Satu janji, satu rahim, dan sebuah pengorbanan yang tak pernah ia bayangkan.
Nayara menjadi ibu pengganti demi menyelamatkan nyawa adiknya—tapi hati dan perasaan tak bisa diatur.
Semakin bayi itu tumbuh, semakin rumit rahasia, cinta terlarang, dan utang budi yang harus dibayar.
Siapa yang benar-benar menang, ketika janji itu menuntut segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Sea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18 – Jejak yang Dihapus
Nayara berdiri lama memandangi ponsel yang layarnya sudah gelap. Jemarinya masih bergetar, seolah pesan singkat Karina tadi meninggalkan jejak dingin di kulitnya.
“Kamu di mana?”
Dua kata itu terasa seperti mata yang menembus retakan kecil yang selama ini Nayara jaga mati-matian. Ia menarik napas, tapi dada tetap sesak.
Nadim menatapnya, khawatir. “Kak… kita aman kan?”
Nayara memaksa tersenyum. “Aman. Kita akan aman.”
Tapi suaranya terlalu tipis. Bahkan dirinya sendiri tidak percaya.
Ia mendekat ke ranjang kecil di sudut ruangan kontrakan itu. Aru mulai menggeliat, bibir mungilnya bergetar sebelum akhirnya merengek kecil. Nayara menggendongnya, mengusap punggungnya perlahan.
“Husss… nggak apa-apa. Ibu di sini.”
Ia mengulang kalimat itu seperti mantra, bukan untuk Aru… melainkan untuk dirinya sendiri.
Di rumah mewah yang hangat oleh aroma diffuser dan lampu-lampu temaram, Karina duduk dengan raut wajah yang sulit dibaca. Aruna terlelap dalam pelukannya, wajahnya begitu tenang.
Terlalu tenang.
“Ren…” panggil Karina tanpa menoleh.
Rendra, yang sedang membuka hadiah-hadiah bayi, menoleh cepat. “Ya?”
“Aku tidak nyaman kalau masih ada jejak tentang Nayara,” ucapnya pelan, tapi tegas. “Akun bank, daftar kontak rumah sakit, nomor KTP yang pernah kita pakai untuk penjaminan… semuanya. Tolong hapus.”
Rendra diam.
Itu bukan permintaan biasa. Bukan tentang privasi. Ini terdengar seperti seseorang yang ingin menghapus keberadaan orang lain dari cerita hidupnya.
“Kenapa mendadak begini?” tanya Rendra hati-hati.
Karina menatapnya. “Karena aku ingin fokus jadi ibu. Aku nggak mau ada bayangan apa pun yang mengingatkanku kalau anak ini… bukan dari rahimku.”
Rendra menegang.
Kalimat itu menampar lebih dalam daripada yang Karina sadari.
Karina tidak berhenti. “Aku juga tidak mau ada yang bertanya-tanya tentang masa lalu kita. Tentang Nayara. Tentang perawatannya. Tentang kehamilannya. Kamu mengerti, kan?”
Rendra mengangguk perlahan. “Aku mengerti.”
“Tolong lakukan malam ini, Ren.”
Rendra menatap bayi mungil itu. Aruna menggerakkan jarinya, seperti mencari seseorang dalam mimpi.
Dan entah kenapa, wajah Nayara muncul sekelebat.
Tatapannya ketika memegang bayi yang lahir setelah Aruna.
Tatapan yang tidak pernah dia lihat sebelumnya pada perempuan mana pun.
Rendra memejamkan mata sejenak, lalu mengangguk.
“Aku hapus.”
Larut malam, Rendra duduk di ruang kerjanya. Hanya lampu meja yang menyala, memantulkan cahaya ke berkas-berkas tebal di atas meja.
Ia menggeser kursor laptopnya, membuka folder yang namanya sengaja ia sembunyikan:
REKAM NAYARA R.
Catatan pemeriksaan. Hasil laboratorium. Jadwal USG. Transfer pembayaran. Nama dokter Ardi. Surat persetujuan.
Semua masih ada.
Dan kini ia harus menghapusnya.
Ia mengetik perintah satu per satu, menekan delete, mengosongkan recycle bin, lalu menarik napas panjang.
Tapi sebelum semuanya lenyap… ia menekan tombol copy.
Ia menyimpan salinannya ke hard disk kecil berwarna hitam, lalu memasukkannya ke laci paling bawah.
Entah kenapa ia melakukannya.
Mungkin karena firasat.
Mungkin karena ada sesuatu yang tidak selesai.
Atau mungkin karena bagian dari dirinya… tidak rela menghapus nama Nayara begitu saja.
“Aku hanya menyimpan jaga-jaga,” gumamnya, mencoba meyakinkan diri.
Tapi bahkan ia tidak percaya pada pembelaannya sendiri.
Kontrakan baru Nayara berada di ujung jalan kecil yang gelap. Rumah-rumah di sekitarnya sederhana, beberapa bahkan tampak kosong. Tidak ada CCTV, tidak ada tetangga cerewet. Hanya suara jangkrik dan sesekali motor lewat.
Tempat seperti inilah yang ia butuhkan.
Tempat orang tidak peduli
Tempat tidak ada yang bertanya
Tempat tidak ada yang mencari.
Ia menutup gorden, mematikan ponsel, lalu mengambil ponsel baru yang ia beli tadi pagi dengan sisa uang pemberian dokter Ardi.
Nomor yang hanya akan ia berikan pada satu orang: dr. Ardi.
Ia mengetik pesan:
“Dokter… saya sudah pindah. Terima kasih.”
Ia ragu.
Jempolnya menggantung di atas layar.
Tapi sebelum ia bisa menekan tombol kirim, Nadim memanggilnya dari dapur mungil.
“Kak, airnya udah panas. A—Aru mau dimandikan?”
Nayara kembali ke dunia kecil mereka. Aru menangis lagi, suaranya serak kecil. Nayara mengusap pipinya.
Sementara itu, Karina duduk di ruang keluarga dengan secangkir teh jahe. Ia membuka kontak ponselnya, menggulir dengan cepat, lalu menghapus nama:
NAYARA R.
Setelah itu ia menghapus chat, log panggilan, foto, dan catatan yang pernah ia buat tentang jadwal pemeriksaan Nayara.
“Selesai,” gumamnya lega.
Ia tidak tahu bahwa di sisi lain kota, Nayara baru saja memblokir nomornya.
Dua perempuan itu sama-sama menghapus satu sama lain…
tapi dengan alasan yang sangat berbeda.
Rendra memandangi layar ponselnya lama sekali. Ia mengetik pesan untuk Nayara… lalu menghapusnya.
Ia menatap Aruna yang tidur.
Lalu tiba-tiba sebuah pikiran aneh melintas:
Bagaimana kalau Nayara tidak pulang ke kampung seperti yang ia bilang?
Mengapa ia merasa… Nayara bersembunyi?
Rendra berdiri.
Mengambil kunci mobil.
Berniat mencari jawaban.
Tapi langkahnya terhenti ketika Karina memanggil dari lorong.
“Ren? Kamu mau ke mana?”
Rendra menoleh.
Senyum kecil dipaksakan.
“Cuma mau cari angin.”
Karina mengangguk, percaya.
Rendra keluar rumah.