Saat tragedi mengambil jiwanya, Syifa menemukan dirinya yang masuk ke dunia novel sebagai seorang antagonis yang secara obsesif mengejar protagonist pria bahkan berencana untuk menghancurkan hubungannya dengan sang kekasih.
Pada akhirnya dia akan mati terbunuh karna alur itu, oleh sebab itu untuk menghindarinya, dia selalu menghindari pria itu.
Namun bagaimana jika tiba-tiba alurnya berubah, pria itu malah memperhatikannya..
"Tidak! ini tidak ada dalam plot!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aplolyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Kayden tidak membuka laptopnya lagi. Ia hanya duduk diam, memiringkan wajahnya sedikit, seolah mencoba memahami sesuatu yang sejak awal tidak pernah ia pahami: Syifa.
Syifa, yang biasanya ribut sendiri.
Syifa, yang biasanya gugup kalau dia muncul mendadak.
Syifa, yang biasanya langsung kecentilan di hadapannya seolah ingin sekali mengambil perhatiannya.
Tapi, entah kenapa menurutnya Syifa yang ini berbeda.
Kayden menyandarkan tubuh ke kursi, kedua lengan terlipat, matanya tak lepas dari wajah Syifa meski gadis itu berusaha keras mengabaikannya.
Syifa fokus pada papan tulis, setidaknya dari luar.
Tapi tangannya yang menggenggam bolpoin terlalu kencang membuktikan bahwa ia tidak setenang itu.
Kayden akhirnya membuka suara pelan, nyaris tak terdengar.
“Kamu bener Syifa?"
Syifa menahan diri untuk tidak menghela napas. “Kayden, tolong. Diam.”
Kayden menatap meja. "Kamu berubah banget cuma karna benturan di kepala?"
Kayden memang tahu bahwa pasien yang terbentur biasanya mengalami beberapa hal tak terduga, namun ini di luar ekspetasinua.
Syifa langsung menatapnya tajam. “Kayden.”
Namun sebelum ia sempat membalas dengan kalimat yang lebih pedas, suara dosen memanggil:
“Kayden, slide presentasimu minggu lalu sudah saya cek. Nanti setelah kelas, saya ingin kamu markup ulang bagian kesimpulan.”
Kayden mengangguk, cepat. “Baik, Pak.”
Dosen mengalihkan pandangan dan melanjutkan penjelasan.
Tapi Syifa menatap Kayden. Bukan karena memedulikannya, tapi karena satu hal: Kayden jarang sekali menjawab dosen secepat itu tanpa nada malas.
Kayden sadar tatapannya diterima.
Bibinya terangkat kecil.. Entah karena menang atau karena senang diperhatikan.
“Kenapa?” bisiknya.
“Kayden, fokus ke dosen.”
“Sekarang kamu yang nyuruh aku fokus? Lucu juga.”
Syifa menutup buku catatannya keras-keras sampai beberapa mahasiswa menoleh. “Kalau kamu gak bisa diam, aku pindah.”
Kayden mengangkat alis seolah menantang. “Coba.”
Jantung Syifa hampir meloncat ke luar karena emosi.
Ia meraih tasnya, hampir berdiri, tapi Kayden menahan tali tasnya dengan dua jari, sama sekali tidak melihatnya, hanya menatap ke depan seolah yang ia lakukan tidak berarti apa-apa.
“Dosen lagi jelasin,” katanya datar.
Syifa menahan suara geram.
“Lepasin.”
Kayden tetap santai. “Nanti aja. Kursi sebelah masih kosong, kan?”
“Justru itu! aku pindah ke sana.”
“Kalau kamu pindah, aku pindah juga.”
Syifa memejamkan mata.
“Kayden, serius?”
Kayden mengangguk kecil, tanpa menoleh. “Serius.”
“Kenapa sih kamu tiba-tiba ngejar aku sih?”
Untuk pertama kalinya, Kayden benar-benar berhenti mengganggu. Ia menunduk sedikit, seolah mempertimbangkan jawabannya.
Lalu ia membisik lirih.
“Aku nggak ngejar.”
Jeda.
“Kamu yang lari.”
Syifa menoleh cepat, ingin membentak, tapi dosen kembali melihat ke arah mereka.
“Syifa, kamu baik-baik saja?”
Syifa langsung tersenyum canggung. “Baik, Pak!”
Begitu dosen kembali menulis, Syifa menunduk, meremas bolpoin.
Waktu berjalan lambat.
Kayden terlihat biasa saja atau mungkin mencoba terlihat biasa. Tapi kakinya mengetuk lantai perlahan, tanda ia sedang tidak stabil.
Sampai akhirnya, bel tanda kelas berakhir berbunyi.
Begitu dosen keluar, suara-suara mahasiswa mulai terdengar.
“Gila, tegang banget.”
“Tadi Syifa marah ya?”
“Kayaknya mereka lagi ribut.”
Syifa langsung bangkit dari kursinya, niatnya satu: kabur.
Tapi Kayden sudah berdiri duluan dan menghalangi jalannya.
“Geser,” ucap Syifa pendek.
“Enggak.”
“Kayden.”
Kayden menatap lurus ke matanya. “Kita ngobrol.”
“Nggak ada yang perlu diobrolin.”
“Syifa.” Nadanya merendah, hampir seperti peringatan. “Jangan bikin aku nyari kamu.”
Syifa mengangkat dagu. “Silakan cari. Aku cuma gak mau ketemu.”
Kayden memejamkan mata sejenak, menahan diri agar tidak membalas dengan kalimat yang lebih keras.
Ketika dibuka lagi, tatapannya berbeda, lebih dingin, lebih fokus.
“Aku bakal tunggu kamu di luar kelas. Kalau kamu kabur lewat pintu lain, aku cari sampai ketemu.”
Syifa mendengus, melipir ke samping, keluar dari sela-sela mahasiswa yang lewat.
Kayden tidak mengejarnya, tapi pandangannya mengikuti.
Di koridor, Syifa berjalan cepat, tapi bukan berlari. Ia tidak mau terlihat seperti sedang dikejar hantu. Meski, ya.. yang mengejar itu memang hantu, tapi hantu bernama Kayden yang keras kepala.
Ia mengambil belokan kiri menuju taman belakang kampus, tempat yang biasanya sepi saat jam kuliah.
Namun langkahnya terhenti karna Kayden sudah berdiri di sana.
Syifa memutar bola mata.
“Kayden, serius banget?”
“Aku bilang aku tunggu.”
“Ini bukan depan kelas!”
“Aku tahu kamu bakal cari jalan lain.”
Syifa mengacak rambutnya frustasi. “Kamu ini ngapain sih?!”
Kayden mendekat perlahan.
Bukan dengan marah.
Bukan dengan memaksa.
Justru dengan tatapan bingung yang entah kenapa membuat jantung Syifa berdebar lebih keras dari seharusnya.
“Aku cuma mau nanya satu hal,” Kayden berkata pelan.
Syifa bersedekap. “Cepet.”
Kayden menahan napas, lalu bertanya tanpa mengalihkan tatapannya:
“Kamu beneran.. gak tertarik sama aku?”
Syifa hampir ingin menertawakan betapa absurdnya situasi ini.
“Tadi aku udah bilang.”
“Tadi kamu ngomongnya sambil marah.”
“Sekarang juga marah.”
Kayden mengerutkan kening.
Syifa menarik napas panjang, lalu mendekat satu langkah. “Kayden, aku serius. Aku capek. Kamu selalu bikin semuanya ribet. Kamu dateng terus, nyari terus, tapi terus bilang gak mau drama.”
“Kamu yang bilang aku bilang begitu. Aku nggak pernah bilang aku..“
“Kayden.” Syifa memotong tanpa ragu. “Aku gak tertarik lagi. Titik.”
Kayden menatapnya tanpa berkedip. “Kenapa?”
“Karena aku mau normal.”
Kayden mengerutkan dahi. “Normal?”
“Iya. Belajar, kuliah, hidup tenang tanpa khawatir kamu tiba-tiba muncul dan bikin jantungku nyaris keluar dari badan.”
Kayden terdiam.
“Syifa,” katanya akhirnya, suaranya pelan, “aku bukan masalah.”
“Buat aku, kamu iya.”
Kayden menelan ludah. Itu baru terlihat satu detik, tapi cukup jelas bagi Syifa.
“Sejak kapan?” tanya Kayden.
“Sejak aku sadar hidupku muter-muter di sekitar kamu.”
Kayden menegang. “Apa itu buruk?”
“Kalau yang aku dapet cuma sakit kepala? Ya.”
Kayden mendekat setengah langkah sampai jarak mereka tinggal sejengkal.
Kayden menatap dalam, seolah mencari retakan kecil dalam jawaban itu. Tapi Syifa tetap menegakkan wajahnya.
Syifa langsung menatapnya tajam. “Kayden.”
“Ya?”
“Kalau kamu nggak geser dari jalanku..”
Syifa mencondongkan tubuh sedikit.
“aku bakalan teriak nih!"
Kayden mengangkat bahu. “Teriak.”
Syifa memicingkan mata. “Serius nih?”
“Serius.”
“Kayden!!”
Syifa sudah tak habis pikir dengan Kayden, seharusnya pria itu senang karna sudah tidak ada yang menggatal padanya kan?
“SYIFAAA!”
Seseorang berteriak dari kejauhan.
Syifa dan Kayden sama-sama menoleh.
Anisa berlari tergopoh-gopoh, wajahnya panik.
“Syifa! Kamu dipanggil Bu Reni ke ruang akademik! Penting katanya!”
Syifa langsung menegang.
Nayla mendekat sambil terengah. “Katanya urgent banget!”
Syifa dan Kayden saling menatap.
Kayden yang pertama membuka kalimat:
“Kita belum selesai.”
Syifa menelan ludah.
Syifa memalingkan wajah, mengabaikannya, lalu mengikuti Anisa.
Tapi satu hal pasti..
Ia bisa merasakan tatapan Kayden membakar punggungnya sampai ia hilang di balik belokan.
'Seorang Syifa tidak tertarik padaku? Bukankah bagus? Tapi mengapa rasanya ada yang aneh?'
Kayden tak tahu apa yang berbeda dari perasaannya pada Syifa, oleh sebab itu dia mau mencari tahu!
***
Amerika
"Mom! Cukup! Aku bukan robot, kalau begini terus lebih baik aku pulang ke Indonesia! Setidaknya tinggal dengan ayah lebih tenang meski tak bergelimang harta!"
Setelah mengucapkan hal itu, Wenda masuk ke dalam kamarnya dengan hati yang kacau, studi selama 2 tahunnya telah berakhir namun dia seolah tidak tahu apakah harus memulai karirnya disana atau kembali ke Indonesia.
...~Dan, ketika sebuah alur dirubah, berubah atau tidak sesuai, maka bisa jadi ada poros lain yang juga ikut berubah, dan Syifa tidak tahu akan hal itu....
[Mari kita lihat alur yang kamu buat Syifa!]