Aira, gadis kota yang bar-bar dan suka bebas berekspresi, terpaksa ikut orang tuanya pindah ke kampung.
Di sana hidup lebih tenang, katanya... padahal justru membuat hidup Aira jungkir balik.
Setiap hari ia bersitegang dengan Ustadz Fathur, ustadz muda yang kelewat sabar tapi cerewet soal adab dan pakaian.
Yang satu bar-bar, yang satu sabar... tapi sabar juga ada batasnya, kan?
Dan saat perdebatan mereka mulai jadi bahan berita sekampung, Ustadz Fathur malah nekat melamar Aira…
Bukan karena cinta, tapi karena ingin mendidik.
Masalahnya, siapa yang akhirnya lebih dulu jatuh cinta... si bar-bar atau si sabar?
Baca selengkapnya hanya di NovelToon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Ustadz Fathur menahan tawa kecil.
“Iya Bu, saya sudah melihat sendiri tadi… langkahnya cepat, tapi arahannya belum jelas.”
“Betul itu, Ustadz!” Bu Maryam tepuk tangan kecil. “Belum dua menit turun sawah, bibit saya melayang semua!”
Mereka bertiga tertawa.
Pak Hadi menarik napas.
“Saya cuma ingin Aira bisa menyesuaikan diri. Dia bukan anak jahat, cuma… terbiasa hidup di kota.”
Ustadz Fathur mengangguk dengan senyum penuh pengertian. “Saya paham, Pak. Lingkungannya berbeda. Di kota serba cepat, di kampung serba pelan. Aira butuh waktu.”
Bu Maryam menatap Fathur sambil menyipit lucu. “Ustadz… tadi pas nolong Aira, kamu refleks banget ya?”
Ustadz Fathur langsung batuk-batuk. “Ehem… iya Bu… takut dia jatuh lagi. Nanti masuk lumpur kepala duluan.”
Pak Hadi tertawa sampai bahunya naik turun. “Tapi… Aira itu anak baik, Ustadz,” ucap Pak Hadi lebih serius, “Cuma keras kepala, banyak protes, tapi hatinya bersih.”
Ustadz Fathur menatap ke arah rumah, ke kamar mandi tempat suara Aira masih terdengar.
Tiba-tiba dari dalam terdengar jeritan:
“MAAA! SHAMPOO AKU HABIS! SINGAALLLL!”
Bu Maryam berdiri cepat. “Yaa Allah itu anak!”
Ustadz Fathur sampai menunduk sambil tersenyum lebar. “Lucu, ya, Pak,” katanya lirih.
Pak Hadi menghela napas lelah tapi ada bangga di ujungnya. “Lucu? Coba nanti kalau kamu yang tinggal serumah sama dia…”
Pak Hadi nyeletuk asal sambil nyeruput teh.
Bu Maryam langsung melotot kecil ke suaminya. “Pa…! Jangan nyeplos!”
Ustadz Fathur tersedak teh.
Pak Hadi buru-buru meluruskan. “Maksud saya kalau… kalau… siapa pun yang tinggal sama dia. Maksudnya gitu! Hahaha!”
Bu Maryam tutup muka.
Ustadz Fathur hanya tersenyum, pipinya memerah sedikit.
Namun ada sesuatu di matanya yang menunjukkan…
Dia tidak sepenuhnya keberatan.
***
Setelah dua jam di kamar mandi... antara mandi, scrubbing lumpur, nangis malu, dan curhat sama sabun... Aira akhirnya keluar.
Wangi. Rapi. Rambut dikeringkan. Wajah fresh.
Dress putihnya diganti dengan kaos oversize dan celana longgar yang lebih aman menurut standar mamanya.
Aira menghela napas lega. “Fiuh… selesai juga. Mulai hari ini, Aira yang baru… lebih tenang… lebih sopan… lebih...”
Tiba-tiba terdengar riuh rendah suara perempuan dari depan rumah.
Aira refleks berhenti. “…jangan-jangan… bukan untuk aku, kan?” gumamnya cemas.
Tapi begitu ia melangkah ke ruang tamu lalu ke teras…
JRENG.
Semua ibu-ibu yang tadi menanam padi sudah berkumpul... sekitar delapan orang... duduk di bangku panjang, lesehan di bawah, sambil minum es teh dan makan keripik.
Begitu melihat Aira keluar…
“HEHEHEHEHEHEEEE!!!”
Satu teras langsung pecah tawa.
“Aduh Neng Aira, akhirnya kaluar ogé! Hampir dua jam, lho!”
“Lama teuing, atuh. Kuring pikir Neng Aira teh jadi ikan lele!”
“Airaaa… lumpurna udah hilang belum?”
“Pasti rambutnya tadi keras kayak tanah liat!”
Aira langsung freeze.
Mau balik ke kamar tidak mungkin, mau pura-pura mati juga tidak bisa.
“Ma… Pa…” Aira memanggil lirih seperti anak korban perundungan.
Bu Maryam, yang duduk paling tengah bersama warga, langsung tersenyum lebar sambil melambai-lambai. “Hei, Neng Lumpur, sini-sini…”
“MAAA!!! Jangan panggil aku gituuu!”
Tapi warga makin semangat.
“Neng Lumpur… Neng Lumpur…”
Mereka nyanyi-nyanyi seperti yel-yel.
Aira memegang jidatnya. “Pa, tolong hentikan mereka…”
Pak Hadi cuma nyeruput teh sambil geleng-geleng. “Maaf, Ra. Papa juga tadi ketawa.”
Nama baik Aira sudah direbut masyarakat dalam sehari.
Lalu salah satu ibu maju sambil menepuk pundak Aira.
“Neng, punten, moal ngehina. Tapi lucu nyaaa… urang kabéh teu kuat. Cara jatuhna tadi… duuh… sinetron Indosiar kalah!”
Semua tertawa lagi.
Aira menutup wajah dengan kedua tangan. “Aku mau pindah planet…”
Tiba-tiba ibu lain menepuk bahunya. “Tapi nggak apa, Neng. Justru ayeuna Neng Aira udah ikut cair sama warga. Tadi yang ngebantu nanam padi itu hebat.”
“Hebat gimana? Aku bikin satu bedeng hancur!” protes Aira.
Ibu-ibu langsung terbahak. “Tapi minimal usaha, Neng!”
“Betul! Itu penting di kampung! Percaya atuh, nanti juga biasa.”
Aira perlahan membuka tangan dari wajahnya.
Walaupun malu luar biasa, tapi warga tidak jahat—mereka justru hangat dengan cara… yang nyakitin mental.
Bu Maryam merangkul pundak anaknya. “Nah, lihat kan? Orang-orang di sini ramah. Kamu tinggal biasakan diri.”
Aira cemberut. “Tapi tadi Ustadz Fathur lihat aku jatuh… itu yang bikin aku mau mati saja.”
Ibu-ibu langsung ribut lagi.
“Uuuuuuh, Ustadz Fathur yaaa…”
“Cakep, atuh, Neng. Cocok pisan lamun...”
“MAAAA!!!” Aira menjerit.
Bu Maryam dan warga terbahak.
Pak Hadi cuma menatap langit sambil berkata lirih, “Baru dua hari… baru dua hari, ya Allah…”
***
Keesokan harinya.
Hari ini adalah hari jumat. Yang mana... warga kampung selalu mengadkan pengajian rutin untuk warga, laki-laki maupun perempuan.
Pagi ini udara kampung masih segar, embun belum hilang sempurna, tapi Aira sudah terdengar protes sejak membuka pintu kamar.
“Ma… aku ini bukan ibu-ibu…” keluhnya sambil melihat Bu Maryam yang sedang menyetrika gamis.
Aira sudah diberitahu sejak semalam dan Bu Maryam mengajaknya untuk menghadiri penfajian tersebut.
Bu Maryam mendelik tanpa angkat wajah. “Aira… yang datang ke pengajian tidak harus ibu-ibu. Anak muda juga boleh. Malah bagus.”
Aira terdiam sejenak, menghela napas panjang seperti menanggung beban hidup paling berat se-kampung.
Akhirnya ia pasrah, kembali ke kamar, mengganti crop top yang BARU SAJA ia pakai lima menit lalu setelah mandi. Ia meraih baju muslim kekinian yang biasanya hanya ia keluarkan saat Lebaran.
Baru satu tangan masuk ke lengan baju, suara Bu Maryam menggema dari ruang keluarga:
“Aira! Pakai gamis!”
Aira berhenti. Menutup mata. Menarik napas. Menghembuskan perlahan.
“Ma… itu lebih gerah… sumpah.”
Bu Maryam menatap Aira dengan ekspresi "kamu nggak bakal menang hari ini".
“Bedakan di sini sama di sana, Ra. Di sini kampung. Di masjid kecil. Pengajiannya sederhana. Kamu pakai gamis saja. Sudah.”
Aira mendesah dramatis, seperti tokoh utama sinetron yang sabarnya diuji. “Tapi maaa… nanti aku keliatan kayak...”
“Keliatan lebih sopan,” potong Bu Maryam cepat.
Aira mematung. Tidak bisa membalas. Menyerah.
“Baiklah…” katanya lirih seperti korban ketidakadilan dunia. “Tapi jangan salahin aku kalau aku pingsan kena panas.”
“Tinggal bawa kipas, selesai.” Bu Maryam santai.
Aira masuk kamar lagi. Tiga menit kemudian ia keluar memakai gamis warna dusty pink, jilbab instan yang diajarin pakainya sama Bu Maryam, dan wajah manyun yang tidak bisa disembunyikan.
Pak Hadi lewat dari dapur sambil membawa gelas teh. Begitu melihat Aira, beliau tersenyum kecil. “Cantik. Sudah kayak anak ustadzah.”
Aira menatap ayahnya dengan lirikan tak percaya diri. “Papa… ini bukan pujian kalau aku disuruh ke sawah kayak kemarin lagi.”
Pak Hadi tertawa. “Tenang, hari ini cuma pengajian. Tidak ada sawah.”
Aira langsung menatapnya curiga. “TAPI PAPA JUGA BILANG KEMARIN ‘GAK ADA APA-APA’!”
Pak Hadi nyengir. “Nah, sekarang ada apa-apanya nggak?”
“…belum tahu…” Aira mendesis.
“Selesai.” Pak Hadi menepuk bahu putrinya sambil berjalan. “Pokoknya ikut saja. Kamu bakal belajar banyak hal. Siapa tahu hatinya jadi adem.”
Aira mencibir pelan. “Aku bukan AC, yah…”
Bu Maryam langsung nyeletuk sambil mengambil tas pengajian: “Tapi suka ngambek kayak AC rusak.”
Aira mendengus. “Ma… jahat.”
Bu Maryam merangkul bahu putrinya. “Sudahlah. Ayo jalan. Nanti keburu banyak orang.”
Aira mengikuti sambil menghela napas panjang, langkahnya pelan banget seperti diseret takdir.
Dan begitulah… anak kota yang biasanya hangout di mall pada hari Jumat, hari itu harus berjalan ke masjid kecil kampung dengan gamis panjang, jilbab rapi, dan kipas angin mini di tangan.
***
Setibanya di masjid.
Masjid kecil di kampung itu sudah ramai. Lantai teras penuh sandal, suara ibu-ibu bercampur aroma minyak telon khas pengajian.
Begitu Aira dan Bu Maryam melangkah masuk, suasana langsung berubah.
Pelan.
Tapi nyata.
Ibu-ibu yang duduk sambil mengipas langsung berhenti menggerakkan kipasnya.
Ada yang refleks nyenggol temannya.
Ada yang matanya membesar.
Ada yang tersenyum lebar sambil bisik-bisik.
“Eh… itu anaknya Bu Maryam…”
“Masya Allah, cantik banget…”
“Beda kalau anak kota ya… pake gamis jadi kayak artis sinetron…”
Aira merasakan mata-mata itu. Banyak. Terlalu banyak.
Langkahnya langsung berubah jadi langkah bayi baru belajar jalan.
“Ma… aku jadi pengen balik aja,” bisiknya panik.
Bersambung