Apa dasar dalam ikatan seperti kita?
Apa itu cinta? Keterpaksaan?
Kamu punya cinta, katakan.
Aku punya cinta, itu benar.
Nyatanya kita memang saling di rasa itu.
Tapi kebenarannya, ‘saling’ itu adalah sebuah pengorbanan besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episot 19
Antara percaya dan tidak, tapi penjelasan Kavi memang sangat masuk akal.
"Gua gak kuat nahan pipis, lari ke toilet trus denger suara berisik dari arah di mana lu dibawa."
Puja tidak banyak berkomentar lagi, selain ucapan terima kasih dari hati terdalam.
Mungkin dia yang terlalu baper dan percaya diri, Kavi sengaja datang untuk menyelamatkannya. Setelah dipikir-pikir itu memang sangat konyol dan mustahil, pria itu sedang sibuk bertanding saat dirinya pergi ke toilet.
Tuhan memang terlalu baik, sengaja mengirimkan Kavi secara khusus padanya. Semua tidak terlihat seperti kebetulan. Sangat mengesankan.
Setelah makan malam, Puja memutuskan naik lebih dulu ke dalam kamar karena rasa kantuk tak lagi bisa ditahan.
Sementara Kavi ....
"Awas aja kalau kamu macam-macam sama kakakku! Akan aku buat kamu nyesel seumur hidup!"
Dia mendapat ancaman sengit dari Luna, adik Puja, sesaat setelah Puja jauh dari pandangan.
Luna memang sengaja menahan Kavi untuk tak naik bersamaan sang kakak. Beralasan minta tolong Kavi melihat kondisi komputernya yang rada ngelag, dan Puja mengangguk saja.
"Muka seimut itu ... siapa yang bakal kencing? Macan aja pasti masang muka kebelet," gumam Kavi setelah Luna berlalu juga. Menggeleng-gelengkan kepala seraya terkekeh lucu. Diancam ABG tujuh belas tahun adalah pengalaman pertamanya setelah menjadi orang dewasa.
Tapi Luna memang sangat menarik untuk ukuran anak seusia itu. Tinggi badannya setara Puja, kemungkinan nanti bisa lebih tinggi lagi. Wajahnya imut, bulat seperti boneka Jepang. Kepribadiannya humble dan juga cerdas. Kavi melihat banyak penghargaan keren milik anak itu di lemari kaca ruang tengah tadi. Dan yang terpenting, Luna sangat menyayangi Puja.
Melupakan tentang gadis ABG itu, dia beranjak naik ke dalam kamar menyusul istrinya.
Saat pintu didorong dan tersibak perlahan, penglihatannya langsung dikuasai Puja yang sudah merebah di atas kasur dengan selimut rapi sampai ke dada. Matanya terpejam tenang dengan dengkuran halus.
"Cepet banget tidurnya," gumam Kavi, tapi langsung sadar ketika melihat jam weker di atas nakas. Ternyata dia datang ke kamar itu satu jam kemudian setelah berbicara lima menit dengan Luna dan sisanya termenung diam di ruang tamu. Ditambah, Puja pasti sangat lelah dengan hari yang berat ini.
Sekarang, sadar sebuah keadaan, Kavi bingung menyikapi diri sendiri. Di kamar Puja tak ada sofa seperti kamar di rumahnya atau di rumah Arjuna. Jika tidur di kamar tamu, Sedayu dan Luna jelas akan curiga, walaupun Puja tak keberatan.
"Di mana gua harus tidur kalo kayak gini?" Jadi garuk-garuk kening yang tidak gatal.
Hanya ada satu bantal yang tersisa di samping kepala Puja, namun tak ada selimut lain untuk digelar di atas lantai. Keramik dingin bercorak gelap bukan pilihan bagus untuk merebahkan diri sampai pagi menjemput.
Sampai habis perkara pikir, Kavi tetap tidak menemukan cara. Pada akhir terpaksa memutuskan merebah di samping Puja. Menurunkan tubuh dengan gerak perlahan agar 'tak mengusik ketenangan tidur wanita itu.
Namun tepat saat kepalanya menempel bantai dengan sempurna, Puja bergerak, pasanga mata Kavi melebar tertahan.
Tubuh Puja yang mula membelakangi kini menghadapnya. Hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya sendiri. Jarak yang sempurna untuk bisa memandangi maha cantik itu sepuas hati.
Tatapan Kavi terkunci. Tegukan liur bergeluguk di dalam mulut.
Susunan indera yang sangat sempurna.
Sekarang bedebah ini mulai membandingkan porsi wajah Puja saat ini dan si gendut mata kodok sepuluh tahun lalu.
Pipi gembulnya mengecil. Rahang yang dulu tertutup daging kini memperlihatkan garis wajah oval sempurna hingga ke dekat telinga. Hidung kecil mancung mencuat lurus dan angkuh, tidak berubah. Alisnya sedikit lain, dari yang dulu tebal 'tak beraturan bentuk, sekarang nampak cantik dengan tatanan bulu-bulu senada arah. Rambutnya ... dulu sebatas pundak yang kadang-kadang terbagi dua ikatan di belakang telinga, sekarang panjang lurus tebal dan berkilau seperti danau di malam hari.
"Lu merubah diri sebanyak ini ... karena siapa?"
"Apa karena gua?" Lumayan kepedean.
"Karea hinaan yang dulu sering lu terima?"
“Lingkup pergaulan?”
"Karena profesi?"
"Atau karena laki-laki lain?"
Jawaban hatinya yang pertama cukup narsistik dan membuatnya geli sendiri. Yang kedua, tiga dan empat, terdengar wajar. Namun yang terakhir ... entah kenapa Kavi mendadak merasa 'tak menerima.
Jangan jauh pada pria lain, mengingat Arjuna saja dia sudah merasa kesal.
Sekarang Kavi menyadari penuh, bahwa perasaannya pada wanita itu mulai searah. Melihat wajahnya sedekat ini saja, dia jadi merasakan seperti berada dalam satu beban yang sama.
"Tidur lelap pun jidatnya terus berkerut. Apa sebenernya yang lu pikirin? Apa yang gak gua tahu tentang lu? Apa beban lu segitu berat? Bisa gak bagi sama gua dikit aja?"
Tangan kirinya yang bebas bergerak terangkat perlahan ingin sekali membelai, tapi hanya berakhir satu senti sebelum mendarat, mengambang kaku tepat di depan mata Puja. Pada akhir hanya membelai udara.
Detik berikutnya pandangan Kavi terganggu, ekspresi Puja mengerut tajam, semakin jauh meninggalkan ketenangannya. Lekas menjauhkan telapak tangannya di wajah itu lalu mengamati.
"Ayah ... jangan tinggalin aku, Yah. Bangun, kumohon ..." Wanita itu meracau dalam igauan sembari menangis sedih. Dalam mimpi pun air matanya turun nyata sederas itu.
Kavi membeku dengan tatapan iba. Serapuh wajah wanita itu, ada kehilangan yang tak terperi.
"Hey, Puja!” Coba dia membangunkan melalui guncangan pelan di lengan Puja dan suara selembut kesiur angin. "Puja." Kedua kali masih belum terbangunkan, malah tangisnya semakin pecah menjadi.
"Aku gak mau kehilangan Ayah. Tolong jangan ....”
"Puja! Puja Anugerah! ... Baskom!" Terpaksa Kavi menggoncang lebih keras agar tak keterusan mimpi Puja yang buruk itu.
Namun yang terjadi justru ....
GREB!
Kecemasannya berubah jadi kejutan, Puja malah menyusupkan kepala ke dadanya dan memeluk pinggang hingga merapat tubuh mereka.
"Aku takut, aku gak mau. Hiks, hiks."
Jantung Kavi mendadak panas seperti letupan lahar. Ditariknya napas mendalam untuk menetralkan rasa.
Didorong hati, 'tak lama dua tangannya melemas dari ketegangan. Sempat ragu sesaat, namun akhirnya mengalah. Dibalasnya pelukan Puja dengan perlahan hingga melingkar sempurna, menguasai tubuh kecil itu dalam dekapannya.
Gemetar tubuh Puja perlahan berkurang, wanita itu mulai merasa tenang. Kavi melakukan usapan halus di punggung dan kepalanya.
Semakin Puja mengetatkan pelukannya, seperti mengambil keuntungan dalam igauan. Walau belum sadar dalam situasi apa, yang terpenting sekarang baginya perasaan tenang yang diterima.
Sulit bagi Kavi untuk memejamkan mata. Pikiran dan hatinya sekarang jadi genderang.
"Jun ... gimana gua hadepin ini?"
Bagaimana pun dia sudah bersumpah di depan Arjuna tak akan pernah merubah pandangan buruknya terhadap Puja. Bahkan berjanji memberi peluang leluasa pada sahabatnya itu. Lalu yang dilakukannya sekarang?
"Boleh gak gua ingkar sama lu?"
Bisa mencintai Puja, 'tak pernah ada dalam rencana hidup Kavi sama sekali. Sekarang dia menyesal kenapa tidak memberi dirinya sendiri kesempatan untuk mencoba. Dan kesempatan itu malah diberikannya pada Arjuna.
Menyesal lagi karena tak mau mendengarkan Jun tentang labil-nya perasaan manusia.
“Hufftt.”
perjalanan dan ekspansi bisnis mungkin bisa jadi pembelajaran juga buat pembaca..
tetaplah berkarya dan menjadi yang terbaik.. 👍👍😍🙏
jadi lupakan obsesi cintamu puja..
ada jim dan jun, walaupun mereka belum teruji, jim karena kedekatan kerja.. jun terkesan memancing di air keruh..