Intan Puspita Dewi (17) tidak pernah membayangkan masa mudanya akan berakhir di meja akad nikah. Lebih parah lagi, laki-laki yang menjabat tangan ayahnya adalah Argantara Ramadhan—dosen paling dingin, killer, dan ditakuti di kampus tempatnya baru saja diterima.
Sebuah perjodohan konyol memaksa mereka hidup dalam dua dunia. Di rumah, mereka adalah suami istri yang terikat janji suci namun saling membenci. Di kampus, mereka adalah dosen dan mahasiswi yang berpura-pura tak saling kenal.
"Jangan pernah berharap aku menganggap ini pernikahan sungguhan," ucap Arga dingin.
Namun, sekuat apa pun mereka menjaga rahasia, tembok pertahanan itu perlahan retak. Ketika benci mulai terkikis oleh rasa cemburu, dan dinginnya sikap perlahan mencair oleh perhatian, sanggupkah mereka menyangkal bahwa cinta telah hadir di antara skenario sandiwara ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon muliyana setia reza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Orang Asing di Bawah Satu Langit
Sudah empat hari berlalu sejak pintu kamar itu terbanting.
Empat hari pula apartemen di lantai 20 itu terasa seperti rumah hantu. Besar, mewah, namun kosong melompong.
Argantara tidak pulang.
Pria itu benar-benar menelan mentah-mentah ucapan Intan. Dia mengambil "kebebasan"-nya. Tidak ada pesan, tidak ada telepon, dan tentu saja, tidak ada sosoknya di meja makan saat pagi hari. Arga menghilang dari kehidupan domestik mereka, meninggalkan Intan sendirian terombang-ambing dalam keheningan yang mencekik.
Pagi ini, Intan duduk di meja makan sambil mengunyah roti tawar yang terasa seperti serbuk gergaji. Matanya menatap nanar ke arah pintu kamar utama—kamar Arga—yang terbuka sedikit.
Seprai di sana masih rapi, tak tersentuh. Aroma mint dan musk khas Arga perlahan mulai memudar dari udara, digantikan oleh bau debu tipis kesepian.
"Hebat," gumam Intan sambil tersenyum miris. "Mas Arga emang konsisten. Sekali dibilang bebas, langsung nggak ingat jalan pulang."
Intan meneguk susunya kasar, menyambar tas kuliah, dan berangkat. Jika Arga bisa bersikap seolah pernikahan ini tidak ada, maka Intan akan melakukan hal yang sama. Bahkan lebih baik.
Kampus Universitas Pelita Bangsa siang itu riuh rendah, namun bagi Intan, dunia terasa bisu.
Ia melangkah masuk ke ruang teater untuk mata kuliah Manajemen Pemasaran. Sialnya, dosen pengampunya adalah Argantara Ramadhan.
Intan sengaja datang terlambat satu menit agar bisa duduk di barisan paling belakang, di sudut paling gelap, menghindari tatapan dosen di depan sana.
Saat ia masuk, Arga sedang menulis di papan tulis. Pria itu menoleh sekilas saat pintu terbuka. Mata mereka bertemu.
Jantung Intan mencelos.
Arga terlihat... berantakan.
Bukan berantakan secara fisik—kemejanya tetap licin, jasnya tetap mahal, rambutnya tetap rapi. Tapi matanya. Ada lingkaran hitam samar di bawah mata elang itu. Tatapannya yang biasanya tajam kini terlihat lelah dan kosong.
Namun, begitu menyadari siapa yang datang, dinding es di mata Arga kembali naik. Ia memutus kontak mata secepat kilat, kembali menghadap papan tulis seolah Intan tak kasat mata.
"Silakan duduk. Jangan berisik," tegur Arga dingin, tanpa menyebut nama.
Sepanjang dua jam perkuliahan, Arga mengajar seperti robot. Ia menjelaskan teori, menjawab pertanyaan, tapi tidak ada jiwanya. Tidak ada lelucon sarkas yang biasa ia lontarkan. Dan yang paling menyakitkan: Arga sama sekali tidak melirik ke arah Intan. Sekalipun tidak.
Intan merasa benar-benar menjadi hantu.
Saat kelas berakhir, Intan membereskan bukunya dengan lambat, berharap—entah kenapa hatinya masih bodoh—berharap Arga akan memanggilnya. Mungkin menanyakan 'kamu makan apa di rumah?' atau 'kunci pintu jangan lupa'.
Tapi harapan itu dipatahkan oleh suara langkah sepatu hak tinggi yang menggema di lorong.
Tak. Tak. Tak.
Seorang wanita muncul di ambang pintu kelas. Clarissa.
Wanita itu tampak bersinar dengan gaun terusan selutut berwarna navy. Ia tersenyum lebar begitu melihat Arga yang sedang membereskan laptop di meja dosen.
"Hai, Busy Man," sapa Clarissa riang. Ia masuk tanpa ragu, langsung berdiri di samping Arga.
Arga menoleh. Senyum tipis terukir di bibirnya—senyum yang, meskipun terlihat lelah, tetaplah sebuah senyum.
"Hai, Cla. Sudah selesai ngajarnya?" tanya Arga lembut.
"Sudah dong. Sesuai janji, hari ini giliran kamu yang traktir makan siang. Aku tahu tempat steak baru yang enak," Clarissa meraih lengan Arga, bergelayut manja namun tetap terlihat elegan.
Mahasiswa yang masih tersisa di kelas mulai berbisik-bisik.
"Eh, itu Bu Clarissa kan? Cocok banget ya sama Pak Arga."
"Iya, gila. Couple goals banget. Sama-sama pinter, sama-sama dosen."
"Kayaknya mereka pacaran deh."
Intan mendengar semua itu. Ia masih berdiri di deretan belakang, tangannya mencengkeram erat tali tas ranselnya hingga kuku-kukunya memutih.
Arga tidak menolak sentuhan Clarissa. Pria itu membiarkan wanita masa lalunya itu memeluk lengannya. Saat mereka berjalan menuju pintu keluar, pandangan Arga tak sengaja menabrak pandangan Intan yang berdiri mematung.
Waktu seakan berhenti.
Intan menatap suaminya dengan mata yang berkaca-kaca namun menantang. Tatapannya seolah berkata: Silakan. Pergi saja.
Rahang Arga mengeras. Ada keraguan di matanya selama sepersekian detik. Ia seperti ingin melepaskan tangan Clarissa. Tapi kemudian, bayangan pertengkaran mereka empat hari lalu muncul lagi. Rasa gengsi dan egonya menang.
Arga membuang muka. Ia membiarkan Clarissa menariknya keluar dari kelas, melewati Intan begitu saja tanpa satu kata pun. Aroma parfum Clarissa yang menyengat kembali menusuk hidung Intan, meninggalkan jejak mual yang familiar.
Mereka pergi. Pasangan serasi itu pergi makan siang, meninggalkan istri sah yang kelaparan akan kasih sayang di ruang kelas yang kosong.
Malam itu, di sebuah kamar hotel bintang empat di pusat Jakarta.
Argantara duduk di tepi ranjang, menatap layar ponselnya yang gelap. Di meja sampingnya, terdapat kunci kartu akses dan kopi yang sudah dingin.
Sudah empat malam ia menginap di sini. Ia berbohong pada orang tuanya bahwa ia sedang ada dinas luar kota, dan ia tidak punya muka untuk pulang ke apartemen.
Pulang berarti menghadapi Intan. Pulang berarti mengakui kesalahannya. Dan Arga, si perfeksionis, benci mengakui bahwa ia salah.
Siang tadi, saat melihat Intan di kelas, dadanya sesak. Gadis itu terlihat lebih kurus. Wajahnya pucat. Dan tatapan terluka yang Intan berikan saat ia berjalan bersama Clarissa tadi... itu membunuhnya pelan-pelan.
Clarissa memang sempurna. Makan siang tadi berjalan lancar, penuh diskusi intelektual. Tapi entah kenapa, Arga merasa hampa. Clarissa terlalu... mirip dengannya. Tidak ada ledakan emosi. Tidak ada nasi goreng bau terasi. Tidak ada rengekan manja yang diam-diam ia rindukan.
Arga membuka galeri ponselnya. Jarinya menggulir ke bawah, berhenti di satu foto yang diam-diam ia ambil saat Intan tertidur di mobil waktu itu. Wajah gadis itu polos, mulutnya sedikit terbuka.
"Sial," umpat Arga, melempar ponselnya ke kasur.
Ia merindukan rumah. Ia merindukan apartemen dingin itu.
Tapi setiap kali ia ingat kata-kata Intan—"Anggap pernikahan ini nggak pernah ada"—nyalinya ciut. Intan sudah memberinya kebebasan. Dan sekarang, saat ia menggunakan kebebasan itu bersama Clarissa, ia justru merasa seperti tawanan.
Arga berjalan ke jendela hotel, menatap gemerlap lampu Jakarta.
"Kamu maunya apa, Intan?" bisiknya pada kaca jendela yang dingin. "Kamu usir saya, tapi tatapan kamu minta saya pulang."
Di sisi lain kota, di apartemen lantai 20.
Intan sedang mengemasi beberapa bajunya ke dalam koper kecil. Ia tidak tahan lagi. Kesepian di tempat sebesar ini membuatnya gila.
Jika Arga tidak mau pulang, maka Intan yang akan pergi.
"Selamat tinggal, rumah hantu," bisik Intan sambil menutup pintu apartemen itu.
Malam itu, keduanya tidur terpisah oleh jarak yang semakin membentang. Arga dengan egonya di kamar hotel, dan Intan dengan luka hatinya di kos-kosan sahabatnya. Pernikahan mereka bukan lagi retak, tapi sudah di ambang kehancuran. Dan kehadiran Clarissa yang semakin agresif hanya tinggal menunggu waktu untuk memberikan pukulan terakhir.
makan tuh gengsi Segede gaban😄