Husna, putri bungsu kesayangan pasangan Kanada-Indonesia, dipaksa oleh orang tuanya untuk menerima permintaan sahabat ayahnya yang bernama Burak, agar menikah dengan putranya, Jovan. Jovan baru saja menduda setelah istrinya meninggal saat melahirkan. Husna terpaksa menyetujui pernikahan ini meskipun ia sudah memiliki kekasih bernama Arkan, yang ia rahasiakan karena orang tua Husan tidak menyukai Arkan yang hanya penyanyi jalanan.
Apakah pernikahan ini akan bertahan lama atau Husna akan kembali lagi kepada Arkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Sinar matahari menembus jendela ruang perawatan, jatuh lembut di lantai putih yang mengilap.
Suara burung samar terdengar dari luar, bercampur dengan ritme mesin monitor jantung yang berdetak stabil.
Seorang perawat muda masuk membawa baki berisi perban baru, salep, dan kasa steril.
Ia tersenyum sopan pada Jovan yang masih duduk di kursi samping ranjang, belum berpindah posisi sejak semalam.
“Selamat pagi, Pak Jovan. Saya akan ganti perban Ibu Husna dulu, ya. Boleh Bapak keluar sebentar?”
Sebelum Jovan menjawab, Husna membuka matanya perlahan.
Wajahnya masih pucat, tapi senyum kecil muncul di bibirnya.
“Van, kamu keluar dulu,” ucapnya lirih. “Nanti kamu jijik lihat aku yang seperti ini…”
Jovan langsung menggeleng pelan, matanya hangat tapi tegas.
“Jangan berkata seperti itu lagi, Husna. Aku nggak akan jijik. Kamu istriku. Apa pun kondisimu, aku tetap di sini.”
Perawat sempat menatap keduanya dengan senyum kecil yang memahami, lalu menghela napas pelan.
“Baiklah, Pak. Tapi tolong sedikit menjauh, ya. Saya perlu ruang untuk mengganti perbannya.”
Jovan mengangguk, lalu berdiri dan melangkah ke sisi lain tempat tidur, tetap dalam jarak aman seperti yang diminta.
Namun matanya sama sekali tidak beranjak dari wajah Husna.
Saat perawat mulai membuka perban lama, Husna menggigit bibir menahan nyeri.
Beberapa luka bakar di tubuhnya tampak memerah, dan kulit di sekitarnya masih sensitif.
Tanpa sadar, Jovan meremas jemari kursi yang ia pegang, dadanya ikut terasa perih setiap kali Husna menahan napas.
“Kalau sakit, bilang ya, Bu,” ujar sang perawat lembut.
Husna menganggukkan kepalanya sambil menggenggam seprei tempat tidur.
"S-sakit.." ucap Husna.
Jovan berjalan mendekat dan duduk disamping tempat tidur istrinya.
"Genggam tanganku agar kamu bisa menahan rasa sakitnya." ucap Jovan.
Husna menggenggam tangan suaminya sampai kukunya menancap di punggung suaminya.
Perawat mengambil cairan antiseptik dan perban yang baru.
Perawat itu bekerja dengan hati-hati, gerakannya lembut namun terlatih.
Aroma obat dan antiseptik samar mengisi ruangan, menyatu dengan udara pagi yang hangat.
Setiap kali kapas menyentuh kulit yang terluka, Husna meringis dengan tubuhnya sedikit bergetar menahan nyeri.
Husna kembali menggenggam erat tangan suaminya.
"Ditahan sebentar ya, Bu." ucap perawat sambil memasang perban baru ke tubuh Husna.
Husna menganggukkan kepalanya sambil tersenyum tipis.
Setelah beberapa menit yang terasa begitu lama, akhirnya perawat itu selesai mengganti seluruh perban di tubuh Husna.
Ia menata kembali alat-alatnya ke atas baki, lalu tersenyum lembut sambil merapikan selimut Husna hingga menutupi bahunya.
“Nah, sudah selesai, Bu Husna. Lukanya mulai membaik, tapi masih sensitif. Jadi usahakan untuk tidak banyak bergerak dulu, ya.”
Husna mengangguk pelan, napasnya masih tersengal-sengal karena rasa nyeri yang belum sepenuhnya reda.
Jovan segera mengambil tisu dan menyeka peluh yang menetes di kening istrinya.
Perawat menatap keduanya sejenak, lalu melanjutkan dengan nada lembut,
“Sekarang Ibu istirahat saja dulu. Siang nanti dokter akan datang untuk memeriksa kembali kondisinya. Kalau terasa sakit atau demam, tekan bel di samping ranjang, ya.”
“Baik, terima kasih, Mbak,” ucap Husna lirih dengan senyum kecil yang nyaris tak terlihat.
“Tidak apa-apa, Bu. Ibu hebat, bisa bertahan sejauh ini,” ucap perawat sambil membalas senyum itu.
“Pak, mohon dijaga agar Ibu tidak terlalu banyak bicara atau bergerak dulu, ya. Tubuhnya masih butuh waktu untuk pulih.” pinta perawat.
Jovan mengangguk pelan, suaranya berat tapi hangat,
“Terima kasih sudah membantu. Saya akan pastikan dia istirahat.”
Perawat membalas dengan anggukan sopan, lalu berjalan keluar ruangan membawa baki perban yang sudah terpakai.
Begitu pintu tertutup, ruangan kembali sunyi dan hanya suara mesin monitor yang berdetak lembut dan embusan napas pelan dari Husna.
Jovan kembali duduk di sisi ranjang sambil menggenggam tangan istrinya yang kini sudah lebih tenang, lalu menatap wajahnya dengan tatapan penuh kasih dan rasa syukur.
“Sudah ya, Na. Sekarang kamu istirahat. Dokter nanti siang yang akan urus sisanya.”
Husna tersenyum tipis, matanya mulai terasa berat.
“Terima kasih, Van. Kamu nggak tidur sejak semalam, ya?” tanyanya lirih.
Jovan tersenyum kecil sambil menggelengkan kepalanya.
“Kalau aku tidur, siapa yang jaga kamu?”
Husna menatapnya dalam diam, lalu memejamkan mata perlahan
"Van, aku rindu Ava." ucap Husna yang kembali membuka matanya.
Jovan tersenyum kecil dan mengambil ponsel untuk menghubungi Mama Riana.
Mama Riana yang sedang bersama dengan Ibu Maria di kamar Ava, langsung mengangkat ponselnya.
"Van, ada apa? Husna, baik-baik saja, kan?" tanya Mama Riana.
“Baik, Ma. Sekarang kondisinya mulai membaik,” jawab Jovan pelan sambil melirik Husna yang masih terbaring lemah.
“Tapi, Husna bilang dia rindu sama Ava. Kalau tidak merepotkan, Mama bisa tolong bawa Ava ke rumah sakit sebentar siang nanti? Cuma untuk menemaninya sebentar saja.” pinta Jovan.
Mama Riana menganggukkan kepalanya dan ia akan mengajak Ava ke rumah sakit.
Setelah menghubungi Mama Riana, Jovan menutup ponselnya.
Mama Riana menggendong Ava menuju ke ruang tamu dimana suaminya sedang mengobrol dengan Ayah Yudha.
"Ayah, baru saja Jovan menghubungi Mama. Dia meminta agar Mama mengantarkan Ava ke rumah sakit." ucap Mama Riana.
Burak menganggukkan kepalanya dan ia yang akan mengantarkan mereka ke rumah sakit.
"Kita sarapan dulu, setelah itu kita ke rumah sakit." ucap Burak.
Mama Riana memanggil Ibu Maria agar segera turun dan sarapan bersama.
Tok... tok.... tok.....
Disaat sedang sarapan tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu.
Bi Marta berjalan ke arah pintu dan membuka pintu.
"Apakah Tuan Burak ada dirumah?" tanya Petugas polisi.
Bi Marta menatap dua orang petugas polisi yang berdiri di depan pintu dengan wajah serius.
Ia sempat terkejut melihat kedua petugas polisi sambil menunduk sopan
“Eeh iya, Tuan Burak sedang sarapan. Ada keperluan apa, Pak?”
Salah satu polisi menunjukkan kartu identitas mereka.
“Kami dari kepolisian kota. Kami ingin berbicara langsung dengan Tuan Burak terkait laporan insiden kebakaran yang terjadi di rumah putranya, Jovan Burak.”
Mendengar kata kebakaran, Burak menggeser kursi meja makan.
Burak segera bangkit dari duduknya dan wajahnya berubah tegang.
“Ada apa ini? Saya Tuan Burak,” ucapnya sambil mendekat.
Salah satu petugas menatap Burak dengan hormat.
“Pagi, Pak. Kami tidak bermaksud mengganggu. Kami hanya ingin menyampaikan bahwa dari hasil penyelidikan sementara, kami menemukan beberapa kejanggalan di lokasi kebakaran. Ada indikasi kuat bahwa kebakaran itu bukan kecelakaan listrik biasa.”
Burak mengernyitkan keningnya saat mendengar perkataan dari petugas kepolisian.
“Apa maksud Anda?” tanya Burak pelan namun penuh tekanan.
Petugas yang memegang map membuka beberapa lembar foto.
“Dari hasil olah TKP, kami menemukan sisa bahan bakar yang disiram di bagian belakang rumah tepat di dekat tangga menuju kamar mendiang Aisyah. Ada juga saksi yang melihat dua orang berpakaian gelap meninggalkan area rumah beberapa menit sebelum api muncul.” jawab petugas polisi.
Ayah Yudha, Ibu Maria dan Mama Riana yang mendengar langsung berjalan ke arah Burak.