NovelToon NovelToon
Faded Lust

Faded Lust

Status: sedang berlangsung
Genre:Slice of Life / Penyesalan Suami / Selingkuh / Cintapertama / Tamat
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Mga_haothe8

Lunara Angelita selalu percaya bahwa pernikahannya dengan Halden Nathaniel—pelukis jenius yang menjadi kebanggaan kota kecil mereka—adalah rumah paling aman yang pernah dimilikinya. Lima tahun bersama, lima tahun bahagia… atau setidaknya begitu yang ia yakini.

Hingga pada malam hujan yang sunyi, saat listrik padam, Luna tanpa sengaja menemukan sebuah kanvas tersembunyi di gudang. Dan di balik kain putihnya terpampang wajah perempuan yang seharusnya telah lama hilang dari hidup mereka—Karina, mantan kekasih Halden. Dilukis dengan detail yang hanya diberikan oleh seorang pria pada seseorang yang masih memenuhi hatinya.

Lukisan itu baru. Sangat baru.

Saat Luna menuntut kebenaran, Halden tidak berbohong—tetapi jawabannya jauh lebih menyakitkan dari pengkhianatan.

Melukis, katanya, bukan tentang siapa yang menemani hari-harinya.
Melainkan tentang siapa yang tak pernah benar-benar pergi dari hatinya.

Seketika dunia Luna runtuh.
Apakah selama ini ia hanya menjadi istri di ata

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Cinta yang Memilih Tinggal

Malam itu hujan turun perlahan, tidak deras, tidak pula benar-benar reda. Dari balkon apartemen, Luna menatap cahaya lampu kota yang berpendar samar di balik tirai hujan. Tangannya refleks melindungi perutnya yang semakin membesar, seolah dunia di luar sana terlalu bising untuk anak kecil yang sedang tumbuh dengan tenang di dalam dirinya.

Nathan berdiri tidak jauh darinya, bersandar pada pintu kaca. Ia memperhatikan Luna dengan diam yang panjang—bukan karena tak tahu harus berkata apa, melainkan karena terlalu banyak yang ingin ia sampaikan, dan semuanya terasa penting.

“Luna,” panggilnya akhirnya, suaranya rendah namun mantap.

“Kita bicara sebentar?”

Luna menoleh. Ada sesuatu dalam tatapan Nathan yang membuat dadanya menghangat sekaligus menegang. Ia mengangguk pelan dan kembali duduk di sofa. Nathan ikut duduk, menjaga jarak yang sopan—seperti selalu—meski hatinya ingin lebih dekat.

“Ada apa?” tanya Luna.

Nathan menarik napas dalam-dalam. “Aku sudah memikirkannya lama. Bukan sehari dua hari. Bukan karena kasihan. Bukan karena keadaan.”

Luna menegakkan punggungnya. Jantungnya mulai berdetak tidak teratur.

“Aku ingin menikah denganmu,” lanjut Nathan. “Aku ingin menjadi suamimu. Dan… aku ingin mengakui anak ini sebagai anakku.”

Kalimat itu menggantung di udara. Lama. Berat.

Luna membeku.

Ia tidak langsung menangis. Tidak langsung marah. Yang ia rasakan pertama kali justru takut—takut pada kemungkinan bahagia yang terlalu besar untuk ia percaya.

“Nathan…” suaranya bergetar. “Kamu tahu apa yang kamu katakan?”

“Aku tahu,” jawab Nathan tanpa ragu. “Dan aku tahu apa risikonya.”

Luna menggeleng keras. “Tidak. Kamu tidak boleh. Kamu terlalu baik untuk ini.”

“Untuk apa?”

“Untuk hidupku,” Luna menelan ludah. “Untuk masa laluku. Untuk… aku yang sudah rusak. Kamu layak mendapatkan perempuan yang lebih baik dariku-”

Nathan mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. “Jangan katakan itu.”

“Aku janda,” lanjut Luna, matanya berkaca-kaca. “Aku hamil anak orang lain. Aku penuh luka. Kamu masih bisa mencari perempuan lain—yang utuh, yang tidak membawa beban seperti aku. Yang tidak harus kamu lindungi setiap waktu.”

Nathan berdiri. Perlahan, ia berlutut di depan Luna, sejajar dengan perutnya, dengan hatinya.

“Luna,” katanya lembut namun tegas. “Aku tidak mencintaimu karena kamu sempurna. Aku mencintaimu karena kamu jujur. Karena kamu bertahan. Karena kamu memilih hidup meski dunia mematahkanmu.”

Air mata Luna jatuh satu per satu.

“Aku tidak ingin kamu berkorban,” katanya lirih. “Aku tidak ingin suatu hari kamu menyesal. Aku...yidak layak diperjuangkan”

Nathan menggeleng. “Aku sudah hidup cukup lama untuk tahu bedanya cinta dan pelarian. Aku tidak sedang menyelamatkanmu. Aku memilihmu.”

Ia menyentuh perut Luna dengan sangat hati-hati, seolah meminta izin. “Dan anak ini… dia tidak meminta dilahirkan dari masa lalu yang rumit. Yang dia butuhkan adalah rumah. Dan aku ingin menjadi rumah itu.”

Luna menangis. Bukan tangis sedih, melainkan tangis seseorang yang terlalu lama bertahan sendirian hingga lupa bagaimana rasanya ditawari untuk tidak sendiri lagi.

“Tapi bagaimana dengan Halden?” tanyanya pelan. “Bagaimana dengan kebenaran?”

“Aku tidak akan menghapus masa lalu,” jawab Nathan. “Aku hanya ingin membangun masa depan. Anak ini tahu siapa ayah biologisnya nanti—aku tidak akan membohonginya. Tapi aku ingin menjadi ayah yang hadir. Yang memilih tinggal.”

Luna menutup wajahnya dengan kedua tangan. Luka lama kembali menyentuh, tapi kali ini tidak sendirian.

“Aku takut, Nathan,” bisiknya. “Takut kehilanganmu seperti aku kehilangan segalanya dulu.”

Nathan berdiri dan duduk di sampingnya. Ia tidak langsung memeluk, hanya menyentuh punggung tangannya—memberi pilihan.

“Aku tidak akan menjanjikan hidup tanpa masalah,” katanya pelan. “Tapi aku berjanji tidak pergi. Bahkan saat kamu ragu. Bahkan saat kamu merasa tidak layak.”

Luna menoleh. Tatapan mereka bertemu. Untuk pertama kalinya, Luna tidak melihat harapan kosong atau kata-kata manis—yang ia lihat hanyalah keteguhan.

“Kamu tidak harus menjawab sekarang,” lanjut Nathan. “Aku tidak ingin kamu merasa terdesak. Aku hanya ingin kamu tahu… aku di sini bukan sebagai bayangan. Aku datang dengan niat penuh.”

Hari-hari berikutnya dipenuhi keheningan yang dalam. Luna banyak diam, banyak berpikir. Ia menatap cermin lebih lama dari biasanya, melihat dirinya bukan sebagai korban, tapi sebagai perempuan yang telah melewati badai.

Ia mengingat setiap pagi ketika Nathan memastikan ia makan. Setiap malam ketika Nathan terbangun hanya untuk memastikan ia baik-baik saja. Tidak ada tuntutan. Tidak ada sentuhan berlebihan. Tidak ada kata “kamu harus”.

Dan ia menyadari sesuatu yang menyesakkan sekaligus menghangatkan—Nathan tidak pernah mencoba menggantikan siapa pun. Ia hanya menjadi dirinya sendiri.

Suatu sore, Luna menemukan Nathan di dapur, menyiapkan sup.

“Nathan,” panggilnya.

Ia menoleh. “Ya?”

Luna berdiri di hadapannya, tangan gemetar. “Aku tidak tahu apakah aku bisa menjadi istri yang sempurna. Aku tidak tahu apakah aku akan selalu kuat.”

Nathan tersenyum kecil. “Aku tidak mencari kesempurnaan.”

Luna menarik napas panjang. “Aku juga tidak ingin kamu merasa terikat oleh rasa tanggung jawab.”

“Aku tidak terikat,” jawab Nathan mantap. “Aku datang.”

Air mata kembali menggenang di mata Luna.

“Kalau suatu hari nanti aku kembali rapuh?” tanyanya.

“Aku tetap tinggal.”

“Kalau aku takut?”

“Aku genggam tanganmu.”

Luna tersenyum di tengah air mata. Untuk pertama kalinya, ia tidak menolak rasa bahagia.

“Aku tidak melarangmu lagi,” katanya lirih. “Tapi aku ingin kita melangkah pelan. Aku ingin menikah bukan karena takut, tapi karena yakin.”

Nathan mengangguk. “Itu juga yang aku inginkan.”

Ia tidak berlutut. Tidak mengucapkan janji besar. Ia hanya meraih tangan Luna dan menggenggamnya erat—seolah berkata: *aku di sini, hari ini, dan besok.*

Di luar, hujan kembali turun. Tapi di dalam apartemen kecil itu, Luna merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya—bukan cinta yang membakar, melainkan cinta yang memilih tinggal.

Dan untuk pertama kalinya sejak segalanya runtuh, Luna percaya: mungkin ia memang pantas dicintai, mungkin ini kebahagiaan yang tuhan janjikan.

1
Telurgulung
lanjut atau end disini aja?
Yunie
akhirnya bisa bahagia... lanjut thor
Yunie
sedihnya jadi Luna
Yunie
alurnya menarik
Yunie
makin menarik
Siti M Akil
lanjut Thor
ayu cantik
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!