NovelToon NovelToon
Wild, Wicked, Livia !!!

Wild, Wicked, Livia !!!

Status: sedang berlangsung
Genre:Gadis nakal / CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang / Mengubah Takdir
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Fauzi rema

Livia hidup dengan satu aturan: jangan pernah jatuh cinta.
Cinta itu rumit, menyakitkan, dan selalu berakhir dengan pengkhianatan — dia sudah belajar itu dengan cara paling pahit.

Malam-malamnya diisi dengan tawa, kebebasan, dan sedikit kekacauan.
Tidak ada aturan, tidak ada ikatan, tidak ada penyesalan.
Sampai seseorang datang dan mengacaukan segalanya — pria yang terlalu tenang, terlalu dewasa, dan terlalu berbahaya untuk didekati.

Dia, Narendra Himawan
Dan yang lebih parah… dia sudah beristri.

Tapi semakin Livia mencoba menjauh, semakin dalam dia terseret.
Dalam permainan rahasia, godaan, dan rasa bersalah yang membuatnya bertanya:
apakah kebebasan seindah itu jika akhirnya membuatnya terjebak dalam dosa?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18 Kegalauan Narendra

Pagi itu rumah terasa terlalu sunyi bagi Veronica.

Ia bangun seperti biasa, memanggil nama Narendra tanpa benar-benar menunggu jawaban. Tidak ada suara dari kamar tamu. Tidak ada langkah kaki. Tidak ada aroma kopi.

Veronica mengerutkan kening. Ia keluar kamar dengan kursi rodanya, menyusuri lorong. Pandangannya jatuh pada kamar tamu yang kosong, ranjangnya terlihat rapi, pintu yang setengah terbuka, tanda-tanda Narendra sudah pergi.

“Bibi,” panggilnya datar pada salah satu ART yang sedang membersihkan ruang makan. “Pak Narendra ke mana?”

ART itu saling berpandangan dengan rekannya.

“Kami juga tidak tahu, Bu. Sepertinya Bapak sudah keluar sejak pagi sekali.”

Art yang lain mengangguk kecil. “Mungkin sudah ke kantor,” sahut ART lainnya, mencoba menebak.

Veronica terdiam sesaat. Lalu bahunya mengendur. “Iya… mungkin.”

Ia tidak bertanya lebih jauh. Tidak ada rasa panik. Tidak ada dorongan untuk menelepon. Pikiran itu hanya melintas sebentar, lalu hilang.

Narendra memang sering menghindari rumah. Dan Veronica sudah terbiasa. Ia memutar kursi rodanya kembali ke kamar, mengambil ponsel, membuka media sosial tanpa ekspresi berarti. Pagi itu berlalu begitu saja, tanpa rasa kehilangan, tanpa rasa ingin tahu yang sungguh-sungguh. Bagi Veronica, jika Narendra memilih pergi lebih awal, itu bukan sesuatu yang perlu dipermasalahkan. Rumah ini sudah lama kehilangan kehangatan dan ia, tanpa disadari, sudah berhenti peduli.

 

Sementara itu, pagi di apartemen Livia berjalan jauh berbeda.

Livia masih duduk di tepi ranjang, masih dengan selimut yang melingkari tubuhnya, menatap pintu yang sejak tadi tertutup rapat. Kepergian Narendra barusan terasa terlalu cepat, meninggalkan sisa hangat yang belum sempat hilang, dan kebingungan yang belum sempat ia rapikan.

Ia menghela napas panjang, lalu berdiri. Langkahnya menuju kamar mandi terasa berat. Di depan cermin, ia menatap bayangan dirinya sendiri, matanya yang masih sembab, rambutnya yang kusut, dan ekspresi yang tak lagi setegar biasanya.

“Bodoh,” gumamnya pelan, entah pada dirinya atau pada perasaan yang mulai berani muncul.

Air dingin mengalir, membuyarkan sisa-sisa malam. Namun rasa aman itu masih menempel, menolak pergi. Saat keluar, Livia mengenakan kaus longgar, membuat kopi dengan gerakan otomatis. Ponselnya bergetar, pesan dari Reno masuk, menanyakan kabarnya singkat. Livia membalas seperlunya, menyembunyikan semuanya.

Di tempat lain, Narendra mengemudi tanpa tujuan pasti. Pagi terasa terlalu terang untuk pikirannya yang kusut. Ia berhenti sejenak di pinggir jalan, mematikan mesin, lalu menunduk. Bayangan Livia, tidurnya yang gelisah, pelukan yang terlalu lama, terus berputar.

Ia mengusap wajahnya, lalu menyalakan kembali mesin. “Ini salah,” katanya tegas pada diri sendiri.

Namun di kantor nanti, ia tahu, menghindar tak akan semudah itu.

Pagi itu, mereka menjalani rutinitas masing-masing dengan satu kesamaan:

keduanya membawa rahasia yang sama,

dan menyadari bahwa garis yang semula jelas

kini mulai memudar.

 

Pagi di kantor berjalan seperti biasa, bahkan terlalu biasa, seolah malam tadi tak pernah ada.

Livia tiba tepat waktu. Rambutnya tergerai lembut, blusnya sederhana namun pas, wajahnya tenang dengan senyum profesional yang kembali ia kenakan seperti topeng. Ia menyapa rekan kerja seperlunya, lalu duduk di kubikelnya, menyalakan komputer. Jemarinya bergerak cekatan, seolah rutinitas mampu menutup semua kegaduhan di kepalanya.

Beberapa menit kemudian, Narendra masuk.

Suasana mendadak berubah, bukan bagi semua orang, hanya bagi mereka berdua. Narendra berjalan mantap menuju ruangannya, sikapnya kembali dingin dan terukur. Tak ada tatapan yang tertahan. Tak ada isyarat. Ia hanya seorang CEO yang baru memulai hari.

Namun saat melewati barisan kubikel, langkahnya melambat sepersekian detik. Pandangannya sempat melirik singkat, nyaris tak terlihat ke arah Livia. Gadis itu menunduk, fokus pada layar, seolah tak merasakan apa pun.

Burhan muncul di pintu ruangannya. “Pagi, Pak. Ada beberapa berkas yang perlu tanda tangan.”

“Taruh saja di meja saya,” jawab Narendra datar.

Rapat pagi dimulai. Livia duduk di ujung meja, mencatat, menyimak. Ketika giliran divisinya dipresentasikan, ia berbicara dengan tenang, jelas, profesional. Narendra mendengarkan tanpa ekspresi, sesekali mengangguk singkat, sebuah pengakuan yang dingin namun cukup.

Tak ada yang tahu.

Tak ada yang curiga.

Saat rapat usai, Livia berdiri lebih dulu, merapikan dokumen. Ia melangkah keluar tanpa menoleh. Di belakangnya, Narendra menahan napas, perasaan yang seharusnya ia kubur kembali muncul, pelan namun tegas.

Di lorong, mereka berpapasan.

“Laporan minggu ini sudah saya kirim Pak,” kata Livia singkat, sopan, dengan jarak yang aman.

“Baik,” jawab Narendra. “Terima kasih.”

Hanya itu.

Dua kalimat formal yang menutup sesuatu yang jauh lebih rumit. Livia melangkah pergi, punggungnya tegak. Narendra menatap sesaat, lalu kembali ke ruangannya.

Di kantor, mereka adalah dua orang profesional.

Namun di balik meja, di balik senyum, ada malam yang belum selesai mereka pahami dan perasaan yang perlahan menuntut perhatian.

Ketika Jam makan siang tiba, dan kantor perlahan berubah lebih riuh.

Narendra keluar dari ruangannya dengan langkah yang terukur, berniat menuju ruang makan khusus pimpinan. Namun langkahnya terhenti di depan kaca pembatas kantin karyawan.

Di sana—

Livia. Ia duduk di tengah beberapa rekan kerja, tanpa sekat, tanpa jarak. Blusnya sederhana, rambutnya terurai santai. Yang paling mencolok bukan penampilannya, melainkan caranya tertawa, lepas, ringan, tanpa beban. Tangannya bergerak aktif saat bercerita, matanya berbinar menanggapi candaan orang-orang di sekitarnya.

Narendra terpaku.

Ini Livia yang berbeda dari yang ia kenal di kantor. Bukan gadis pendiam yang sibuk dengan laporan pekerjaannya. Bukan perempuan terluka yang menangis dalam tidurnya. Ini Livia yang hidup, dengan rasa hangat, penuh energi, dan begitu mempesona.

Dadanya berdebar tanpa izin.

Ia menyadari sesuatu yang tak bisa lagi ia bantah: Livia telah menarik hatinya. Bukan karena drama, bukan karena pelukan semalam, melainkan karena caranya hadir apa adanya, bahkan ketika ia berusaha menyembunyikan luka.

Narendra mengalihkan pandangannya dengan cepat, seolah takut ketahuan. Ia menarik napas dalam-dalam, rahangnya mengeras.

“Ini berbahaya,” gumamnya pelan.

Ia berbalik, memilih makan di ruangannya sendiri. Namun bayangan tawa itu terus mengikutinya, melekat, mengusik, dan menegaskan satu hal yang kian jelas: Perasaannya bukan lagi sekadar simpati. Dan jarak profesional yang ia bangun mulai retak, perlahan namun pasti.

 

Sejak makan siang itu, konsentrasi Narendra runtuh perlahan. Angka-angka di layar laptop tampak kabur. Laporan yang biasanya bisa ia selesaikan dalam hitungan menit kini dibacanya berulang tanpa benar-benar masuk ke kepala. Pena di tangannya terhenti berkali-kali, pikirannya melayang pada tawa Livia yang ringan, tulus, dan terasa jauh lebih hidup daripada sunyi yang menunggunya di rumah.

Ia menyandarkan punggung di kursi, menutup mata sesaat. Apa yang ia rasakan ini… jauh lebih rumit daripada memahami Veronica.

Dengan Veronica, segalanya jelas, pertengkaran, jarak, luka lama yang tak pernah sembuh. Ia tahu di mana letak masalahnya, meski tak tahu cara memperbaikinya. Namun dengan Livia, perasaan itu datang tanpa peta, tanpa peringatan. Tumbuh diam-diam, menyusup lewat empati, lewat kepedulian, lewat momen-momen kecil yang seharusnya tak berarti.

Narendra menghela napas panjang, menegakkan tubuhnya kembali. Ia menatap pantulan dirinya di kaca jendela, wajahnya yang tampak tegang, profesional, namun mata yang lelah oleh konflik batin.

“Fokus, please..” katanya lirih, seperti perintah.

Namun semakin ia memaksa, semakin pikirannya memberontak. Ia sadar, masalah ini bukan tentang pekerjaan. Ini tentang pilihan. Tentang batas. Tentang perasaan yang seharusnya tak ia biarkan tumbuh.

Di luar ruangannya, Livia berjalan melewati lorong sambil membawa beberapa tumpukan dokumen, sekilas saja, cukup untuk membuat dadanya kembali berdebar.

Narendra menunduk, menutup laptopnya perlahan. Ia tahu satu hal dengan pasti:

apa pun yang sedang terjadi di hatinya,

tak bisa lagi ia anggap sepele.

...🥂...

...🥂...

...🥂...

...Bersambung......

1
kalea rizuky
jangan jd pelakor
septi fahrozi
semakin penasaran jadinya ngapain mereka... 🤣🤣
Priyatin
ho ho ho kok semakin rumit hubungannya othor😰😰😰
Priyatin
lama kali nunggu up nya thor.
lanjut dong🙏🙏🙏
Wita S
kerennn
Wita S
ayoo up kak...ceritanya kerennnn
Mian Fauzi: thankyou 🫶 tp sabar yaa...aku masih selesain novelku yg lain hehe
total 1 replies
Siti Naimah
ampun deh...belum apa2 Livia sudah mendapat kekerasan dari dimas.sebaiknya sampai disini saja livia.gak usah diterusin
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!