Jessy Sadewo memiliki segalanya: kecantikan mematikan, kekayaan berlimpah, dan nama yang ditakuti di kampus. Tapi satu hal yang tak bisa dia beli: Rayyan Albar. Pria jenius berotak encer dan berwajah sempurna itu membencinya. Bagi Rayyan, Jessy hanyalah perempuan sombong.
Namun, penolakan Rayyan justru menjadi bahan bakar obsesi Jessy. Dia mengejarnya tanpa malu, menggunakan kekuasaan, uang, dan segala daya pesonanya.
My Forbidden Ex-Boyfriend adalah kisah tentang cinta yang lahir dari kebencian, gairah yang tumbuh di tengah luka, dan pengorbanan yang harus dibayar mahal. Sebuah roman panas antara dua dunia yang bertolak belakang, di mana sentuhan bisa menyakitkan, ciuman bisa menjadi racun, dan cinta yang terlarang mungkin adalah satu-satunya hal yang mampu menyembuhkan — atau justru menghancurkan — mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24
Hari kedua syuting video klip Arya Nata diwarnai oleh awan kelabu yang tak hanya menggantung di langit Jakarta, tetapi juga di wajah sang bintang utama. Suasana di set terasa lebih tegang dibandingkan kemarin. Arya, yang biasanya profesional dan ramah, pagi ini tampak seperti bubuk mesiu yang siap meledak.
Mood-nya jelas tidak baik. Beberapa kali Bagus, sang sutradara, harus meminta ulang adegan karena ekspresi Arya yang terlihat kaku dan tidak connect dengan emosi yang diminta. Saat seorang kru tak sengaja menjatuhkan peralatan dengan suara berisik, Arya langsung menoleh dengan tatapan tajam, bibirnya mengerucut hampir seperti hendak memuntahkan sumpah serapah. Namun, dengan nafas dalam-dalam yang terlihat, dia berhasil menahan amarahnya dan hanya membalikkan badan, memberi isyarat pada penata rias untuk mengecek makeup-nya yang sebenarnya masih sempurna.
Jessy, dengan sensitivitasnya, memperhatikan perubahan drastis ini. Matanya mengikuti setiap gerak-gerik Arya. Pria itu terlihat sangat sering memeriksa ponselnya, jempolnya menggeser layar dengan cepat, namun alih-alih senyuman, yang muncul adalah kerutan di dahi dan kadang-kadang gerutu pelan yang hanya bisa didengar olehnya sendiri. Ada sesuatu yang sangat mengganggunya.
Ketegangan itu sedikit mencair ketika Sherlin, sang model kekasihnya, tiba-tiba muncul di lokasi syuting. Sherlin memang cantik memesona, dengan postur tinggi semampai dan wajah yang fotogenik. Begitu melihatnya, awan di wajah Arya seolah tersibak. Dia menyambut Sherlin dengan pelukan hangat dan senyum lembut yang tulus, sangat kontras dengan raut kesal yang dia perlihatkan sebelumnya. Di hadapan Sherlin, Arya berubah total—menjadi perhatian, lembut, dan penuh kasih sayang. Mereka berbisik-bisik, tertawa kecil, dan Arya bahkan dengan sabar menemani Sherlin berfoto untuk konten media sosialnya.
Jessy memperhatikan sandiwara kecil itu dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, dia senang melihat Arya kembali ceria. Tapi di sisi lain, pertanyaannya semakin menjadi: Lalu, siapa Avaya? Nama yang kemarin dia dengar dengan sebutan "istri" itu seperti hantu yang mengganggu pikirannya. Jika Arya begitu mencintai Sherlin, mengapa dia marah-marah memanggil nama wanita lain?
Setelah syuting usai dan para kru mulai membereskan peralatan, Jessy duduk di kursi tunggu, menanti Deri menjemputnya. Dia asyik memeriksa ponselnya sendiri, membalas chat Rayyan yang menanyakan kabar syutingnya.
Tiba-tiba, sebuah bunyi getaran yang sayup terdengar dari dekat kakinya. Jessy menoleh, mencari sumber suara itu. Matanya akhirnya menangkap sebuah ponsel mewah berwarna hitam yang tergeletak di bawah kaki meja kecil dekat kursinya.
"Eh, HP siapa ini?" gumam Jessy sambil membungkuk dan memungutnya.
Dia menekan tombol power, dan layar ponsel itu menyala. Namun, layar itu terkunci. Yang membuat Jessy terpaku bukanlah kunci layarnya, melainkan wallpaper yang terpampang—sebuah foto close-up seorang wanita cantik dengan senyum lembut dan bahagia. Pipinya tembam, dan yang paling mencolok adalah perutnya yang jelas-jelas membuncit besar. Wanita itu sedang hamil tua.
Jessy memandangi foto itu dengan seksama, mencoba mencocokkan wajahnya dengan para kru atau artis pendukung di lokasi syuting hari ini. Tidak ada satu pun yang mirip. Wajah wanita itu sama sekali asing.
Dengan suara lebih lantang, Jessy akhirnya berseru, "Ini HP siapa ya?" sambil mengangkat ponsel itu.
Beberapa kru yang masih berada di sekitar hanya melirik dan menggeleng, tidak ada yang mengaku. Suasana sudah mulai sepi.
Tiba-tiba, Arya yang baru saja kembali ke set setelah mengantar Sherlin ke parkiran, berhenti langkahnya. Wajahnya yang tadi riang saat bersama Sherlin, mendadak memucat pasi saat matanya menangkap ponsel di tangan Jessy. Dengan langkah cepat dan penuh kepanikan yang tertahan, dia menghampiri Jessy dan menarik ponsel itu dengan kasar dari genggamannya.
"HP gue!" hardiknya, nadanya begitu dingin dan tajam, sangat berbeda dengan nada lembutnya tadi pada Sherlin.
Jessy terkesiap, rasa kaget dan sedih menyergapnya. Tatapan Arya tadi seperti menyalahkannya.
Melihat ekspresi terluka di wajah Jessy, Arya seolah tersadar. Dia menarik napas, mencoba menenangkan diri. "Sorry... Gue nggak maksud," ujarnya, tapi nada dinginnya belum sepenuhnya hilang. Dia langsung mematikan ponsel itu dan menyimpannya dengan cepat ke dalam saku celananya, seolah takut ada yang melihatnya lagi.
Tak lama kemudian, Deri datang. Jessy pun pulang bersama pamannya, tetapi pikirannya masih penuh teka-teki.
Di dalam mobil, sambil menatap lalu lintas Jakarta yang padat, Jessy akhirnya memberanikan diri. "Om..."
"Kenapa, Jes?" sahut Deri, fokus pada kemudi.
"Mas Arya itu udah nikah ya?" tanya Jessy, mencoba terdengar biasa.
Deri terkekeh, menganggapnya pertanyaan yang aneh. "Maksudnya nikah sama Sherlin? Nggak kok, belum. Dia masih under contract exclusive sama salah satu brand ternama. Nggak boleh nikah dulu. Kalau pacaran doang boleh."
Jessy mengangguk, tak melanjutkan pertanyaannya. Tapi dalam hati, gejolak rasa penasarannya semakin menjadi. Jika Arya belum menikah, tidak boleh menikah, dan sangat mencintai Sherlin, lalu siapa wanita hamil di wallpaper ponselnya? Dan siapa sebenarnya Avaya, nama yang dia sebut dengan amarah dan keputusasaan? Rahasia apa yang disembunyikan oleh pria tampan nan tenang itu di balik senyum manisnya untuk kamera?
***
Kamarnya yang serba pink dan mewah terasa sunyi, hanya diterangi oleh lampu kristal yang memantulkan cahaya lembut ke dinding berwarna blush. Jessy merebahkan diri di atas kasur balunya yang empuk, rasa bosan dan penasaran menggerogotinya setelah seharian syuting. Tanpa pikir panjang, jarinya yang terawat menekan ikon panggilan video ke Rayyan.
Bbrrr— Tuk.
Panggilannya tiba-tiba terputus.Ditolak.
Alis Jessy berkerut. Dia buru-buru mengetik pesan.
'Kenapa di rejected?'
Hanya beberapa detik kemudian, balasan dari Rayyan masuk.
'Sebentar ya sayang. Aku disuruh temenin tamu ibuku sebentar. Habis ini aku telpon.'
Di sisi lain kota, dalam ruang tamu sederhana yang dihiasi foto-foto lama dan bau aroma kue yang baru dipanggang, Rayyan baru saja berbohong. Kenyataannya, dia sedang duduk di sofa tua bersama ibunya, menonton sinetron favorit Maryam. Ketika ponselnya bergetar dan wajah Jessy yang cantik tersenyum di layar, jantungnya langsung berdebar kencang. Panik. Dengan gerakan refleks, jempolnya menekan tombol merah "tolak panggilan". Dia bisa merasakan tatapan ibunya dari samping.
"Yan, ada telpon?" tanya Maryam, tanpa mengalihkan pandangan dari TV.
"Eh, iya Bu. Tapi nggak penting," jawab Rayyan, berusaha terdengar santai. "Aku mau ke kamar dulu, Bu. Mau lanjutin laporan."
Maryam hanya mengangguk, dan Rayyan segera menyelamatkan diri ke kamarnya yang sempit, hati masih berdebar-debar karena kebohongan tadi.
Tak lama, panggilan video mereka akhirnya tersambung. Wajah Jessy yang cerah dan cantik memenuhi layar ponsel Rayyan. Dia dengan cepat mengenakan headset-nya, memastikan suara Jessy yang merdu tidak bocor keluar dan terdengar oleh ibunya.
"Sayang. Aku mau cerita gossip," ujar Jessy, matanya berbinar penuh semangat, seperti anak kecil yang dapat permen.
Rayyan tersenyum kecil, meski ada rasa bersalah yang mengganjal. "Gosip apa?" bisiknya, suaranya sengaja dibuat pelan.
"Kayaknya Arya Nata selingkuh deh," desis Jessy, penuh antusias.
"Tau dari mana?" tanya Rayyan, mencoba ikut terlibat.
"Waktu itu aku sempet denger dia berantem di telpon sama perempuan yang namanya Avaya. Terus dia bilang, 'Punya istri satu aja susah banget diatur.'" Jessy menirukan suara Arya dengan dramatis. "Berarti kan Avaya itu istrinya."
Rayyan terkekeh pelan, terdengar di headset Jessy. "Aku baru tau anak orang kaya juga hobi bergosip."
"Gosip itu bagian dari hidup wanita," bantah Jessy dengan sok bijak. "Dari semua kalangan wanita."
"Iya... iya..." jawab Rayyan mengalah, senang melihat Jessy begitu bersemangat. "Terus apa lagi?"
"Terus tadi aku nemuin HP kan. Di HP-nya ada poto cewek cantik lagi hamil. Dan ternyata itu HP-nya Arya dong," ujar Jessy, suaranya menjadi berbisik serius, seolah membocorkan rahasia negara.
Rayyan diam, memperhatikan wajah Jessy di layar. Dia menikmati ocehan lucu pacarnya tentang gosip idolanya, meski di balik itu, ada sesuatu yang mulai menggelisahkannya.
"Bisa jadi Avaya itu beneran istrinya Arya. Tapi karena nggak disetujui sama orang tua Arya jadi mereka nikah diam-diam deh," ujar Jessy, mulai berspekulasi liar dengan imajinasinya.
Nikah diam-diam.
Kata-kata itu seperti pukulan telak bagi Rayyan. Rasanya seperti Jessy tanpa sengaja sedang menyindir keadaan mereka sendiri. Bukankah dia juga sedang menyembunyikan hubungannya dengan Jessy? Hanya karena tahu betul ibunya tidak akan pernah menyetujui hubungan dengan gadis yang pernah menghinanya sampai ke tulang sumsum itu.
"Sayang... Rayyan!" seru Jessy, melihat Rayyan termenung dan tatapannya kosong. "Kamu nggak dengerin cerita aku?" tanyanya, nada kesal mulai terdengar.
"Aku denger kok," jawab Rayyan cepat, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.
"Terus menurut kamu gimana?" tanya Jessy, ingin tahu pendapatnya.
"Gimana apanya?" tanya Rayyan, pura-pura tidak paham.
"Ya, tanggapan kamu soal Arya dan Avaya itu."
Rayyan menarik napas. "Mungkin benar Avaya itu istrinya. Dan Arya cuma mau sembunyiin Avaya dari media karena demi keamanan istrinya," ujarnya, mencoba membela, atau mungkin, membela pilihannya sendiri untuk merahasiakan hubungan mereka.
"Ah, bullshit!" seru Jessy, tidak terima. "Buktinya Arya pacaran sama Sherlin! Kalau dia beneran sayang sama istrinya, dia nggak akan mendua. Dia akan publish hubungan mereka. Dia akan lindungi istrinya gimanapun caranya." Suara Jessy tegas dan penuh keyakinan. "Aku nggak mau ngefans sama dia lagi lah," gerutunya kecewa.
Publish hubungan. Lindungi gimanapun caranya.
Kata-kata Jessy yang polos dan penuh prinsip itu menusuk Rayyan lebih dalam dari yang dia kira. Pikirannya menerawang. Bagaimana caranya mempublikasikan hubungannya dengan Jessy? Bersiap menerima badai penolakan dari sang ibu? Lalu, setelah itu, bagaimana caranya melindungi Jessy dari kekecewaan dan mungkin bahkan penolakan dari keluarganya sendiri? Apakah dia memiliki kekuatan dan keberanian seperti yang diharapkan Jessy?
Merasa percakapan ini semakin mendekati zona berbahaya bagi hatinya, Rayyan dengan cepat mengalihkan pembicaraan. "Eh, kamu udah makan malem belum?" tanyanya, mencoba mengubah topik.
Namun, diam-diam, setiap ocehan Jessy tadi terasa seperti cermin yang memantulkan ketidakberdayaannya sendiri. Dia mencintai Jessy, tapi apakah cinta itu cukup untuk melawan segala rintangan, terutama ketika rintangan terbesar justru datang dari orang yang paling dia hormati? Pertanyaan itu menggantung, tak terjawab, menambah beban di pundak pria jenius yang biasanya punya solusi untuk segala masalah, kecuali untuk masalah hatinya sendiri.
***
Hari terakhir syuting video klip Arya Nata diwarnai dengan atmosfer yang berbeda. Lampu sorot di studio terasa tidak sepanas hari-hari sebelumnya, mungkin karena mood Arya yang jauh lebih stabil. Wajahnya yang tegang kemarin telah digantikan oleh ketenangan, bahkan sesekali dia melontarkan canda ringan yang membuat kru tertawa.
Saat jeda antara pengambilan gambar, Arya menghampiri Jessy yang sedang duduk di kursi rias, menyesap kopi dari paper cup.
"Jess," panggilnya, suaranya rendah. Jessy menoleh, sedikit kaget. "Aku mau minta maaf buat sikapku kemarin ya. Sorry banget."
Permintaan maaf itu tulus. Matanya yang biasanya penuh karisma, kini tampak lelah namun jernih. Jessy, yang masih penasaran dengan insiden di parkiran, memilih untuk menerimanya dengan lapang dada. "Nggak apa-apa, Mas Arya."
"Makasih," ucap Arya singkat sebelum kembali ke posisinya. Tapi bagi Jessy, permintaan maaf itu justru semakin mengukuhkan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan pria itu di balik pesona publiknya.
Syuting berjalan lancar. Adegan terakhir, di mana Jessy sebagai personifikasi mimpi akhirnya menghilang untuk selamanya, berhasil diambil hanya dalam dua kali take. Ekspresi kerinduan dan keputusasaan di wajah Arya begitu menghanyutkan, membuat seluruh kru berdecak kagum.
"Cut! It's a wrap!" teriak Bagus, disambut sorak-sorai dan tepuk tangan dari seluruh kru. Proyek video klip yang melelahkan akhirnya usai.
Sebagai bentuk apresiasi, Deri sang produser mengajak seluruh kru dan artis untuk makan malam di sebuah restoran mewah di kawasan Senayan. Suasana di restoran itu riuh dan penuh tawa. Jessy duduk di meja utama bersama Deri, Bagus, Arya, dan... Sherlin.
Pacar Arya itu datang belakangan, menyapa semua orang dengan manis sebelum duduk di samping Arya. Mereka terlihat sangat kompak. Sherlin sesekali menyuapi Arya, membetulkan kerah bajunya, dan tertawa lepas pada candaannya. Mereka adalah pasangan ideal di mata media.
Tapi mata Jessy yang penuh rasa ingin tahu terus mengamati. Saat Arya berdiri untuk ke toilet, ponselnya tertinggal di atas meja, bersebelahan dengan ponsel Sherlin. Inilah kesempatannya. Dengan hati berdebar, Jessy melirik ponsel Arya.
Bukan.
Itu bukan ponsel yang dia lihat kemarin. Ponsel ini modelnya lebih baru, casing-nya berbeda. Dan yang paling mencolok—wallpaper-nya adalah foto Arya dan Sherlin yang sedang berpelukan dengan latar belakang pantai, tersenyum bahagia. Tidak ada jejak "Avaya" atau wanita hamil misterius itu.
Keruan saja. Arya ternyata menggunakan dua ponsel. Yang satu untuk kehidupan publiknya dengan Sherlin, dan satunya lagi untuk... Avaya?
Kebingungan Jessy semakin menjadi.
Beberapa saat kemudian, Jessy beranjak ke toilet wanita. Saat dia baru saja keluar dari bilik dan hendak membasuh tangan, telinganya menangkap suara yang dikenalnya dari balik pintu toilet pria yang bersebelahan. Suara itu berbisik pelan, tapi cukup jelas tertangkap di keheningan area toilet.
"Orderin dimsum sama makanan lainnya. Take away, buat Avaya di rumah."
Avaya. Nama itu lagi. Jantung Jessy berdebar kencang. Dia membeku, berusaha tidak membuat suara.
"Siap, Bos!" jawab suara Koko, asisten Arya, dengan cepat dan patuh.
Langkah kaki mereka kemudian menjauh, meninggalkan Jessy sendirian di wastafel, dengan pertanyaan yang semakin menggumpal di benaknya. Siapa sebenarnya Avaya? Dan mengapa Arya harus menyembunyikannya dengan sangat rapi?
Dia kembali ke meja dengan pikiran kalut. Sherlin masih duduk di sana, tersenyum manis, sama sekali tidak menyadari bahwa di balik senyuman hangat pacarnya, tersimpan rahasia yang mungkin akan menghancurkan dunianya.
Sesi makan malam akhirnya berakhir dengan ucapan terima kasih dari Deri dan Bagus. Arya, dengan Sherlin di sampingnya, berpose ramah untuk foto bersama kru. Dia terlihat seperti selebriti yang sempurna—tampan, berbakat, dan memiliki hubungan yang harmonis.
Tapi Jessy tahu. Di balik semua gemerlap itu, ada sebuah pintu rahasia yang baru saja terbuka sedikit, dan dia tidak bisa menahan diri untuk tidak ingin mengintip lebih dalam. Rahasia Arya Nata kini menjadi teka-teki yang mengusik pikirannya, hampir menyamai rasa penasarannya pada Rayyan di hari-hari awal mereka bertemu.
***
"Aku jemput kalau udah selesai syuting," ucap Rayyan beberapa jam lalu melalui telepon, suaranya tenang namun penuh kepastian.
Mendengar itu, jantung Jessy langsung berdebar kencang. "Serius?" sahutnya, tak percaya. Rayyan, yang biasanya sangat tertutup dan jarang menginisiasi pertemuan di tempat umum, mau menjemputnya.
"Iya. Kamu di mana?" tanya Rayyan lagi.
"Nanti aku shared loc. Aku kabarin kamu kalau aku udah selesai ya," balas Jessy, suaranya sudah tidak bisa menyembunyikan kegirangan.
Tiga jam kemudian, tepat saat acara makan-makan usai, Jessy melangkah keluar dari restoran mewah itu. Matanya langsung mencari, dan menemukan sosok yang dia tunggu. Di tepi jalan, berdiri Rayyan dengan motornya yang tua namun terawat. Pria itu bersandar dengan santai, wajah tampannya yang biasa dingin kali ini terlihat lebih rileks di bawah lampu jalan Jakarta. Jessy langsung melompat kegirangan.
Dia buru-buru menarik Rayyan untuk memperkenalkannya pada Deri yang baru saja keluar.
"Om Deri, ini Rayyan, pacar aku," ujar Jessy, suaranya penuh kebanggaan, seolah memperlihatkan harta karun terindahnya.
Deri mengamati Rayyan dari ujung kepala hingga kaki, lalu tersenyum. "Oh, ini Rayyan yang dibilang sama Mami kamu?"
Rayyan dengan sopan menyalami Deri. "Rayyan, Om."
"Aku pulang sama Rayyan ya, Om," pinta Jessy, masih dengan senyum lebar.
Deri mengangguk pasrah. "Hati-hati di jalan ya, Jes. Tolong jaga Jessy ya, Yan."
"Siap, Om," balas Jessy dan Rayyan hampir bersamaan. Lalu, dengan suara mesin yang berisik, motor tua itu melaju, membawa mereka pergi dari kemewahan menuju sebuah petualangan yang lebih sederhana.
Jessy memeluk erat pinggang Rayyan dari belakang, menempelkan pipinya di punggungnya yang hangat. Angin menerpa rambutnya, tapi dia tidak peduli.
"Kita mau kemana, sayang?" tanyanya penuh antusias.
"Ada deh," balas Rayyan, suaranya terdengar iseng, mengandung sedikit misteri.
"Ih... orang ditanya juga," ujar Jessy manja sambil mencubit pinggang Rayyan dengan lembut. Rayyan hanya terkekeh, menikmati keceriaan gadis di belakangnya.
Mereka akhirnya berhenti di depan gerbang Kebun Binatang Ragunan. Suasana weekdays membuat tempat itu tidak terlalu ramai, hanya beberapa pengunjung yang lalu lalang.
"Kamu pernah ke sini?" tanya Rayyan setelah memarkir motornya.
Jessy menggeleng, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. "Aku pernah ke Taman Safari," ujarnya, mengingat pengalaman yang jauh lebih mewah.
"Ini versi hematnya," balas Rayyan terkekeh, matanya berbinar senang melihat reaksi Jessy.
Setelah membeli tiket, mereka memasuki area kebun binatang yang luas dan rindang. Suasana hijau dan suara kicauan burung langsung menyambut mereka, sebuah kontras yang mencolok dengan hiruk-pikuk Jakarta.
"Masih kuat kan jalan kaki?" tanya Rayyan, mengingat Jessy yang biasanya terbiasa dengan kemewahan.
"Kuat dong!" balas Jessy dengan semangat, mengepalkan tangannya kecil seolah sedang menyemangati diri sendiri.
Mereka mulai berjalan, dan tanpa disadari, jari-jari mereka saling bertaut, bergandengan tangan dengan natural. Rayyan, dengan pengetahuannya yang luas, menjadi pemandu yang sempurna. Tangannya yang kokoh menunjuk ke arah kandang orangutan.
"Lihat yang di pohon itu. Orangutan Sumatera. Mereka dikenal paling cerdas di antara kera besar lainnya. Bisa menggunakan alat untuk mengambil makanan," jelas Rayyan, suaranya tenang namun penuh wawasan.
Jessy mendengarkan dengan saksama, terpukau oleh kedalaman pengetahuan Rayyan. "Wah, kamu tahu banyak ya."
Mereka melanjutkan perjalanan. Di depan kandang komodo, Rayyan kembali bercerita. "Komodo, naga dari Indonesia. Air liurnya mengandung racun mematikan, tapi mereka lebih mengandalkan gigitan dan cakar untuk berburu."
Setiap kandang, setiap satwa, selalu ada fakta menarik yang dibagikan Rayyan. Jessy tidak hanya melihat binatang; dia diajak memahami mereka.
"Kamu kayaknya suka binatang ya..." ujar Jessy setelah mereka meninggalkan kandang harimau. "Kemarin ke SeaWorld, sekarang ke kebun binatang."
Rayyan tersenyum. "Aku tadinya mau ajak kamu ke museum. Tapi takut kamu bosen."
Jessy terkekeh. "Iya juga sih," akunya dengan jujur. Sejarah dan artefak kuno memang bukan minatnya.
"Padahal ngobrolin sejarah itu seru lho," rayu Rayyan lembut.
"Aah... otak kita nggak sefrekuensi kayaknya," keluh Jessy, merasa sedikit bodoh di hadapan kecerdasan Rayyan.
Tapi kemudian, dengan mata berbinar nakal, dia menambahkan, "Tapi hati kita sefrekuensikan."
Rayyan berhenti berjalan. Dia menatap Jessy, matanya yang seperti dark coffee itu memancarkan kelembutan yang dalam. Sebuah senyum tulus, langka dan indah, merekah di bibirnya. Dia mengangguk, yakin. "Iya," ucapnya, sebuah pengakuan sederhana yang terasa begitu berat maknanya.
Mereka kemudian duduk di sebuah bangku di dekat danau, menikmati keteduhan dan kesunyian.
"Oh iya, Jes. Besok aku sidang," ujar Rayyan tiba-tiba, mengingatkan pada momen pentingnya.
Jessy langsung menghadapkan seluruh tubuhnya pada Rayyan. "Aku besok ke kampus temenin kamu ya," pinta nya, tidak mau ketinggalan.
Rayyan mengangguk. "Iya."
Sisa sore itu mereka habiskan dengan berjalan-jalan santai. Mereka tidak lagi terlalu memperhatikan satwa-satwa yang mereka lewati. Fokus mereka hanyalah satu sama lain—tangan yang tetap bergandengan, bahu yang sesekali bersentuhan, dan obrolan ringan yang diselingi tawa. Di tengah kesederhanaan Ragunan, jauh dari gemerlap dunia mereka yang biasa, mereka menemukan sebuah kebahagiaan yang murni. Sebuah kencan yang tidak diukur dari kemewahan, tetapi dari kehangatan yang mereka rasakan saat bersama.
jangan cuma bisa nyalahin orang aja, Elu juga salah cuma jadi penonton, Ndak malah bantuin ibunya.
buat emaknya Rayyan luluh donk thorrrrr
ceritamu emang secandu ini yaa kak ..
kudu di pites ini si ibu Maryam