Demi biaya pengobatan ibunya, Alisha rela bekerja di klub malam. Namun kepercayaannya dikhianati sang sahabat—ia terjerumus ke sebuah kamar hotel dan bertemu Theodore Smith, cassanova kaya yang mengira malam itu hanya hiburan biasa.
Segalanya berubah ketika Theodore menyadari satu kenyataan yang tak pernah ia duga. Sejak saat itu, Alisha memilih pergi, membawa rahasia besar yang mengikat mereka selamanya.
Ketika takdir mempertemukan kembali, penyesalan, luka, dan perasaan yang tak direncanakan pun muncul.
Akankah cinta lahir dari kesalahan, atau masa lalu justru menghancurkan segalanya?
Benih Sang Cassanova
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibu.peri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEMBALI KE KANADA
Di Bandara Internasional Kanada
Dengan langkah tegap dan penuh tekad, Theo menaiki tangga jet pribadinya. Kacamata hitam masih bertengger gagah di wajahnya, tangan terselip dalam saku mantel panjang berwarna gelap yang melambai pelan tertiup angin musim semi Kanada. Senyum tipis terus menghiasi wajahnya—sebuah ekspresi yang jarang terlihat sejak lima tahun terakhir.
Pikirannya hanya tertuju pada satu nama: Alisha.
Wanita yang entah bagaimana, masih berhasil merusak pikirannya, mengacaukan tidur malamnya, dan membuatnya terus bertanya—tentang masa lalu yang belum sempat diselesaikan. Dan kini, dia merasa semakin dekat.
“Aku datang, Bersiaplah…” gumamnya pelan, namun penuh tekad.
Theo segera naik jet pribadinya untuk melakukan perjalanan selama lima jam menuju San Fransisco, California—lokasi terakhir yang dilaporkan oleh orang suruhannya.
*
Setelah melewati Lima Jam, akhirnya Theo sampai di San Fransisco, California
Langit sudah mulai gelap ketika Theo menapakkan kaki di Bandara Internasional San Fransisco. Begitu keluar dari jet, ia segera mengaktifkan ponselnya dan menelepon seorang kenalan di Amerika. Seseorang yang memiliki akses cepat ke data dan informasi mall ternama yang menjadi tujuan utamanya.
Tak lama kemudian, Theo bersama beberapa pengawalnya langsung menuju pusat perbelanjaan yang dimaksud. Langkahnya mantap, jas hitam panjang membungkus tubuh tinggi tegapnya. Kehadirannya langsung menyita perhatian. Wibawanya begitu kuat—auranya tak bisa disangkal. Seorang mafia sejati.
Setibanya di toko alat melukis yang dimaksud, manajer toko yang sudah dihubungi sebelumnya segera menyambutnya dan mempersilakan Theo duduk di sofa VIP.
“Di mana pelayan itu?” tanya Theo datar, tanpa basa-basi.
Sang manajer langsung memanggil pelayan yang sebelumnya melayani seorang anak kecil berbelanja di tempat itu.
“Sa—saya, Tuan,” ucap pelayan muda itu gugup.
“Ceritakan.” tanya Theo dengan suara dingin.
“Kartu itu digunakan seorang anak kecil, Tuan. Perempuan, kira-kira usia empat atau lima tahun. Dia ditemani oleh wanita muda… sangat cantik. Saat kartu pertama gagal digunakan, ibunya datang dan memberikan kartu lain,” jelas pelayan itu dengan suara gemetar.
Mata Theo menyipit. “Anak kecil?”
“Benar, Tuan,” lanjut pelayan itu. “Anak itu sangat ceria dan pandai berbicara.”
Tak butuh waktu lama, sang manajer kembali dengan membawa sebuah laptop. Ia menunjukkan rekaman CCTV toko yang merekam kejadian tersebut.
“Nama wanita itu tercatat sebagai Alish Marley, Tuan. Dia tercatat sebagai model yang baru tiga tahun aktif. Untuk anak kecil itu, kami tidak menemukan data apapun,” ucap pria lainnya—ahli informasi yang selalu dipercaya Theo dalam mengumpulkan data.
Theo menatap layar laptop dengan tajam. Tak ada kata-kata keluar dari mulutnya. Ia hanya memandangi sosok wanita dalam rekaman yang sedang menggandeng tangan seorang gadis kecil.
“…Benar. Itu kamu,” gumamnya pelan. “Walaupun namamu berbeda, aku tahu itu kamu. Tapi… siapa anak kecil itu?”
Pikiran Theo langsung melayang pada satu hal. Ucapan Juna tempo hari. Tentang kemungkinan besar bahwa Alisha memiliki anak.
"Jangan-jangan..."
Theo langsung berdiri. Wajahnya tegang. Ia tidak butuh waktu lama untuk meminta anak buahnya melacak alamat Alisha di kota itu. Setelah informasi didapatkan, mereka langsung meluncur ke lokasi.
*
Butuh waktu setengah jam, untuk mereka sampai Di Perumahan Elit Pinggiran Kota San Fransisco.
Sepanjang perjalanan, rahang Theo mengeras. Ia bahkan tak bersuara. Hanya tatapan tajamnya yang sesekali menatap ke luar jendela. Bayangan wajah anak kecil tadi terus terngiang di benaknya.
Mirip sekali. Terlalu mirip.
Begitu mobil berhenti di depan rumah bergaya kolonial modern, Theo langsung keluar tanpa menunggu pintu dibukakan. Ia melangkah cepat ke arah gerbang.
Seorang penjaga rumah langsung menghampiri. “Maaf, Tuan. Anda mencari siapa?”
Theo menghentikan langkahnya. Menatap penjaga itu tajam, hingga pria itu sedikit mundur.
“Buka gerbangnya. Aku ingin bertemu anakku,” ucapnya datar namun penuh tekanan.
Penjaga itu tampak gugup. “Maaf, Tuan. Tapi… Nyonya Alish tidak ada di rumah.”
“Apa maksudmu?” tanya Theo, kali ini dengan nada lebih dingin sambil mencengkeram kerah baju penjaga tersebut.
“Mo—mohon jangan marah, Tuan. Nyonya Alish pergi beberapa jam lalu. Bersama anak perempuannya dan Nyonya Martha. Mereka membawa koper besar… sepertinya akan pergi jauh.”
Theo mendorong penjaga itu hingga jatuh, lalu menatap anak buahnya. “Cari keberadaan mereka. Sekarang juga!”
Salah satu anak buahnya mencoba menjelaskan. “Tuan, kami hanya bisa melacak via CCTV kota. Dari hasilnya, mereka terlihat menuju bandara internasional. Tapi untuk detail pesawat dan tujuan, saya tidak punya akses.”
Theo menghela napas berat. Ia mengeluarkan ponselnya dan segera menekan nomor Gerry.
“Gerry. Cepat cari tahu penerbangan atas nama Alish Marley. Sekarang,” perintahnya singkat.
Namun, dari seberang telepon, terdengar suara berat Gerry. “Theo, aku tidak bisa. Ini sudah di luar kapasitasku.”
Theo menunduk, menahan amarah dan kepedihan dalam satu tarikan napas. “Gerry… aku mohon. Aku sangat membutuhkan bantuanmu.”
Hening beberapa saat, lalu suara itu menjawab, “Baiklah. Aku akan minta bantuan Damian.”
Beberapa menit kemudian…
“Tujuannya: Kanada.”
Theo membelalakkan mata. Napasnya memburu. Ia langsung menyandarkan kepala ke badan mobil. Tangannya mengusap rambutnya dengan kasar.
“Aish… aku datang jauh-jauh dari Kanada. Ternyata, mereka malah pergi ke sana?”
Ia membuka pintu mobil dan kembali masuk.
“Siapkan jet. Kita kembali ke Kanada. Sekarang juga.”
Mobil kembali melaju. Kali ini dengan kecepatan gila. Di wajah Theo tak ada lagi senyum. Hanya ketegangan, dan satu hal yang memenuhi benaknya:
Anak itu, apakah benar adalah anaknya??