Ia ditemukan di tengah hujan, hampir mati, dan seharusnya hanya menjadi satu keputusan singkat dalam hidup seorang pria berkuasa.
Namun Wang Hao Yu tidak pernah benar-benar melepaskan Yun Qi.
Diadopsi secara diam-diam, dibesarkan dalam kemewahan yang dingin, Yun Qi tumbuh dengan satu keyakinan: pria itu hanyalah pelindungnya. Kakaknya. Penyelamatnya.
Sampai ia dewasa… dan tatapan itu berubah.
Kebebasan yang Yun Qi rasakan di dunia luar ternyata selalu berada dalam jangkauan pengawasan. Setiap langkahnya tercatat. Setiap pilihannya diamati. Dan ketika ia mulai jatuh cinta pada orang lain, sesuatu dalam diri Hao Yu perlahan retak.
Ini bukan kisah cinta yang bersih.
Ini tentang perlindungan yang terlalu dalam, perhatian yang berubah menjadi obsesi, dan perasaan terlarang yang tumbuh tanpa izin.
Karena bagi Hao Yu, Yun Qi bukan hanya masa lalu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15
setelah kepergian Wang Hao Yu terasa seperti hari libur yang salah tempat. Yun Qi bangun pagi karena kebiasaan, bukan karena alarm. Cahaya matahari menyelinap melalui celah tirai, jatuh miring ke lantai kamar. Untuk beberapa detik, ia masih setengah terlelap, setengah berharap mendengar suara langkah kaki di luar kamar langkah yang berat tapi teratur, suara pintu kamar kerja yang dibuka, denting cangkir di dapur.
Tidak ada apa-apa. Hanya dengung pendingin ruangan dan detak jam dinding yang terlalu jelas. Yun Qi duduk di ranjang, selimut masih menempel di pinggangnya. Ia menatap pintu kamar yang tertutup, lalu menarik napas panjang. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin hanya perasaannya saja.
Ia bangkit, berjalan ke kamar mandi. Bayangannya di cermin terlihat sama rambut sedikit berantakan, wajah masih muda, mata yang terlalu besar untuk ekspresi setenang itu. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Seperti ada ruang kosong di balik tatapan itu.
Di meja makan, kursi di seberangnya kosong. Selalu kosong sejak seminggu lalu, tapi pagi ini terasa lebih nyata. Yun Qi menuang susu, menuangkan sereal, lalu berhenti. Biasanya, meski Hao Yu tidak sarapan bersamanya, setidaknya ia tahu pria itu ada di kamar kerja, atau sudah berangkat lebih dulu. Sekarang, ia tahu dengan pasti: Hao Yu tidak ada di negara ini. Sendok itu akhirnya menyentuh mangkuk, tapi Yun Qi makan tanpa rasa.
Hari-hari berikutnya berjalan dengan pola yang aneh terlalu teratur, terlalu sepi. Sekolah tetap berjalan seperti biasa. Guru-guru mengajar, teman-teman bercanda, bel pulang berbunyi tepat waktu. Yun Qi ikut tertawa saat harus tertawa, ikut mengangguk saat diajak bicara. Tidak ada yang salah di permukaan. “Qi, nanti pulang bareng?” tanya salah satu temannya, Mei, sambil membereskan buku. “Maaf, aku pulang duluan,” jawab Yun Qi lembut.
“Lagi buru-buru, ya?” Mei mengedipkan mata, nada bercandanya ringan. Yun Qi tersenyum kecil. “Enggak. Cuma… pengin cepat sampai rumah.” Kata rumah keluar begitu saja, tanpa ia sadari. Mei mengangguk, tidak curiga.
Di bus, Yun Qi duduk dekat jendela. Kota bergerak mundur di balik kaca, gedung-gedung tinggi, papan iklan, orang-orang yang berjalan cepat dengan urusan masing-masing. Ia menempelkan kening ke kaca dingin, napasnya meninggalkan embun tipis. Ge sekarang di mana? pikirnya.
Perbedaan waktu membuat segalanya terasa lebih jauh. Ia pernah menghitung, mencoba menyesuaikan jam di sana dengan jam di sini. Tapi setelah beberapa kali, ia berhenti. Terlalu melelahkan berharap pada sesuatu yang belum tentu datang.
Di apartemen, ia mulai menyadari detail-detail kecil yang dulu tidak pernah ia perhatikan. Rak sepatu Hao Yu tetap rapi, sepatu-sepatu kulit hitam mengilap tersusun seperti belum pernah dipakai. Jas-jas di lemari kamar tamu masih terbungkus plastik tipis, berbau khas laundry mahal. Di kamar kerja, meja besar itu bersih terlalu bersih. Tidak ada kertas tercecer, tidak ada cangkir kopi tertinggal.
Semuanya seolah menunggu pemiliknya kembali. Yun Qi berdiri lama di ambang pintu kamar kerja, jari-jarinya menyentuh kusen. Ia tidak masuk. Tidak berani. Seolah ruangan itu bukan miliknya.
Malam-malam menjadi bagian tersulit. Setelah mengerjakan PR, Yun Qi biasanya duduk di sofa, menyalakan televisi tanpa benar-benar menonton. Suara acara varietas memenuhi ruangan, tawa buatan yang tidak pernah terasa lucu. Kadang ia tertidur di sana, selimut tipis menutupi tubuhnya.
Suatu malam, ponselnya bergetar. Yun Qi tersentak, langsung duduk tegak. Jantungnya berdetak lebih cepat saat ia melihat layar. Sebuah pesan. Nomor internasional. Tangannya sedikit gemetar saat membuka pesan itu.
Hao Yu: Sudah makan?
Hanya dua kata. Tapi Yun Qi menatapnya lama, seolah kata-kata itu bisa berubah bentuk. Napasnya tercekat, lalu ia mengetik balasan dengan hati-hati.
Yun Qi: Sudah, Ge. Anda?
Balasan itu terkirim. Ia menunggu. Satu menit. Dua menit. Lima menit.
Tidak ada jawaban. Yun Qi meletakkan ponsel di dadanya, lalu tertawa kecil tawa yang cepat berubah menjadi helaan napas panjang. Ia tidak tahu harus merasa lega atau kecewa.
Hari-hari berlalu. Pesan dari Hao Yu datang tidak teratur. Kadang hanya satu kalimat, kadang hanya stiker sederhana. Tidak ada panggilan. Tidak ada penjelasan. Yun Qi tidak pernah bertanya. Ia belajar menunggu tanpa bertanya. Kesepian itu tidak datang dengan keras. Ia datang perlahan, seperti air yang merembes masuk melalui celah kecil. Yun Qi mulai menghabiskan lebih banyak waktu di kamarnya, membaca buku sampai larut, mendengarkan musik dengan volume rendah.
Suatu sore, hujan turun tiba-tiba. Yun Qi pulang dengan seragam basah, rambutnya menempel di pipi. Ia masuk ke apartemen dengan langkah cepat, menggantung jaketnya, lalu berhenti.
Ada bau kopi. Segar. Hangat. Untuk sesaat, Yun Qi membeku. Jantungnya berdegup keras, hampir menyakitkan. Ia melangkah ke dapur kosong. Tidak ada siapa-siapa. Mesin kopi mati. Cangkir-cangkir bersih tersusun rapi. Ia menghela napas pelan, menyadari betapa bodohnya ia barusan. Bau itu mungkin hanya sisa dari pagi hari, atau imajinasinya saja.
Malam itu, Yun Qi duduk di lantai kamar, bersandar pada ranjang. Lampu dimatikan, hanya cahaya dari luar jendela yang masuk. Ia memeluk lututnya, dagu bertumpu di sana. “Aku nggak apa-apa,” gumamnya pada diri sendiri, suara itu nyaris tak terdengar. Tapi kenyataannya, ia mulai merasa kecil lagi. Seperti anak yang dulu berdiri di bawah hujan, tidak tahu ke mana harus pergi. Bedanya, sekarang ia punya atap, punya rumah tapi rasa sepinya sama.
Di belahan dunia lain, Wang Hao Yu duduk di ruang kerja hotel, menatap layar laptop yang menyala. Laporan keuangan terbuka, grafik-grafik bergerak. Tapi pikirannya tidak sepenuhnya di sana. Ponselnya tergeletak di samping laptop. Nama Yun Qi ada di layar, percakapan mereka singkat, kering. Ia menatap jam di dinding. Sudah larut di sana. Terlalu larut untuk mengirim pesan.
Hao Yu menghela napas pelan, sesuatu yang jarang ia lakukan. Ia memijat pelipisnya, lalu berdiri, berjalan ke jendela. Kota asing terbentang di bawah, gemerlap tapi dingin. Dia pasti baik-baik saja, pikirnya. Namun, pikiran itu tidak sepenuhnya meyakinkannya.
Di apartemen yang sunyi, Yun Qi akhirnya tertidur dengan ponsel di genggaman. Dalam tidurnya, ia bermimpi tentang lorong panjang, pintu-pintu yang tertutup, dan suara langkah kaki yang menjauh.