tahu gak seberapa ribet ngurus semuanya kalo ilang?!” Teriak Yara membuat kuping Yasa sakit mendengarnya

‎"Oke oke, santai dong, tas nya masih sama aku. Di dalam mobil"

‎"Kenapa ga kamu kasih dari tadi?"

‎"Kamu ga minta!"

‎"Ck, inisiatif kek" Ucap Yara kesal

To be continued

*

*

*

1
gathem Toro
sebenarnya Yasa itu dah cinta sama Yara cuma gengsi aja
Takagi Saya
Hats off untuk authornya, karya original dan kreatif!
Kaylin
Gak kepikiran sama sekali kalau cerita ini bakal sekeren ini!
Fujoshita UnUHastaloshuesos
Gak bisa move on! 😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!