Dinda tidak menyangka kalau pernikahannya bakal kandas ditengah jalan. Sekian lama Adinda sudah putus kontak sejak dirinya mengalami insiden yang mengakibatkan harus menjalani perawatan yang cukup lama. Hingga pada akhirnya, saat suaminya pulang, rupanya diceraikan oleh suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 18 Merasa bahagia
Di tempat lain, Riko yang sejak beberapa hari terakhir terus berusaha mencari keberadaan Adinda kini benar-benar berada di puncak frustrasi.
“Aaaaaa!” teriaknya sambil mengacak rambut berulang kali, wajahnya memerah menahan emosi.
Seorang anak buahnya yang sejak tadi menemaninya berdiri dengan raut cemas.
“Tuan, kita mau mencari ke mana lagi? Jejak Tuan Vikto benar-benar sulit ditemukan. Semua orang yang kami tanyai pun tidak tahu apa-apa.”
Riko menatap tajam, matanya memerah karena kurang tidur. “Pokoknya kamu cari sampai ketemu! Aku gak mau tahu bagaimana caranya, tapi Dinda harus ditemukan. Aku tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan. Cari sampai ketemu!”
“Baik, Tuan,” jawab anak buahnya hati-hati. “Saya akan perintahkan lagi kepada orang-orang untuk menyelidiki ke mana Tuan Vikto membawa Nona Adinda. Semoga kali ini tidak terkecoh seperti sebelumnya.”
Riko mengibaskan tangannya dengan kasar, menandakan agar bawahannya segera pergi. Kini hanya tersisa dirinya yang berdiri sendirian di tepi mobil, menatap kosong ke arah jalan yang sepi.
Ia mengepalkan tangan, napasnya memburu, suara hatinya lirih namun sarat penyesalan.
“Dinda… di mana kamu sekarang? Begitu bencinya kah kamu sama aku, sampai gak mau menatap aku lagi?”
Hujan mulai turun perlahan, menetes di wajahnya yang pucat. Tapi Riko tetap berdiri di sana, membiarkan tubuhnya basah kuyup, seolah itu bisa menenangkan rasa bersalah yang menggerogoti jiwanya.
Sedangkan ditempat lain, yakni di rumah sederhana yang ditempati Adinda, pun juga tengah hujan deras. Hujan yang begitu deras membasahi halaman rumah sederhana itu. Aroma tanah basah berpadu dengan udara segar pagi hari. Adinda berdiri di tengah guyuran air, wajahnya menengadah ke langit, mata terpejam, meneteskan air mata bahagia yang menyatu dengan rintik hujan.
"Aku sudah sembuh…!" serunya penuh haru, sambil merentangkan tangan lebar-lebar.
Hujan membasahi rambut dan pakaiannya, namun tak ada rasa dingin, hanya hangat yang menjalari dadanya.
Vikto yang baru saja tiba, berhenti di depan pagar, terpaku melihat pemandangan itu.
Wajahnya menegang, tapi perlahan melunak. Senyum lembut terukir di bibirnya, dan senyum lega yang sudah lama tidak muncul.
“Dinda…” gumamnya lirih.
Adinda membuka mata, menatap sosok yang kini berdiri di hadapannya. Seketika wajahnya berbinar, lalu tanpa ragu ia berlari menghampiri Vikto, menabrakkan tubuhnya ke dada pria itu.
“Lihat, Kak… Dinda bisa jalan, Dinda bisa jalan lagi!” serunya di antara tawa dan tangis.
Vikto terdiam beberapa detik, lalu memeluknya erat. Hujan terus mengguyur tubuh keduanya, namun mereka seolah tak peduli.
“Syukurlah…” bisik Vikto, suaranya serak menahan emosi. “Kamu berhasil, Dinda. Kamu luar biasa.”
Adinda menatap wajahnya yang basah oleh hujan, tersenyum manis. “Sekarang, kita hujan-hujanan bareng ya, Kak. Sekali ini aja.”
Vikto tertawa kecil, menatap gadis di depannya dengan mata penuh kasih. “Baiklah,” katanya pelan.
Adinda menggenggam tangan Vikto, mengajaknya berputar pelan di bawah hujan. Langkah mereka ringan, tawa mereka pecah, menyatu dengan suara gemericik air yang jatuh dari atap.
Untuk sesaat dunia seakan berhenti, hanya ada mereka berdua, tawa, dan hujan yang menjadi saksi kebahagiaan sederhana itu.
Hingga akhirnya, Vikto menarik lembut tangan Adinda, menatap dalam ke matanya.
“Dinda…” katanya lirih, suaranya bergetar, “jangan pergi lagi dari hidup Kakak.”
Adinda membalas tatapan itu dengan senyum yang lembut tapi penuh makna.
“Aku gak akan pergi lagi, Kak,” bisiknya. “Selama Kakak tetap seperti ini yang selalu bikin Dinda merasa hidup lagi.”
Mereka saling menatap di bawah derasnya hujan, dua hati yang pernah sama-sama terluka, kini menemukan rumahnya di pelukan satu sama lain.
Mbak Tia yang sedari tadi berdiri di ambang pintu hanya bisa menatap haru.
Air matanya menetes tanpa sadar, melihat dua insan yang selama ini saling menjaga dan menguatkan kini tertawa di bawah hujan, seperti anak kecil yang baru menemukan kebahagiaan setelah sekian lama tenggelam dalam luka.
“Syukurlah, Nona akhirnya bisa bahagia lagi…” bisiknya lirih, sambil mengusap pipinya yang basah.
Sementara itu, di bawah hujan yang mulai mereda, Vikto masih memandangi Adinda dengan tatapan dalam. Hatinya bergemuruh, kata-kata yang sejak lama ingin diucapkan sudah sampai di ujung lidah.
“Dinda…” ucapnya pelan.
Adinda menoleh, matanya memantulkan cahaya lembut dari langit kelabu.
“Iya, Kak?”
Vikto terdiam sejenak. Napasnya terasa berat, dadanya sesak menahan rasa yang tak bisa lagi disembunyikan. Ia ingin mengatakan segalanya tentang rasa takutnya kehilangan, tentang perasaannya yang tumbuh tanpa ia sadari. Namun, begitu melihat wajah polos Adinda yang basah oleh hujan dan penuh senyum tulus, niat itu mendadak sirna.
Belum saatnya, pikirnya. Dia belum siap.
Vikto hanya tersenyum, mengusap perlahan rambut Adinda yang menempel di wajahnya.
“Tidak, hanya ingin bilang… kamu terlihat sangat cantik hari ini.”
Adinda tersipu, menunduk pelan. “Kak Vikto bisa aja…” gumamnya, membuat Vikto makin terpikat.
Tanpa sadar, Vikto mendekat, menatap wajah Adinda yang kini hanya berjarak sejengkal. Detak jantungnya berpacu cepat. Ia hampir mencondongkan tubuhnya, hampir saja…
Namun tiba-tiba, “GRAAAAR!”
Suara petir menggelegar memecah langit.
Keduanya sontak tersentak kaget. Adinda spontan berteriak kecil dan menutup telinganya, sementara Vikto buru-buru menariknya ke dalam pelukannya.
“Hujannya makin deras, ayo masuk ke rumah,” kata Vikto cepat, menutupi kegugupan yang terasa jelas di wajahnya.
Adinda mengangguk, wajahnya memerah. Keduanya berjalan cepat menuju rumah, meninggalkan halaman yang masih diguyur hujan deras.
Dari dalam rumah, Mbak Tia hanya tersenyum kecil sambil berbisik pelan,
“Sepertinya bukan cuma hujan yang jatuh hari ini… tapi juga cinta yang mulai tumbuh di antara mereka.”
Apa keluarga nya Percaya dengan omongan Dinda nanti tentang wasiat Oma,Takutnya menuduh Dinda mengada2..Harusnya 2 orang yg masuk sebagai saksi..