Pada tahun 2086, umat manusia berdiri di puncak kejayaan teknologi. Negara-negara besar bersatu di bawah Proyek Helios — percobaan menciptakan sumber energi tak terbatas dengan memanipulasi ruang dan materi gelap.
Namun pada malam ketika Helios Reactor diaktifkan untuk pertama kalinya, sesuatu terjadi. Langit di atas Samudra Pasifik retak seperti kaca yang dilempar batu. Membentuk celah raksasa bercahaya ungu, berdenyut seperti nadi dunia yang terluka.
Seekor makhluk bersisik emas, bersayap seperti petir, mengaum di atas laut. Lalu menyusul bayangan-bayangan lain: raksasa dari batu, wanita bersayap burung gagak, binatang bertanduk dari legenda kuno.
Nuklir ditembakkan, senjata diluncurkan. Sebuah kedatangan para makhluk mitologi yang mengancam ras manusia berdatangan dan membawa pesan,
“Kalian membuka pintu tanpa izin. Dunia kami hancur karenanya. Kini, keseimbangan harus ditegakkan.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon See You Soon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Antara Bayangan dan Cahaya
...The Last Shinobi vs The Prince of Light from Elf Kingdom...
...#2...
Denting lembut terdengar ketika Sang Virgo berdiri dari singgasananya. Gaunnya yang berwarna lembayung berpendar di atas cahaya altar, setiap helaian rambut ungunya menari perlahan mengikuti arah angin surgawi.
Dengan gerakan anggun, ia membuka sayap cahaya dari punggungnya dan melayang turun ke tengah arena. Di tangan kirinya tergenggam timbangan emas kecil, berkilau lembut sebagai simbol keseimbangan yang mutlak, tak berpihak pada siapa pun.
Ketika kakinya menyentuh permukaan marmer arena, seluruh Colosseum langsung hening. Suara napas ribuan penonton tertahan di tenggorokan.
Sang Virgo menatap kedua petarung yang berdiri saling berhadapan. Satu berpakaian serba hitam, sedangkan satu berkilau bagai patung perak hidup. Dua dunia yang tak pernah bisa bersatu.
Dengan suara yang indah dan bergema seperti nyanyian surgawi, ia mengangkat timbangan itu tinggi ke atas. Monitor raksasa di atas tribun mulai berputar perlahan, menampilkan wajah kedua petarung dalam lingkaran cahaya. Nama mereka terpahat bagai aksara emas dan obsidian, bergantian menyala di udara.
Kemudian, suara Sang Virgo menggema di seluruh Colosseum. Suaranya nyaring namun lembut, indah namun menggetarkan jantung siapa pun yang mendengarnya:
“Pertandingan ketiga... Shinobi terakhir, Shirakumo Hayama, melawan Pangeran Cahaya dari Kerajaan Elf Illyrien, Caelendir Elenvar!”
Ia mengayunkan tangan kanan, dan timbangan emas di tangan kirinya bergetar ringan, memantulkan kilau bintang di sekelilingnya.
“—Dimulai sekarang.”
Suara itu bergulung di udara seperti petir yang lembut, namun memiliki kuasa yang mampu mengguncang dasar langit. Sorak sorai langsung meledak dari seluruh penjuru tribun. Bangsa Elf berdiri, melambaikan bendera dan tongkat sihir mereka, menyanyikan lagu kemenangan dengan nada tinggi yang menusuk hati.
Sementara di kubu manusia, suara dukungan terdengar lebih rendah. Bukan karena kurang semangat, melainkan karena mereka menahan cemas di dada.
Sang Virgo perlahan terbang kembali ke tempatnya di antara dua singgasana, sayapnya berkilau seperti serpihan aurora yang jatuh. Begitu ia menghilang di ketinggian, arena berubah.
Lantai marmer mulai berguncang, memecah dan naik membentuk altar raksasa dari kristal putih. Pilar-pilar tinggi menjulang ke langit, memancarkan cahaya lembut dari setiap sisinya. Tak ada bayangan di mana pun, tak di bawah kaki, tak di balik batu, tak di celah udara.
Segalanya diselimuti cahaya murni, menelanjangi segala bentuk rahasia.
Bagi Caelendir Elenvar, inilah rumahnya.
Ia memejamkan mata sesaat, membiarkan cahaya menari di kulitnya, wajahnya tenang, bibirnya tersenyum tipis. Aura kepercayaan diri terpancar dari seluruh tubuhnya. Seolah kemenangan sudah ditulis di langit sebelum pertandingan dimulai.
Namun bagi Hayama, altar itu adalah neraka yang nyata. Tak ada bayangan tempat bersembunyi, tak ada ruang untuk menghilang. Wajahnya tetap tenang, tapi alisnya sedikit berkerut, memperlihatkan kesadaran akan medan yang benar-benar tak bersahabat. Matanya yang gelap berputar perlahan, menelusuri setiap sisi arena dan memetakan musuhnya, di tempat di mana ia seharusnya tak bisa memetakan apa pun.
Dari tribun manusia, wajah-wajah mereka tegang.
Beberapa menggenggam tangan, beberapa berdoa diam-diam.
“Tidak ada bayangan…” bisik seorang ilmuwan tua.
“Bagaimana Shinobi bisa bertarung tanpa bayangan?” sahut seorang tentara muda di sampingnya. Yang lain hanya memejamkan mata, berharap keajaiban.
Presiden, di singgasananya, menatap dengan rahang mengeras. Ia tidak bergeming, meskipun sorotan sinar altar menyinari rambut pirangnya yang mulai memutih. Wajahnya tampak seperti batu. Keras, tegas, namun dalam diamnya tersimpan doa yang panjang.
Di sisi kanannya, Johan menatap penuh khawatir, jemarinya mengepal di dada. Ia tahu betul kondisi arena itu sama sekali tidak menguntungkan bagi perwakilan dari umat manusia.
Di seberang, The Ancient One bersandar di singgasananya, kedua sayap emasnya terentang lebar. Senyum puas tersungging di paruhnya.
“Lihatlah, wahai manusia,” gumamnya pelan, “Bahkan langit pun berpihak pada cahaya.”
Ia memejamkan mata sebentar, seolah menikmati aroma kemenangan yang mulai terasa di udara.
Sedangkan Sang Virgo, di tengah kedua singgasana, memandangi mereka tanpa ekspresi. Timbangan di tangannya bergerak pelan. Satu sisi naik, satu sisi turun, lalu kembali seimbang. Wajahnya tetap tenang, tapi di balik sorot matanya, seolah ada kekhawatiran halus. Kekhawatiran yang hanya bisa dirasakan oleh pengadil yang tahu. Bahwa keseimbangan sejati mungkin akan segera terguncang.
Dan di tengah altar yang tanpa bayangan itu, dua sosok berdiri tegak, saling mengukur napas dan jarak.
Cahaya melawan kegelapan.
Keanggunan melawan kesunyian.
Dunia seakan menahan napas menunggu benturan pertama.
Langit di atas arena berkilau bagai serpihan kaca, memantulkan cahaya dari altar kristal yang berdiri angkuh di tengah Colosseum. Tak ada bayangan sedikit pun. Semuanya terang, bahkan terlalu terang. Seolah cahaya itu sendiri menolak keberadaan sesuatu yang disebut gelap.
Caelendir Elenvar menatap sekeliling dengan langkah anggun, matanya bersinar keemasan seperti dua matahari kecil. Ia menegakkan tubuhnya, lalu mengarahkan pandangannya kepada sosok bersyal merah yang berdiri diam seperti patung di hadapannya. Senyum tipis terbentuk di sudut bibir sang Elf.
“Kau datang ke kerajaan cahaya tanpa membawa kegelapanmu, Manusia. Maka, apa yang tersisa dari seorang bayangan sepertimu?”
Udara mendadak berat. Beberapa elf di tribun tertawa kecil. Senyum sinis bertebaran seperti racun halus.
Namun Shinobi itu, Shirakumo Hayama, hanya menatap lurus. Angin lembut meniup syalnya yang merah darah. Suaranya pelan, tapi menggetarkan hati siapapun yang mendengarnya.
“Bayangan sejati tak membutuhkan kegelapan.”
Kedua kubu langsung hening. Bahkan napas para penonton seolah berhenti sejenak.
Mereka menunggu.
Siapa yang akan bergerak duluan?
Siapa yang akan melancarkan serangan pertama?
Di singgasana barat, Ancient One menegakkan tubuhnya sambil tertawa ringan, suara parau dan bergema seperti guruh jauh di lembah.
“Sepertinya dua kekalahan membuat pikiran kalian sedikit terganggu, wahai Presiden manusia.”
Presiden menatapnya tajam, namun belum sempat membalas, Johan yang berdiri di sisi kanannya mencondongkan tubuh dengan nada datar.
“Kau terlalu percaya diri, Ancient One yang agung.”
Sang makhluk bersayap hanya menyeringai sinis dan kembali menyandarkan tubuhnya di singgasana kristal surya. Presiden menatap ke bawah, ke arah altar yang menyilaukan, lalu berbisik pelan,
“Kenapa bentuk arenanya seperti itu?” nada khawatirnya jelas terdengar. Johan menjawab dengan desahan berat.
“Hanya itu syarat yang membuatnya mau mewakili umat manusia, Pak.”
Presiden menghela napas panjang. Sorotan matanya kembali jatuh pada arena, tempat dua sosok itu berdiri bagai dua sisi dari koin yang berbeda. Terang dan gelap, cahaya dan bayangan.
Dari singgasana tengah, Sang Virgo memandangi mereka tanpa ekspresi. Timbangan emas di tangannya berayun lembut, memantulkan cahaya putih. Sementara Ancient One menyipitkan mata dengan sombong, seolah pertarungan ini hanyalah formalitas untuk menegaskan keunggulan ras mitologi.
Di tribun mitologi, ribuan makhluk bersorak memanggil nama Caelendir, pujian bergema dalam bahasa kuno mereka. Sedangkan di tribun manusia, wajah-wajah tegang dan cemas menyelimuti udara. Namun di tengah ketegangan itu, mata Shinobi tetap tertutup setengah, tenang. Ia bukan sedang melawan arena atau lawan. Ia sedang menghafal bayangan yang tak ada.
Bibirnya sedikit bergerak, nyaris seperti berdoa.
Tapi tak seorang pun mendengar kata-kata itu.
Ni mungkin lebih alami dan baik kalo dirimu gak maksa make gpt buat proofreading paksa
Jangan dipaksa, manual aja, suruh dia koreksi/nyari typo, habis tuh benerin sendiri manual, kelihatan entar kemampuanmu yang asli ama kagak
mampir nih .
peperangan di abad serba canggih yah !